Ban Serep Republik, Refleksi peran Wakil Presiden dalam Program Makan Bergizi Gratis

by | Oct 24, 2025 | Birokrasi Berdaya | 0 comments

Di awal Prabowo-Gibran, wajah Gibran Rakabuming Raka kerap muncul di layar televisi. Ia meninjau dapur, membagikan nasi kotak, mencicipi menu, dan berbicara dengan semangat khas anak muda yang sedang ingin menunjukkan bahwa politik bisa “ceria dan bergizi”.

Bahkan, ketika masa kampanye, Gibran sempat membagikan susu kotak gratis untuk pengunjung car free day (CFD) Jakarta.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG)
yang digagas duet Prabowo-Gibran bahkan menjadi ikon kampanye, simbol keberpihakan
kepada rakyat kecil, terutama anak sekolah dan ibu hamil.

Di tengah harga pangan yang tak menentu, gagasan memberi makan gratis terdengar seperti dongeng baik dari negeri yang lapar harapan. Julius Caesar dan para kaisar Romawi dikenal dengan prinsip panem et circenses “roti dan hiburan.” Selama rakyat diberi makan dan dihibur, mereka tidak akan memberontak.

Bung Karno pun pernah menegaskan, “Perut rakyat harus kenyang.” Karena dari perut yang kenyang lahir ketenangan, sementara dari perut yang lapar tumbuh amarah dan perlawanan. Barangkali prinsip ini yang digunakan oleh pemerintahan saat ini.

Gibran menjadi bintang panggung itu. Ia muda, enerjik, dan membawa kesan “harapan baru” dalam wajah pemerintahan yang dikelilingi veteran politik. Namun seperti ban serep yang hanya dipakai di awal perjalanan untuk dipamerkan kepada penumpang, perlahan figur itu lenyap dari pandangan publik.

Dari Harapan ke Keracunan

Ketika aroma dapur MBG masih semerbak mewangi, Gibran hadir di mana-mana. Ia memantau menu, mendengarkan siswa, meninjau sekolah, bahkan menampung kritik dari guru.

Di SMA Negeri 13 Jakarta, ia sempat berkata dengan nada rendah hati, “Kami tampung semua masukan, nanti akan kami evaluasi”. Berita diulang di layar kaca nasional berkali-kali, seolah harapan baru ini mengesampingkan nada sumbang di luar sana.

Namun beberapa bulan kemudian, berita yang muncul bukan lagi tentang lauh bergizi ataupun rasa syukur orang tua karena anaknya tercukupi makanannya, melainkan tentang makanan beracun.

  • Di Sragen, lebih dari 360 siswa dan guru dilarikan ke rumah sakit karena mual, muntah, dan diare setelah menyantap makanan MBG. Hasil laboratorium mengarah pada masalah sanitasi dapur.
  • Di Sleman, 90 siswa SMP harus mendapatkan perawatan serupa.
  • Di Garut, korban bertambah menjadi 282 pelajar dari berbagai sekolah.
  • Menurut rekapitulasi media nasional, total kasus keracunan MBG di berbagai daerah telah mencapai lebih dari 5.000 penerima.

Pakar gizi Universitas Gadjah Mada menegaskan, penyebabnya bukan bahan baku semata, melainkan lemahnya pengawasan higienitas dan distribusi.

Program yang semestinya menyehatkan justru membuat ribuan anak sakit. Suara keras juga sempat terdengar dari ahli gizi Dr. dr. Tan Shot Yen, M.Hum yang mempertanyakan mengapa ada menu burger pada MBG yang jauh dari kata bergizi.

Namun dalam badai itu, publik menyadari satu fakta yang tak kunjung datang, kehadiran Wakil Presiden Gibran, Brand Ambassador MBG yang sejak awal getol mempromosikan program ini.

Muncul di Awal, Menghilang di Tengah Jalan

Ketika program diluncurkan, Gibran tampak di setiap sudut kamera. Ia meninjau, berbicara, membagikan, dan berfoto. Tapi ketika krisis datang, ketika wajah anak-anak pucat karena keracunan, Gibran tak tampak di lapangan.

Tak ada gambar dirinya mengunjungi korban, tak ada pidato menenangkan, tak ada keterangan pers untuk menjelaskan langkah korektif. Media yang semula penuh dengan berita “Wapres Gibran memantau dapur MBG” kini hanya menampilkan pernyataan pejabat teknis.

Sebagian publik mulai bertanya-tanya, apakah Gibran hanya “produk pencitraan” yang tugasnya sudah selesai setelah kampanye dan peluncuran program? Mirip lah sama tugas selebgram yang mempromosikan produk skincare yang mengandung mercury.

Dalam sistem hukum Indonesia, memang Presidenlah yang memegang kekuasaan pemerintahan. Tapi Wakil Presiden bukan sekadar figuran. Ia bagian dari kepemimpinan nasional, memiliki kewajiban moral untuk hadir, apalagi ketika program yang ia pasarkan mengalami kegagalan.

Seorang pemimpin sejati tidak hanya muncul saat kamera menyala, tapi juga berdiri di tengah debu ketika proyeknya terguncang. Sebagaimana Werkudara, yang tetap menggenggam kebenaran, bahkan ketika dunia menutup mata. Bukan seperti sengkuni, melarikan diri saat masalah datang, padahal sebelumnya paling lantang bicara.

Dari Politik Gizi ke Gizi Politik

Ironisnya, program MBG kini menjadi cermin tentang bagaimana politik bisa lebih lapar dari rakyatnya sendiri. Di atas kertas, MBG adalah program baik, memberi nutrisi pada masa depan bangsa. Tapi dalam praktik, ia berubah menjadi proyek raksasa yang terburu-buru, dengan rantai logistik panjang dan pengawasan minim.

Gibran, yang dulu tampak begitu bangga dengan MBG, kini menjadi simbol dari politik pencitraan yang kehilangan gizi moralnya. Dalam tradisi birokrasi, kita mengenal asas tanggung jawab jabatan, bahwa setiap kebijakan melekat dengan pertanggungjawaban moral, bukan hanya administratif.

Seharusnya, Gibran hadir untuk memastikan sistem itu bekerja, bukan sekadar hadir di baliho dan headline. Wapres bukan hanya ban serep dalam struktur kekuasaan, tapi juga ban moral yang menahan laju kesewenangan.

Ia harus hadir saat ban utama bocor, dan ikut menggendong beban saat kendaraan kebijakan tergelincir di jalan berlumpur.

Belajar dari Sejarah

Jika kita menengok ke masa lalu, sejarah memberi banyak contoh.  Pada masa Orde Baru, Wakil Presiden hanya pelengkap pidato. Di era Reformasi, Jusuf Kalla membuktikan bahwa posisi itu bisa hidup, menjadi penengah konflik, negosiator perdamaian, bahkan penggerak ekonomi.

Namun ketika Ma’ruf Amin mendampingi Jokowi, peran itu kembali redup, beliau lebih sering menjadi simbol keagamaan ketimbang pelaksana fungsi pemerintahan.

Kini, publik berharap Gibran bisa menjadi antitesis dari itu semua, muda, aktif, responsif.
Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Ketika rakyat menunggu sikap tanggap dan empati, yang muncul hanyalah sunyi. Sunyi yang menegaskan betapa ban serep republik kembali disimpan di bagasi.

Refleksi di Cermin Dapur Bangsa

Makan Bergizi Gratis seharusnya menjadi program peradaban, bukan sekadar proyek bantuan. Ia adalah perwujudan sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Tapi bila pelaksanaannya penuh cacat dan ketidakhadiran moral, maka program itu kehilangan ruhnya.

Rakyat tidak menuntut Wapres untuk selalu tampil gagah, tapi mereka butuh pemimpin yang berani hadir di tengah getir, bukan hanya di tengah tepuk tangan.

Dalam kaca mata birokrasi, absennya Wapres di saat krisis menandakan lemahnya public accountability. Dalam kaca mata moral, itu adalah kelalaian terhadap amanah konstitusional, membantu Presiden dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Seorang Wakil Presiden mestinya bukan bayangan Presiden, melainkan cahaya kecil yang tetap menyala ketika listrik istana padam.

Belajar Menjadi Negarawan

Gibran mungkin masih belajar menjadi negarawan. Tapi bangsa ini sudah terlalu sering kenyang oleh janji yang tidak hadir. Rakyat tidak butuh makanan bergizi yang membuat sakit perut, mereka butuh kebijakan bergizi yang menyehatkan nurani.

Maka bila suatu hari nanti kita kembali melihat seorang pemimpin muda yang gemar menebar senyum di depan kamera, ingatlah bahwa gizi politik bukan diukur dari berapa banyak nasi kotak dibagikan, bukan berapa ratus rupiah isi amplop, melainkan dari berapa lama ia bertahan di lapangan ketika dapurnya mulai berantakan.

Dan di situ, baru kita tahu, siapa pemimpin sejati, siapa hanya ban serep yang divuknaisir agar terlihat baru.

*Tulisan ini merupakan refleksi pribadi, lahir dari jeda di antara kesibukan.

2
0
Ahmad Mudhofar ♥ Associate Writer

Ahmad Mudhofar ♥ Associate Writer

Author

Seorang abdi negara yang meniti hari di antara laporan pelaksanaan anggaran dan berkas TP/TGR. Lewat tulisan-tulisannya, ia mencari makna di balik rutinitas birokrasi menjaga keuangan negara. Berkutat dengan hukum, pengabdian, perjalanan, kesusastraan, dan kemanusiaan yang kerap luput dari berita harian.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post