
Di tengah transformasi digital yang melanda birokrasi, Aparatur Sipil Negara (ASN) dihadapkan pada tuntutan pekerjaan yang semakin kompleks.
Pola kerja kini bergeser dari rutinitas administratif yang repetitif ke pekerjaan berbasis informasi, ditandai dengan multitugas, pengambilan keputusan cepat, interupsi terus-menerus, dan percepatan digitalisasi.
Tren ini menuntut agar pegawai tidak hanya “melaksanakan tugas”, tetapi juga terus siap tanggap, adaptif, dan bekerja dalam lingkungan yang berubah setiap saat.
Tampaknya, beban yang diukur hanyalah “berapa banyak tugas”.
Namun yang sering luput dari perhatian adalah bagaimana tugas-tugas itu diberikan, berpindah antar konteks, dan seberapa besar kapasitas mental yang digunakan untuk menjalankannya.
Inilah yang disebut beban kognitif birokrasi.
Beban Kognitif dan Kapasitas Mental Pegawai
Beban kognitif birokrasi mengacu pada tuntutan mental yang dihadapi oleh pegawai dalam menjalankan tugas administratif dan operasional di lingkungan pemerintahan. Meskipun istilah “beban kognitif” sering digunakan dalam konteks pendidikan untuk menggambarkan tantangan mental dalam proses belajar, dalam konteks birokrasi, istilah ini juga relevan.
Sebagai contoh seorang pegawai sudah menyelesaikan tugas utama sesuai uraian jabatannya. Lalu, mendadak ia dipanggil ke rapat virtual. Setelah itu, ia diminta membantu tim lain yang bukan domainnya dan kemudian harus beralih ke tugas lain yang belum pernah dilakukan.
Dari sisi jumlah tugas, volume kerjanya mungkin masih “masuk akal”. Namun perubahan konteks tersebut memanfaatkan working memory dengan intensitas tinggi dan menguras kapasitas kognitif.
Beban kognitif dalam birokrasi dapat mencakup berbagai aspek, seperti multitasking melakukan beberapa tugas sekaligus yang dapat membebani kapasitas mental dan mempengaruhi kualitas kerja.
Berpindah dari satu tugas ke tugas lainnya yang memerlukan penyesuaian mental yang cepat, penggunaan sistem digital atau perangkat baru yang memerlukan waktu dan usaha untuk dipahami dan digunakan secara efektif, serta menghadiri rapat yang tidak terjadwal yang dapat mengganggu alur kerja dan menambah beban mental.
Dalam survei informal yang dilakukan oleh akun instagram @sharingasn, tercatat bahwa 79% ASN mengaku sering melaksanakan tugas di luar tugas pokok dan fungsi mereka.
Meski tindakan tersebut dilandasi loyalitas dan tanggung jawab, realitasnya menunjukkan bahwa tugas-tambahan yang berada di luar uraian jabatan bisa menorehkan beban tersembunyi seperti kelelahan mental, penurunan konsentrasi, dan menurunnya akurasi kerja.
Hal ini memperkuat argumen bahwa beban kognitif birokrasi bukan hanya soal seberapa banyak tugas yang diberikan melainkan bagaimana tugas-tugas tersebut dialokasikan, berpindah antarkonteks, dan memicu pemakaian kapasitas mental yang substansial.
Paradoks Produktivitas: Lebih Sibuk Belum Tentu Lebih Baik
Menurut kerangka Job Demands–Resources (JD-R) model, setiap pekerjaan mempunyai dua kategori utama, yaitu job demands (tuntutan kerja) dan job resources (sumber daya kerja).
Job demands didefinisikan sebagai aspek fisik, psikologis, sosial atau organisatoris dari pekerjaan yang menuntut usaha fisik dan/atau mental yang terus-menerus dan karena itu terkait dengan biaya fisiologis maupun psikologis.
Sementara job resources adalah karakteristik pekerjaan yang membantu pencapaian tujuan kerja, mengurangi tuntutan pekerjaan dan mendorong pengembangan pribadi.
Ketika tuntutan (termasuk kognitif) tinggi dan sumber daya (dukungan, kontrol tugas, waktu istirahat, kejelasan peran) rendah, maka proses health impairment akan muncul seperti kelelahan, keterlepasan (disengagement), hingga penurunan kinerja.
Di banyak instansi publik, nilai-nilai seperti adaptif dan proaktif memang diharapkan. Logikanya birokrasi harus cepat menanggapi perubahan, masyarakat semakin menuntut layanan secara real-time, dan teknologi terus berubah.
Namun, apabila semangat proaktif ini tidak didukung dengan sistem yang adil misalnya distribusi tugas yang seimbang, kejelasan tugas, alokasi waktu yang memadai maka pro-aktivitas itu bisa berubah menjadi beban kognitif.
Beban kognitif yang tidak terkelola dengan baik
dapat mengakibatkan keputusan yang dibuat kurang akurat karena kelelahan
kapasitas mental dan multitasking.
Konsentrasi menjadi terbagi, inovasi menurun karena energi mental habis untuk
“just keep up” dengan aktivitas rutin atau tambahan, turunnya motivasi karena pegawai merasa “selalu siap ekstra” tetapi tidak mendapatkan dukungan yang cukup maupun apresiasi.
Sehingga muncul paradoks meskipun pegawai tampil proaktif, organisasi mungkin tidak memperoleh peningkatan output yang diharapkan bahkan bisa terjadi penurunan produktivitas.
Epilog: Menjaga Kognisi Tetap Berenergi
Mengelola beban kognitif bukan berarti hanya mengurangi tugas, tetapi menata tugas, alokasi, dan sistem kerja. Organisasi dapat mendistribusikan tugas secara proporsional dan jelas disertai kompensasi atau alokasi waktu yang memadai untuk mencegah penumpukan beban pada individu tertentu.
Peningkatan sumber daya kerja juga dapat dilakukan melalui peningkatan kapasitas, pemberian jeda waktu antar setiap tugas, kontrol atas interupsi, serta dukungan pimpinan maupun sesama anggota tim kerja.
Organisasi juga harus melakukan monitoring beban kerja kognitif agar tahu kapan kapasitas kognitif pegawai mulai jenuh. Pastikan tugas tambahan atau perubahan tugas sesuai dengan kompetensi pegawai. Bila tidak, ini memaksa pegawai memakai lebih banyak kapasitas kognitif hanya untuk “mengejar tugas”.
Terakhir, berikan waktu bagi pegawai untuk fokus, shutdown dari tugas, dan refleksi untuk memulihkan kapasitas kognitif.
Dalam birokrasi yang makin cepat, informatif, dan digital, kata proaktif bukan lagi sekadar kelebihan tetapi menjadi suatu keharusan. Namun harus diingat agar proaktif tetap produktif, maka organisasi harus menjaga keseimbangan antara tuntutan kognitif dan sumber daya yang disediakan.
Jangan sampai proaktivitas berubah menjadi jebakan, dimana pegawainya selalu terlihat sibuk setiap waktu, tapi hasilnya kurang optimal dan kesehatan mentalnya terabaikan.
Pada akhirnya, birokrasi yang benar-benar adaptif bukanlah yang sekadar agile, melainkan yang mampu mengelola energi kognitif manusianya dengan bijak. Sebab, semangat bisa menyalakan langkah awal, namun sistem yang adil dan manusiawi memastikan langkah itu terus bertahan.














0 Comments