“Integrity is the essence of everything successful” – R. Buckminster Fuller.
Dari quote di atas, pembaca pasti dapat menyimpulkan bahwa integritas merupakan suatu hal yang sangat penting dimiliki oleh seseorang. Implikasinya, setiap orang tentu harus memilikinya.
Nah, bagi pembaca, sebenarnya apa itu definisi integritas? Beberapa dari kita mungkin akan menjawab bahwa integritas adalah kejujuran, tetapi sudah tepatkah jawaban itu?
Mungkin juga ada yang akan menjawab, “integritas ya integritas, kita harus jadi orang yang berintegritas”. Sebuah jawaban yang tegas, tetapi sayang tidak memberikan pemahaman yang memadai.
Karena itu, mungkin akan terbesit di pikiran kita, mengapa untuk suatu hal yang kita yakini sangat penting, begitu sulit bagi kita untuk mendefinisikannya. Sejatinya, bukan hal yang aneh memang, karena kesulitan untuk mendefinisikan arti dari integritas dapat disebabkan oleh belum terinternalisasikannya makna integritas ke dalam kehidupan kita.
Apa itu integritas?
Integritas masih dipahami sebagai sebuah nilai atau jargon yang belum ter-breakdown menjadi poin-poin yang dapat dikaitkan langsung dengan aktivitas sehari-hari termasuk dalam berkinerja untuk organisasi.
Sebagai hal penting, untuk dapat memiliki pemahaman tentang integritas kita perlu memahami maknanya secara paripurna, artinya tidak hanya sepotong-sepotong.
Dalam bukunya yang berjudul “The 3 power values: how commitment, integrity, and transparency clear the roadblocks to performance”, David Gebler, seorang pakar di bidang ethics engagement and Integrated education asal Amerika Serikat, menjelaskan tentang makna integritas.
Gebler menjelaskan bahwa arti kata integritas lebih luas dari kata kejujuran (honesty). Integritas lebih dekat artinya dengan integrasi, yaitu menciptakan bagian-bagian yang terpisah menjadi sesuatu yang utuh.
Hal ini juga dapat dilihat dari bahasa asalnya, yaitu Integer yang merupakan kata dari bahasa latin yang berarti menyeluruh atau lengkap. Ia menggambarkan bahwa orang yang berintegritas adalah orang yang melakukan apa yang dikatakan, mengalirkan nilai-nilai yang diyakininya ke dalam setiap perbuatan yang dilakukan, tentu dengan catatan bahwa nilai-nilai itu adalah nilai positif yang diterima oleh masyarakat.
Tiga hambatan perilaku
Sebagai catatan, untuk dapat membangun integritas, kita harus memahami hal-hal yang mampu memengaruhi perilaku dasar kita. Hal ini karena inti dari tantangan terkait kinerja yang dihadapi oleh organisasi adalah hambatan perilaku yang melekat (behavior roadblocks intrinsic) pada karakteristik dasar manusia.
Oleh karena itu, memahami hal-hal itu dapat membantu kita untuk dapat mengelolanya secara efektif. Tiga hambatan utama terkait perilaku tersebut antara lain membohongi diri sendiri (self-deception), rasionalisasi, dan menarik diri dari keterlibatan (disengagement).
Membohongi diri
Self-deception biasanya dimulai dengan pemikiran “Ah, rasanya tidak apa-apa aku melakukan ini”. Biasanya, sikap ini seakan memperbolehkan kita untuk berpikir bahwa yang dilakukan adalah sesuatu yang benar, padahal di kondisi yang lain atau jika dilakukan oleh orang lain, kita sadar bahwa hal itu salah.
Bahkan, sikap ini dapat mengganggu objektivitas kita atas suatu hal karena kita memiliki kepentingan lain dalam suatu keputusan. Hersh Shefrin, seorang expert di bidang behavioral finance mengidentifikasi bahwa ada empat tipe self-deception.
Pertama, excessive optimism atau optimisme yang berlebihan. Penggambarannya adalah seringkali kita melebih-lebihkan kemungkinan terjadinya peristiwa yang menguntungkan dan meremehkan kemungkinan kejadian yang tidak menguntungkan.
Kedua, overconfidence, ialah ketika kita menilai lebih tinggi pengetahuan dan kemampuan kita sendiri, termasuk dalam menilai risiko yang ada di hadapan kita.
Ketiga, aversion to a sure loss, di mana kita cenderung menghindari kerugian sebagai motif yang sangat kuat dua kali lipat dibandingkan dengan mencari keuntungan. Artinya, kita akan sangat fokus terhadap kemungkinan kerugian dan tidak berpikir adanya kemungkinan keuntungan yang didapatkan.
Keempat, confirmation bias, kita sering terlalu yakin pada bukti yang mengonfirmasi pandangan kita dan menolak bukti yang bertentangan dengan pandangan kita itu. Misalnya, pembaca mengidolai satu grup band dan dapat menunjukkan keunggulannya. Namun, seorang teman tidak setuju dan menunjukkan kekurangan band itu. Pembaca tidak dapat benar-benar menyangkal fakta yang disampaikan oleh teman itu, tetapi bagaimanapun fakta tersebut, tidak memengaruhi pembaca sebagaimana pembaca meyakini fakta “pembaca”.
Menariknya, sudah merupakan kecenderungan umum bahwa self-deception lebih mudah terjadi seiring dengan semakin tingginya posisi seseorang di dalam organisasi. Ketika kita memiliki lebih banyak tanggung jawab dan otoritas, kita menjadi lebih rentan terhadap self-deception atau yang oleh para psikolog disebut “paradoks kekuasaan (paradox of power).”
Rasionalisasi
Lalu, rasionalisasi didasari dengan pemikiran “aku sih tahu ini salah, tapi aku punya alasan yang bagus kok tetep melakukannya”. Bahkan ada yang menyebut rasionalisasi adalah musuh paling kuat untuk integritas.
Hal ini karena rasionalisasi bekerja seperti obat bius bagi hati nurani kita, yang memungkinkan kita untuk menghindari rasa sakit perasaan bersalah ketika kita melakukan sesuatu hal yang tidak sejalan dengan nilai-nilai yang kita pegang.
Menariknya, kadang mungkin kita akan sulit membedakan antara rasionalisasi dengan keputusan rasional. Singkatnya untuk membedakan, dalam keputusan rasional, kita menerapkan alasan dan nilai-nilai kita yang relevan dengan suatu situasi sebelum memutuskan apa yang tepat dan benar untuk dilakukan.
Sedangkan rasionalisasi bekerja sangat berbeda. Kita merasionalisasi karena kita telah memutuskan apa yang ingin kita lakukan atau sudah lakukan, lalu kita perlu cerita yang masuk akal untuk memberitahu diri kita sendiri dan orang lain sebagai sebuah kompromi moral kita.
Jadi, ketika kita merasionalisasi, kita pada dasarnya berpikir mundur karena dimulai dengan kesimpulan dan menemukan alasan yang akan mengarah dan mendukung kesimpulan tersebut.
Gebler menjelaskan bahwa rasionalisasi biasanya dimulai dari tiga jenis alasan. Pertama, orang tahu bahwa yang dilakukannya salah tapi berpikir bahwa orang itu tidak memiliki pilihan lain.
Kedua, ketika orang menganggap dirinya diperlakukan tidak adil, maka ia akan berhenti berupaya memberikan yang terbaik untuk organisasi dan hanya fokus pada apa yang terbaik bagi dirinya sendiri.
Terakhir, tekanan dari teman sejawat yang terlalu besar hingga menggiring pemikiran, “semua orang melakukan ini, dan saya tidak akan dianggap sebagai pecundang.”
Menarik diri
Behavior roadblocks terakhir adalah disengagement, atau menarik diri dari keterlibatan di organisasi. Dalam organisasi, salah satu penghalang yang paling sulit untuk diatasi adalah rasa apatis atau tidak peduli, seperti, “Itu bukan masalah atau urusan saya,” atau, “mengapa saya harus terlibat dalam masalah ini?”.
Masalahnya, orang-orang seperti ini akan sulit terdekteksi selama mereka tidak melakukan pelanggaran terhadap peraturan atau perilaku negatif yang mencolok. Mereka tidak akan mengambil tanggung jawab atas situasi dan masalah karena mereka tidak cukup peduli untuk memikirkan solusi atas hal-hal tersebut.
Salah satu penggerak utama lahirnya sikap disengagement adalah merasa tidak memiliki cukup kewenangan untuk melakukan sesuatu. Namun demikian, hal ini sering diartikan salah oleh organisasi, bahwa seseorang diaggap ingin mengambil alih peran pimpinan.
Padahal, kewenangan yang mereka minta adalah adanya pemberian tanggung jawab dan kepercayaan untuk mengemban suatu tugas. Singkatnya, ”Beri saya apresasi jika saya dapat melakukan tugas saya degan baik, dan saya siap dengan konsekuensi jika saya tidak berhasil. Berikan saya kebebasan untuk menentukan cara saya bekerja guna menyelesaikannya”.
Dari perspektif organisasi, tentu hal itu bukanlah sesuatu yang negatif. Organisasi justru ingin para anggotanya mengambil tanggung jawab yang lebih besar dan lebih bertanggung jawab.
Jika begitu, mengapa begitu sulit untuk mewujudkannya? Alasannya adalah bahwa banyak organisasi belum memahami tentang apa yang sebenarnya memotivasi para anggota organisasinya.
Meskipun jaminan keberlangsungan untuk tetap menjadi pegawai jelas merupakan hal yang penting dan membuat mereka datang untuk bekerja setiap hari, penelitian menunjukkan bahwa bagi pegawai yang pekerjaannya membutuhkan kreativitas dan kemampuan untuk menganalisis dan menyelesaikan masalah, bentuk kompensasi dan penghargaan tradisional saja tidak cukup untuk membuat mereka tetap termotivasi.
Kuncinya adalah keseimbangan
Untuk dapat memahami dan mengatasi dengan lebih baik ketiga penghambat perilaku manusia di atas, kita perlu memahami keseimbangan internal antara kepentingan diri sendiri dibandingkan dengan kepentingan orang lain.
Untuk organisasi, kinerja tinggi mengharuskan pegawainya untuk menyeimbangkan apa yang penting bagi mereka sebagai individu dengan apa yang penting bagi organisasi, pelanggan, dan pemangku kepentingan yang dilayani oleh organisasi.
Setiap pegawai harus dapat melihat perannya di dalam organisasi dan bagaimana membangun hubungan yang saling menguntungkan antara mereka dengan organisasinya. Jika tidak, ada risiko bahwa nilai-nilai positif yang kita miliki masing-masing dapat ditekan atau digantikan oleh nilai-nilai negatif, mengarahkan kita untuk melakukan hal-hal yang tidak baik.
Organisasi perlu menciptakan norma sosial yang kuat, yang mampu menghalangi self-deception, menghilangkan sumber rasionalisasi, dan mencegah disengagement yang membuat pegawai tidak bertanggung jawab atas tindakannya.
Tantangan bagi para pimpinan organisasi adalah mengintegrasikan konsep-konsep ini ke dalam pelatihan, komunikasi, dan proses bisnis sehari-hari organisasi.
*Artikel ini pernah tayang di Majalah ‘Warta Pengawasan’, edisi 1 tahun 2019 dengan judul “Kelola Roadblocks, Bangun Integritas”.
0 Comments