Prolog
Beberapa hari yang lalu, saya terlibat diskusi dengan salah satu teman yang belum lama ini menjadi seorang ibu. Dia adalah seorang aparatur sipil negara (ASN), sama seperti saya dulu.
Setelah cuti melahirkannya berakhir, teman saya ini kembali ngantor, tetapi hanya setengah hari. Dia menolak banyak penugasan yang umumnya harus dikerjakan oleh pegawai pada posisinya. Yang ia kerjakan hanyalah menyusun laporan bulanan, sebuah tugas administratif yang biasanya dapat diselesaikan dalam satu atau dua hari.
Temanku ini memutuskan untuk bekerja seperti itu karena tidak ingin melewatkan setiap perkembangan anaknya. Dengan alasan itu pula ia memilih untuk tidak menitipkan anaknya pada “mbak” ataupun menitipkan bayinya ke Day Care.
Ketika pagi dia berangkat kantor, anaknya dirawat oleh suaminya. Siang hari ketika suaminya berangkat kerja, dia pulang untuk menemani anaknya. Mereka bergantian mengasuh anak.
Dilema integritas?
Setelah saya pancing dengan beberapa pernyataan (tentu saja saya menghindari pernyataan yang sifatnya men-judge), keluarlah statement dari dia:
“Cuma kadang muncul juga sih jiwa-jiwa idealis integritas saya, merasa tidak enak jika sering kabur dan tidak bekerja. Apalagi jika bertemu dengan atasan, saya merasa tidak enak menjadi bawahan yang mengatur atasan. Tapi, jika mengingat kalau kerja harus meninggalkan anak dengan orang lain, perasaan itu langsung lenyap”.
Lalu, pernyataannya ini mengingatkan saya pada pengalaman saya sendiri. Saya pernah mengungkapkannya sebagai salah satu alasan saya memilih keluar dari ASN. Yaitu, saya merasakan perasaan yang tidak enak, ketika saya berangkat kantor hanya untuk memenuhi kewajiban absensi tapi “doing nothing”, which is bukan karena kemauan saya sendiri sejujurnya.
Setiap kali berada di kantor saya merasa stress, pulang ke kosan pun useless rasanya. Perasaan saya pun tak kunjung membaik. Lalu saya bertanya-tanya sendiri “Pantaskah saya mendapatkan gaji sebesar itu dengan kontribusi yang saya berikan? Tidakkah ini semacam membuang uang negara dengan sia-sia?”
Dengan sebuah pertanyaan senada yang saya sampaikan padanya, teman saya pun menjawab, “Iya, tidak tenang rasanya. Kadang terpikir gaji yang saya terima itu halal atau tidak?”
And then, she asked me, “In your opinion, which one is better, to take unpaid leave or to resign?”
To Take Unpaid Leave or To Resign?
Saya tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu. Betapa tidak, saya saja belum menikah dan belum punya anak. Saya belum pernah merasakan bagaimana beratnya meninggalkan anak dengan orang lain untuk bekerja.
Dalam bayangan saya (dan calon suami), jika saya punya anak nanti, saya memang tidak akan menitipkan pada “mbak” tapi akan menitipkannya di Day Care. Tentu saja dengan segala konsekuensi yang akan dihadapi.
Namun, saya berusaha untuk menjawab bagaimana jika saya berada di posisi dia. Jika memang bisa taking unpaid leave, ya why not? At least, jika kita sudah siap bekerja lagi, kita masih punya kaki. Apalagi bekerja sebagai ASN.
Saya juga menyarankan selama the unpaid leave – cuti di luar tanggungan negara (CLTN) – dia bisa sambil usaha yang bisa dikerjakan dari rumah. Jika emang sudah yakin dengan usahanya, ya sudah lanjut resign saja.
Tapi, bagaimana jika ia tidak dibolehkan CLTN? Ya, resign saja dengan menerima segala konsekuensinya. Ini pendapat saya sebagai seorang single idealis yang belum dihadapkan dengan posisi sebagai seorang ibu dan seorang istri.
Tentu saja saya akan berusaha mengerti jika kondisi (keuangan) keluarga juga sangat berpengaruh. Tapi apakah hal tersebut dapat dijadikan pembenaran?
Bagaimana jika unpaid leave or resign tidak disetujui?
Karena masih merasa penasaran dengan solusinya, pembahasan tersebut saya sampaikan kepada calon suami saya. Membahas masalah semacam ini rasanya penting juga buat persiapan masa depan kami. Lebih-lebih karena dia juga seorang ASN.
Calon suami saya berpendapat bahwa tidak semudah itu pejabat mengizinkan orang untuk mengambil cuti di luar tanggungan Negara (CLTN) atau bahkan mengizinkan pengunduran diri sebagai ASN.
Sebaliknya, mereka bisa jadi akan menawarkan solusi untuk memindahkan dia ke bidang/bagian yang pekerjaannya rutin, yang tidak perlu keluar kota, atau bahkan akan tetap mengizinkan pegawainya untuk tidak berada di kantor asal presensinya aman.
Jika saya berada di posisi teman saya, pindah ke bagian/bidang lain pun bukan solusi karena pilihannya dia adalah setengah hari pulang untuk merawat anaknya selagi suaminya pergi bekerja. Perasaan tidak enak itu pun akan tetap ada. Tidak menyelesaikan masalah.
Saya akan tetap defence dengan keputusan saya. Saya akan menyampaikan pendapat saya:
“Jika Bapak/Ibu mengijinkan saya untuk CLTN ataupun mengundurkan diri, itu berarti Bapak/Ibu menghemat pengeluaran negara tapi jika membiarkan saya tetap menjadi ASN dengan kontribusi minim, berarti Bapak/Ibu (secara kasarnya) merugikan negara.”
Bagaimana tidak merugikan negara jika tetap membayar gaji pegawai yang kontribusinya tidak sesuai? Walau kita semua paham, asalkan presensi terpenuhi, hal tersebut tidak dapat dibawa ke ranah kerugian negara.
Bagaimana jika saya menjadi pejabat?
Jika saya menjadi pejabat, saya mungkin akan menjadi pejabat yang akan dibenci para ibu. Mungkin para ibu-ibu ASN yang membaca tulisan saya ini, mereka akan berdalih “ah, belum pernah jadi ibu juga kamu, ga usah sok idealis deh!”.
Yes, I know. Apa itu akan mengubah pendapat saya? Saya tidak akan menyalahkan ataupun membenci “mereka” yang melakukannya. Saya akan tetap berusaha untuk mengerti bagaimana di posisi mereka.
Lalu bagaimana jika suatu hari nanti anak buah saya, seorang ibu, menolak penugasan yang saya berikan dan setiap hari selalu kabur (hampir setengah waktu kerja) dari kantor dengan alasan anak masih kecil tidak bisa ditinggal? Saya akan menawarkan pilihan, pindah ke bagian/bidang yang tidak perlu penugasan keluar kota tapi terdapat pekerjaan rutin yang ada setiap hari (dengan syarat pekerjaan tersebut harus selesai pada waktunya) atau take the unpaid leave.
Epilog
Dalam pembahasan kali ini, tentu saja saya tidak sedang menilai mana yang lebih baik antara menjadi ibu pekerja kantoran atau menjadi ibu rumah tangga. Saya hanya memberikan pendapat mengenai ibu pekerja kantoran yang juga memiliki kewajiban layaknya ibu rumah tangga. Menurut saya, sebagai perempuan kita harus dapat mengambil sikap atas keputusan yang telah kita ambil.
Jika kita memutuskan untuk menjadi pekerja kantoran, kita harus siap dengan konsekuensi tidak dapat melihat tumbuh kembang anak kita setiap detiknya karena kita juga mempunyai tanggung jawab lain di tempat kerja kita. Jika kita memutuskan untuk dapat melihat tumbuh kembang anak kita setiap detiknya, ya kita harus berani meninggalkan tanggung jawab yang lain dan harus siap dengan segala konsekuensinya.
Ah iya, satu lagi, ada statement yang diungkapkan teman saya tersebut “Aku kalo pulang ke rumah kadang jadi emosian dan sensi banget. Mungkin karena dilema itu juga kali ya? Emak stress, anak juga rewel”.
Akhir kata, mohon maaf jika pendapat saya dalam tulisan ini mungkin menyentil beberapa pihak. Setiap orang mempunyai pendapatnya masing-masing. Setiap orang mempunyai prinsip/pandangannya masing-masing. Semoga yang telah diputuskan dan menjadi pilihan adalah yang terbaik dengan segala konsekuensinya.
Seorang adventurer dan pecinta novel detektif yang terkenal galak dan judes tapi easy going, baik hati, tidak sombong, dan rajin menabung karena suka makan dan jalan-jalan. Baginya kebahagiaan adalah tujuan hidup tanpa mengabaikan prinsip-prinsip yang dipegang.
Ha ha….komplit.