Balada Pengukuran Kematangan Sistem Pengendalian Internal Organisasi Publik Di Indonesia

by Sulistiowati ▲ Active Writer | Mar 16, 2018 | Birokrasi Efektif-Efisien | 7 comments

Pengendalian internal (internal control) sering menjadi perbincangan menarik. Banyak pihak meyakini bahwa pengendalian internal mampu meningkatkan akuntabilitas organisasi sektor publik dan anggota organisasi (organisational members). Pada akhirnya, akuntabilitas ini akan berperan dalam menciptakan tata kelola organisasi yang bersih (good enterprise governance).

Di Indonesia, pengendalian internal dipopulerkan sebagai sebuah sistem, yang dikenal dengan nama Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP). Seluruh organisasi sektor publik di Indonesia—baik pusat maupun daerah—wajib (mandatory) mengimplementasikan sistem ini. Bahkan, beberapa badan usaha yang dimiliki negara (state-owned companies) juga mulai mengimplementasikan sistem ini secara sukarela (voluntarily).

Sistem ini mengintegrasikan lima unsur pengendalian (control components), yaitu lingkungan pengendalian (control environment), penilaian risiko (risk assessment), kegiatan pengendalian (control activities), informasi dan komunikasi (information and communication), serta aktivitas pemantauan (monitoring activities). Integrasi lima unsur pengendalian ini akan menjadi suatu kekuatan untuk mencapai tujuan organisasi.

Namun, kelima unsur ini bukanlah murni dikembangkan oleh Indonesia. Kelima unsur ini pada dasarnya diadopsi dari rerangka (framework) yang dikembangkan oleh sebuah komite internasional, yaitu Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission (COSO).

Yang paling membedakan SPIP dan rerangka yang dikembangkan oleh COSO adalah pada tujuan penerapan sistem pengendalian internal. Berbeda dengan SPIP yang menekankan penerapan sistem pengendalian internal untuk mencapai tujuan stratejik organisasi (organisational strategic objectives), ternyata rerangka COSO sekadar menekankan pada aspek operasional, yaitu operasi (operations), pelaporan (reporting), dan ketaatan (compliance). Artinya, SPIP sebenarnya lebih berorientasi stratejik, sementara rerangka COSO lebih berorientasi nonstratejik.

Sebagai contoh, perhatikan pernyataan pada Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun 2008 yang mewajibkan implementasi sistem pengendalian internal di Indonesia:

Sistem Pengendalian Intern[al] adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus-menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.

Sudut Pandang Pengendalian Internal yang Deterministik

Setelah sepuluh tahun sistem pengendalian internal dipromosikan di Indonesia, ternyata implementasinya tidak mudah dan bukannya tanpa tantangan. Tantangan terbesar yang dirasakan adalah membumikan sistem pengendalian internal di organisasi sektor publik. Sebagai contoh, terdapat kompleksitas rumusan sistem pengendalian internal di Indonesia. Kemudian, peristilahan sistem pengendalian internal pun masih terkesan berada pada tataran konseptual dan tidak praktis.

Sebenarnya tantangan semacam ini adalah hal yang wajar saja. Sebab, jika dicermati lebih dalam, implementasi sistem pengendalian internal ini membutuhkan kerja sama berbagai disiplin (multidisipliner). Sayangnya, ‘gerakan nasional’ penerapan sistem pengendalian internal di Indonesia masih ‘deterministik’ yang didominasi oleh mereka yang berlatar belakang ilmu keuangan ataupun akuntansi. Kesannya, sistem pengendalian internal bisa berjalan dengan mulus tanpa melibatkan mereka yang berdisiplin budaya, komunikasi, psikologi, sosiologi, ataupun antropologi.

Akibatnya, sistem pengendalian internal yang berkembang di Indonesia kini lebih banyak menekankan pada aspek evaluatif, yaitu pengukuran maturitas. Pengukuran maturitas ini biasanya menghasilkan enam indeks, yaitu ‘belum ada’ atau 0, ‘rintisan’ atau 1, ‘berkembang’ atau 2, ‘terdefinisi’ atau 3,  ‘terkelola dan terukur’ atau 4, serta ‘optimum’ atau 5.

Paradoks Pengukuran Maturitas

Awalnya, pengukuran maturitas sistem pengendalian internal adalah alat untuk melihat kesungguhan organisasi sektor publik dalam mengimplementasikan sistem pengendalian internal. Pengukuran ini dilakukan secara mandiri (selfassessment) yang divalidasi oleh tim penilai (assessor). Tim inilah yang kemudian menghasilkan indeks maturitas.

Sayangnya, penilaian maturitas sistem pengendalian internal kini telah bergeser, yaitu dilihat sebagai penilaian baik atau buruknya sebuah organisasi sektor publik. Sebagai contoh, suatu organisasi sektor publik yang mendapatkan indeks sistem pengendalian internal tinggi akan dianggap sebagai suatu organisasi yang baik. Akhirnya, banyak organisasi sektor publik yang malah berfokus bagaimana mendapatkan indeks yang tinggi daripada mengidentifikasi kelemahan pengendalian terkait dengan pencapaian tujuan stratejik organisasi.

Selidik punya selidik, untuk mendapatkan indeks sistem pengendalian internal yang tinggi ternyata tidaklah terlalu sulit, yaitu suatu organisasi sektor publik cukup memperhatikan parameter yang tersedia. Parameter ini ternyata hanya menekankan apakah sesuatu hal telah dibuat, dikomunikasikan, dilaksanakan, dievaluasi, dan dikembangkan lebih lanjut.

Kemudian, berbagai paramater tersebut fokus pada ada atau tidaknya dokumentasi. Penilaian terhadap ada atau tidaknya dokumentasi inilah yang kemudian menjadi celah bagi banyak organisasi sektor publik untuk mereduksi konsep ideal sistem pengendalian internal, yaitu menjadi sekadar sebagai pekerjaan administrasi.

Kemudian, kombinasi metode pengumpulan data melalui wawancara, kuesioner, dan observasi untuk mengukur maturitas sistem pengendalian internal, menurut pedoman, hanya dilakukan jika diperlukan dan bukan sebagai sebuah keharusan (mandatory). Sebagai contoh, jika pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner dan analisis dokumen telah menghasilkan data yang konsisten, maka wawancara dengan anggota organisasi sering tidak dilakukan.

Meski prosedur itu semua dilakukan, tim assesor belum dibekali dengan metode penilaian kualitatif, sehingga jika terdapat hasil observasi dan wawancara yang tidak konsisten dengan hasil kuesioner ataupun reviu dokumen, maka kecenderungannya dua metode yang terakhir ini yang akan digunakan. Karenanya, pengukuran  kematangan sistem pengendalian internal ini kemudian menjadi sangat kuantitatif dan cenderung menggeneralisasi.

Pergeseran pengukuran maturitas sistem pengendalian internal ini menjadi penyebab adanya ketidakkonsistenan antara indeks maturitas dan realita lapangan. Sebagai contoh, sistem pengendalian internal beberapa organisasi sektor publik di Indonesia telah berada pada indeks  ‘terdefinisi’ atau di atasnya.  Tingkatan maturitas “terdefinisi” memiliki arti bahwa sistem pengendalian internal organisasi sektor publik dipandang telah cukup baik, tetapi evaluasi atas pengendalian internal belum cukup terdokumentasi.

Anehnya, jika diinvestigasi lebih jauh, banyak pegawai organisasi sektor publik yang belum memahami aturan perilaku atau kode etik organisasinya. Selain itu, meskipun banyak organisasi sektor publik yang telah memiliki register risiko dan menyosialisasikan register ini, banyak pegawai organisasi sektor publik yang belum memahami apa saja risiko organisasi dan dampak risiko ini pada pelaksanaan tugas mereka.

Yang aneh lagi, ternyata beberapa pegawai organisasi sektor publik belum puas dengan posisi di mana mereka ditempatkan. Selain itu, mereka memandang bahwa keteladanan pimpinan mereka masih rendah dan mereka sendiri masih kurang berinovasi.

Tidak mengherankan, jika kemudian penerapan sistem pengendalian internal oleh sebagian besar profesional birokrasi masih dimaknai sebagai sekadar pemenuhan formalitas dokumentasi atas aktivitas yang mereka lakukan. Tidak aneh juga jika profesional birokrasi kemudian memaknai sistem pengendalian internal hanya sebagai beban pekerjaan yang tidak relevan dengan tujuan stratejik organisasi.

Karenanya, timbul pertanyaan di benak saya: Jika hal demikian yang terjadi, sudah dapatkah pengukuran maturitas sistem pengendalian internal ini digunakan untuk menujukkan keberhasilan penerapan sistem pengendalian internal organisasi sektor publik di Indonesia?

Epilog

Sudut pandang pemahaman sistem pengendalian internal yang deterministik telah membuat implementasi sistem pengendalian internal menjadi sekadar pekerjaan administratif. Kini organisasi sektor publik di Indonesia hanya fokus pada keberadaan unsur pengendalian, tanpa memberikan perhatian yang cukup pada pencapaian tujuan stratejik organisasi.

Pengukuran kematangan sistem pengendalian internal yang cenderung kuantitatif ini hanya mampu mengungkapkan sisi permukaan penerapan sistem pengendalian internal dan abai pada aspek manfaat penerapan sistem pengendalian internal itu sendiri.

Agar dapat bermanfaat bagi organisasi sektor publik, penerapan sistem pengendalian internal di Indonesia mesti menjadi sebuah gerakan yang melibatkan berbagai disiplin. Hal ini penting agar semangat untuk menerapkan sistem pengendalian internal dapat membantu organisasi sektor publik mengarahkan perilaku anggota organisasi sektor publik pada pencapaian tujuan  organisasi dan bukan sekadar menjadikan organisasi sektor publik di Indonesia berkompetisi untuk mendapatkan indeks maturitas sistem pengendalian internal yang tinggi.

 

 

0
0
Sulistiowati ▲ Active Writer

Fungsional auditor di instansi pemerintah pusat.

Sulistiowati ▲ Active Writer

Sulistiowati ▲ Active Writer

Author

Fungsional auditor di instansi pemerintah pusat.

7 Comments

  1. Avatar

    Sebetulnya pangkal semua ini adalah adanya budaya ketidakjujuran dan gemar pencitraan, sehingga formalitas tampilan dan administrasi lebih diutamakan dari pada substansi. Sayangnya, terkadang para penilai juga ‘satu hati’ dengan yang dinilai.

    Reply
  2. Avatar

    Menurut saya tulisan ini tidak perlu dimaknai sebagai kritikan atas ketidakpuasan, tapi lebih bersifat reflektif yang punya potensi perubahan. Sebagaimana kita tau, pengendalian internal bertujuan mengendalikan perilaku manusia (bukan benda atau makhluk lain), yang realitasnya unik dan sangat subyektif.
    Untuk menangkap realitas yang sebenarnya, akan sulit jika hanya mengandalkan pendekatan positivis-kuantitatif karena semua dipandang sebagai sesuatu yang obyektif (generalisasi).
    Sepertinya inti tulisan ini mengajak kita untuk lebih membuka diri dan bersedia melakukan dialog antar paradigma atau pendekatan (tidak deterministik), supaya lebih arif dan dengan semangat yg sama bertujuan meningkatkan manfaat sebuah sistem pengendalian.

    Reply
  3. Avatar

    Menarik tulisan ini. Belum lagi dikaitkan dengan apakah jika level maturitasnya telah tinggi misalnya level 3 ke atas, telah mampu mencegah pejabat dan pegawai organisasi atau instansi tersebut untuk melakukan korupsi.

    Reply
    • Avatar

      Terima kasih Pak atas komentarnya. Hal tersebut memang menjadi salah satu alasan utama saat akan menulis tema refleksi ini Pak. Idealnya, dengan diimplementasikannya SPIP dengan baik akan dinyatakan dengan skor maturitas yang tinggi, dan dibuktikan dengan tidak adanya korupsi.

      Reply
  4. Avatar

    Indeks maturitas SPIP dibangun dari paradigma positivism – quantitative. Secara ontologis pengendalian intern dipandang sebagai sebuat realitas obyektif yang independen terhadap persepsi manusia. Secara epistemologis, antara penilai indeks dengan organisasi yang dinilai adalah terpisah, entitas yang independen, tidak saling mempengaruhi. Kebenaran direpresentasikan melalui variabel dan indikator yang bebas nilai.
    Jadi, kalau mau mengkritik indeks, lebih tepat kalau menggunakan paradigm yang sama (positivism-quantitative). Kalau mengkritik dengan menggunakan paradigma intepretivism-qualitative ya …. jauh panggang dari api.

    Reply
    • Avatar

      tentu saja adanya internal control diharapkan mampu meningkatkan kualitas organisasi dari paradigma mana pun yang digunakan
      untuk itulah level terbaik dlm maturitas SPIP ialah Optimum atau 5 ,yakni kekonsistenan menjalankan subunsur level2 di bawahnya yang masih berkutat pada dokumentasi2 atas setiap kegiatan organisasi.

      Reply
    • Avatar

      Terima kasih Pak atas komentarnya. Dalam tulisan saya ini, saya tidak bermaksud untuk mengkritisi indeks, dalam hal ini terkait penilaian atau perhitungannya. Inti tulisan ini adalah bagaimana agar maturitas itu dibangun tidak terpaku hanya pada satu pendekatan. Salah satu pendekatan, yang menurut saya bisa dipakai, intepretativ qualitatif. Dengan pendekatan kualitatif, kita dapat memahami permasalahan mendasar dalam sebuah kebijakan, dalam sebuah proses. Dan bila harus menggunakan paradigma yang sama saat dibangun, menurut saya jadi deterministik lagi.

      Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post