Bangkit dengan AI: Sebuah Pelajaran dari UAE

by | May 24, 2025 | Birokrasi Berdaya | 0 comments

Kunjungan Presiden AS Donald Trump ke Uni Emirat Arab (UAE) pada 15–16 Mei 2025 lalu menghasilkan paket investasi besar. 

Lebih dari US$200 miliar proyek disepakati, termasuk proyek akal imitasi (Artificial Intelligence, disingkat AI), seperti pembangunan kampus data center AI seluas 10 mil persegi dengan kapasitas 5GW di Abu Dhabi oleh G42 bersama mitra AS (commerce.gov). 

Kesepakatan tersebut merupakan bagian dari “US-UAE AI Acceleration Partnership” yang meliputi pendanaan dan kemitraan teknologi. Tujuan utamanya adalah untuk memperkuat posisi UAE sebagai hub AI global.

Kebijakan AI di UAE

Di dalam Strategi Nasional AI 2031, UAE menargetkan AI sebagai penyumbang 20% PDB non-migas, dengan kontribusi ekonomi mencapai AED 335 miliar, setara dengan US$91 miliar, pada 2031 (csis.org). 

UAE bahkan membentuk Kementerian AI yang diklaim sebagai pertama di dunia, pada tahun 2017. Dua tahun kemudian, sebuah universitas khusus AI, Mohamed bin Zayed University of Artificial Intelligence (MBZUAI) resmi beroperasi di Abu Dhabi. 

Institusi ini bertujuan melahirkan talenta AI skala global. UAE juga aktif menjalin kemitraan internasional, misalnya: 

  • OpenAI diundang membantu kampus MBZUAI; 
  • Microsoft menggandeng G42 dengan investasi miliaran dolar; dan 
  • Korporasi teknologi AS akan mengelola layanan cloud di sana. 
  • Pada waktu yang sama, UAE berupaya mengintegrasikan AI ke dalam sistem pemerintahan dan layanan publik guna meningkatkan efisiensi. 

Dikutip dari Kementerian AI, visi UAE adalah “membangun ekonomi AI, bukan menunggunya”.  Ini artinya, AI dijadikan sebagai infrastruktur kunci masa depan.

UAE memang berupaya memposisikan diri sebagai jembatan netral
antara pengaruh Barat dan Timur. Karenanya, kesepakatan Trump–UAE juga “menyeimbangkan” hubungan UAE antara sekutu lama AS dan China sebagai mitra dagang terbesar. 

Karenanya, UAE menghadirkan diri sebagai lokasi “netral”, tidak condong ke AS maupun China untuk investasi AI global. Abraham Accords tahun 2020 yang cukup kontroversial menandai dimulainya kerja sama dengan Israel. 

MBZUAI bekerja sama dengan OurCrowd, perusahaan investasi Israel, untuk menumbuhkan ekosistem AI di Abu Dhabi. Selain itu, dijalin kerja sama dana ventura dan terbukanya peluang kerja bagi lulusan AI. 

Grup pertahanan UAE, EDGE, bahkan berinvestasi di startup AI Israel seperti Thirdeye, sebuah sistem deteksi drone (allisrael.com. Melalui Abraham Accords, UAE memperkuat hub AI regional, merangkul talenta Barat (AS, Eropa, Israel) dan tetap menjaga akses pasar Timur.

Indonesia: antara Desentralisasi dan Kedaulatan Data

Bagaimana dengan Indonesia? Pemerintah telah meluncurkan Strategi Nasional AI 2020–2045 dengan empat pilar utama: 

  1. pengembangan SDM, 
  2. infrastruktur & data, 
  3. riset industri, serta 
  4. kerangka etika kebijakan. 

Visi-strateginya adalah mewujudkan Indonesia berdaulat, maju, adil, dan makmur melalui teknologi, termasuk menjadi pemain signifikan dalam lanskap AI global (ssoar.info). 

Fokus sektor prioritas meliputi kesehatan, pendidikan, smart city, dan reformasi birokrasi. Namun, tantangan utama terletak pada sistem pemerintahan yang terdesentralisasi dan luasnya wilayah kepulauan. 

Otonomi daerah membuat inisiatif AI dipimpin provinsi/kabupaten/kota, yang berisiko memperlebar disparitas sumber daya. Sementara pemerintah pusat kerepotan mengintegrasikan data antar-daerah. Skandal yang tak kunjung jelas misalnya kebocoran data e-KTP.

Namun begitu, masih ada hal yang cukup menggembirakan. Menurut OECD (2023), investasi ventura rata-rata di startup AI Indonesia adalah yang terbesar di ASEAN. Meskipun sebagian besar mengalir ke startup fintech dan e-commerce dengan aplikasi AI sederhana. 

Di sisi regulasi data, pemerintah telah lama mewajibkan data publik disimpan di dalam negeri (PP71/2019). Langkah menuju kedaulatan data juga memperkuat infrastruktur lokal. 

Dengan jumlah penduduk hampir 300 juta, Indonesia berpotensi menghasilkan data besar untuk dilatih AI, terutama populasi generasi muda yang peka teknologi dan ekonomi digital yang cepat tumbuh. 

Bahkan, perusahaan startup lokal mulai mengeksplorasi AI untuk bidang fintech, kesehatan, dan pengawasan publik. 

Meskipun demikian, kelemahan struktural juga masih signifikan. Berikut di antaranya:

  • Infrastruktur telekomunikasi belum merata, dan 
  • daerah terpencil kekurangan internet cepat. 
  • Selain itu, akses pendidikan dan riset AI masih terbatas. 

Hanya beberapa universitas top yang memiliki program AI. Riset nasional terkait AI juga masih sedikit yang dipublikasikan. Pemerintah juga perlu mengejar ketertinggalan regulasi. 

Kebijakan AI dan big data masih pada taraf uji coba, sementara isu privasi semakin kompleks. Badan publik juga lambat mengadopsi AI untuk percepatan pelayanan masyarakat. 

Sementara secara geopolitik, Indonesia harus berhati-hati menjaga independensi teknologi, agar tidak bergantung pada platform AS atau China, sambil memperkuat data sovereignty sendiri.

Bisakah Indonesia Mengejar?

Mengingat kondisi di atas, rasanya Indonesia harus mempercepat beberapa langkah strategis ke depan. 

  • Pertama, memperkuat diplomasi teknologi. Keaktifan Indonesia di forum global bisa semakin kuat apabila pemerintah mampu berkoalisi dengan sesama negara berkembang.
    Selain itu, dalam setiap kerja sama multilateral maupun bilateral, misalnya dengan AS, Uni Eropa, India, ASEAN, pemerintah harus menekankan adopsi kepentingan negara berkembang agar kebijakan AI bersifat inklusif dan adil. 
  • Kedua, memperkuat etika dan regulasi AI. Kerangka etika AI harus sesuai dengan nilai Pancasila, sehingga AI “aman, etis, dan inklusif”
  • Ketiga, perbanyak pusat inovasi dan talenta. Inkubator teknologi dan kolaborasi perguruan tinggi–industri harus diperkuat. Misalnya, universitas terkemuka (ITB, UI, dsb.) bisa didorong agar mendirikan AI Innovation Hub dengan dana pemerintah dan mitra asing, seperti halnya MBZUAI di UEA. 
  • Indonesia pun dapat memacu startup AI lewat pendanaan publik-swasta, mencontoh inisiatif Microsoft-UAE. Selain itu, pemerintah mesti memperkuat Satu Data Indonesia, mendorong data-sharing antarlembaga, dan membangun pusat data nasional AI.
    Dengan kolaborasi internasional, misalnya melalui program pelatihan joint lab dengan Australia, Jepang, Singapura dan investasi infrastruktur domestik, Indonesia bisa memupuk ekosistem AI yang berkelanjutan.

Epilog

Secara keseluruhan, perbandingan pengembangan AI di UAE dan Indonesia menunjukkan bahwa UAE secara agresif mengintegrasikan AI ke dalam perekonomian dan kebijakan luar negeri, sementara Indonesia masih dalam tahap awal penguatan. 

Meski demikian, minat investasi di Indonesia terbukti meningkat. Karenanya, Indonesia perlu cepat beradaptasi. 

Langkah-langkah penyelarasan kebijakan nasional dengan diplomasi teknologi, penerapan etika yang kuat, dan pengokohan pusat-pusat inovasi, akan membantu mengejar ketertinggalan, sekaligus memperkuat posisi Indonesia sebagai negara melek AI di kawasan Asia Tenggara. 

Ayo bangkit, mumpung Harkitnas belum terlalu jauh lewat!

0
0
Agus Sulistiyo ◆ Active Writer

Agus Sulistiyo ◆ Active Writer

Author

adalah seorang analis kinerja organisasi di salah satu Instansi Pusat. Saat ini ia tengah memperdalam pengetahuan dan keahliannya sebagai kandidat Doktor Administrasi Bisnis di Abu Dhabi University, UAE, dengan dukungan beasiswa LPDP.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post