Bajak Laut Berompi Sensus

by Royhan Faradis ◆ Active Writer | Nov 23, 2020 | Perjalanan/Pengalaman | 1 comment

Hai, perkenalkan nama saya Royhan Faradis. Saya adalah seorang pria yang gemar mengobrol dan menikmati pantai sejak kecil. Lahir di pesisir Madura tepatnya Bangkalan 26 tahun silam, membuat saya gemar bermain pasir pantai. Saya yang dahulu senang mengoleksi berbagai jenis cangkang kerang ini, telah empat tahun menjadi seorang Aparatur Sipil Negara (ASN).

Sebagaimana ASN pada umumnya, ikrar untuk siap ditempatkan di mana saja menjadi harga mati. Sayangnya SK Penempatan Pertama “memaksa” saya untuk bertahan di Kantor Statistik dekat Pasar Baru dan menunda keinginan saya untuk berpetualang menyisir pantai-pantai.

Hingga suatu hari di sebuah ruang rapat, sebuah ide gila yang merubah hidup tiba-tiba terlontar dari bibir senior saya, Mbak Mardi namanya. “ Dis, kenapa kakimu goyang-goyang dari tadi, ganggu tahu !” seru dia yang merasa terusik dengan suara dentuman kecil meja yang bertemu dengan lutut saya berulang kali.

Sambil tetap fokus mengetik notulensi rapat, saya menyahut, “Suntuk mbak, udah tiga hari dengerin si Mr. Jhon ngoceh terus jadi bosan nih”. Memang telah tiga hari berlalu, Si Mister menjelaskan tentang Capital Stock dengan gaya British-nya kepada kami, membuat mata saya entah kenapa terus berkunang-kunang.

Kayaknya kamu kurang cocok deh di pusat, soalnya kerjaan kamu ya gini terus Dis nantinya. Palingan DL doang pas pelatihan survei, baru bisa kemana-mana”, celetuk mbak Mardi yang tiba-tiba memecah keheningan kami setelah perbincangan sebelumnya. Singkat cerita di tahun 2017 akhir, setelah melakukan pengajuan mutasi, SK Mutasi saya keluar dan menempatkan saya ke sebuah kabupaten kecil di pulau yang begitu indah yakni Belitung Timur.   

Benar saran dari Mbak Mardi, tidak percuma saya memilih untuk pindah ke daerah. Semangat bekerja kembali menggebu-gebu, begitu juga dengan semangat jalan-jalan saya. Entah karena faktor ekonomi atau karena dulu terlalu serius kuliah di STIS saya jadi lupa jalan-jalan, hanya bolak-balik Otista Jatiasih untuk mengajar bimbel di akhir pekan.

Benar saran dari Mbak Mardi, tidak salah saya memilih untuk pindah ke daerah. Semangat bekerja kembali menggebu-gebu, begitu juga dengan semangat jalan-jalan saya. Entah karena faktor ekonomi atau karena dulu terlalu serius kuliah di STIS saya lupa jalan-jalan, hanya bolak-balik Otista Jatiasih untuk mengajar bimbel saat akhir pekan tiba.

Beruntung kini tiap survei di lapangan, selalu menjadi momen menyenangkan untuk bertamasya dan mengobrol bersama rekan-rekan tanpa takut kantong bolong. Syukur Alhamdulillah, harta, data, dan wanita saya dapatkan semuanya di kota ini. Hehe

Ternyata kepindahan ini membawa saya ke sebuah cerita baru. Tepat di bulan September, kami akan menghadapi Sensus Penduduk. Sempat melewatkan Sensus Ekonomi 2016 karena masih di pusat, saya bertekad dalam hati bahwa saya harus mengambil peran di gawai ini. Turun langsung ke lapangan sebagai Koseka, saya dan ke-delapan petugas sensus mendata secara door-to-door menanyakan tentang keberadaan setiap penduduk di Kecamatan Simpang Pesak.

Gelaran Sensus Penduduk

Berliter-liter bensin dihabiskan, hingga bergelas-gelas kopi telah diteguk demi kelancaran Sensus Penduduk 2020. Terlebih, Simpang Pesak memiliki empat SLS yang tersebar di dua pulau berbeda dengan pulau Belitung yakni pulau Batu dan Ketapang.

Keduanya hanya dapat ditempuh lewat jalur laut dan konon salah satu pulau lebih dekat ke Pulau Seribu daripada Pulau Belitung. “Mantap jiwa”, gumam saya kala mendengar fakta tersebut. Tergambar jelas di benak saya, betapa serunya petualangan nanti, menjadi bajak laut berompi biru ala petugas sensus.

Dengan mempertimbangkan faktor cuaca, kami memutuskan untuk berangkat pada tanggal 10 September pukul 02.00 WIB dari Demaga Punai di desa Tanjung Kelumpang. Benar sekali, jam dua dini hari kapal harus sudah berlayar karena jika terlambat, ketinggian ombak bisa mencapai dua meter saat matahari terbit.

Jika ombak terlalu tinggi, perjalanan yang harusnya memakan waktu 6 jam bisa molor ke 10 jam dengan risiko kehabisan bahan bakar di tengah laut. Tentu ini bukan tantangan tetapi perkara yang harus dimitigasi.

Di awal keberangkatan, kami semua mengalami mabuk laut tiada tara, isi perut seolah mau keluar entah kemana. Tidak ada yang berani mengobrol, semua mencoba untuk tidur sambil menahan rasa mual, kecuali si nakhoda tentu saja.

Semua terasa lebih baik saat fajar datang. Kami bergumam betapa indahnya dunia ini saat matahari mulai terbit, birunya laut dan indahnya pulau-pulau tak berpenghuni menyapa kami sebelum memulai pendataan. Perjalanan ini hanya menambah keimanan kami saja bahwa ini semua pasti ada yang menciptakan.

Jam 17.00 WIB, hari Jum’at tanggal 11 September pendataan ke pulau telah usai. Kami semua saling menatap haru satu sama lain dengan rasa bangga telah berkontribusi pada negara dengan Mencatat Indonesia. Alhamdulillah kami sehat, dokumen selamat.

4
0
Royhan Faradis ◆ Active Writer

Seorang ASN yang bertugas di Seksi Produksi pada Kantor Badan Pusat Statistik Kabupaten Belitung Timur, Kota Sejuta Pelangi

Royhan Faradis ◆ Active Writer

Royhan Faradis ◆ Active Writer

Author

Seorang ASN yang bertugas di Seksi Produksi pada Kantor Badan Pusat Statistik Kabupaten Belitung Timur, Kota Sejuta Pelangi

1 Comment

  1. Avatar

    luar biasa, pengalaman yg mengharukan. sukses melayani dan mengabdi, semua untuk negeri.

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post