Saya seringkali menerima email yang tanpa isi. Saya menyebutnya email bodong. Biasanya pengirimnya adalah mahasiswa yang mengirimkan tugas esai untuk mata kuliah yang saya ampu. Pernah saya tanyakan ke beberapa kelas yang mahasiswanya melakukan praktik seperti ini. Jawabannya beragam, mulai “kami biasa begitu ke semua dosen, ma’am,” “takut dianggap cari perhatian sama dosen,” sampai “tidak tahu harus ngomong apa di email.”
Meski saya sempat jengkel saat harus mengunduh semua file agar tahu apa isi email para mahasiswa, saya memberitahu mereka bahwa etika menulis email itu sama halnya dengan menulis surat. Harus ada pengantar, isi, dan penutup. Sejak saat itu, email dari mahasiswa yang pernah saya beri briefing ini tidak lagi bodong. Walaupun masalah ini kemudian berpindah ke kelas-kelas lain yang nampaknya menunggu diberi briefing juga, hehe.
Di kesempatan yang berbeda, mahasiswa tingkat akhir di jurusan tempat saya mengajar mulai dilanda kecemasan. Kami memang mulai memberlakukan penggunaan Turnitin, software anti plagiasi berbayar yang dilanggan oleh kampus. Mereka yang akan maju ujian skripsi harus melampirkan laporan tingkat kesamaan dokumen. Dosen pembimbing diberi tugas mengunggah file skripsi mahasiswa untuk mengidentifikasi tingkat kesamaan. Hasilnya amat beragam. Mahasiswa yang memang menulis sendiri skripsinya sejak awal boleh berbangga dengan tingkat kemiripan di bawah 20%. Cukup banyak yang ‘sukses’ hanya terdeteksi di bawah 10%. Sementara itu, mereka yang skripsinya terdeteksi di atas 20% jadi kelabakan. Bahkan saya sendiri pernah menunda ujian skripsi seorang mahasiswa yang skripsinya terdeteksi sampai 46% kemiripannya.
Dampak penggunaan Turnitin ini mulai ‘menjangkiti’ para dosen. Sebagian malah menggunakannya sebagai saringan awal dalam menilai tugas-tugas UAS mahasiswa yang berbentuk esai. Saya termasuk di antaranya. Mahasiswa yang mengerjakan tugas dengan modal sakat (salin lekat) dari makalah gratisan yang beredar tak terbatas di dunia maya bagaikan tertangkap basah. Bayangkan! Tingkat kemiripan sampai 98% dapat terdeteksi. Jangan harap bisa lulus mata kuliah bila begini caranya. Para dosen bersorak gembira. Para mahasiswa harus mikir seribu kali sebelum menyerahkan skripsi atau tugasnya.
digital-literacy
sumber: pomo.com.au
Sementara itu, di seberang dunia sana di Hong Kong, ribuan buruh migran Indonesia (BMI) tak ketinggalan exist di dunia maya. Di pojok-pojok warung internet, taman, dan perpustakaan Hong Kong, saya pernah menyaksikan puluhan saudari sebangsa dan setanah air sedang chatting. Penuturan sebagian blogger BMI mengungkapkan berbagai versi praktik romansa antar bangsa lewat dunia maya. Sebagian dari praktik ini bahkan berdampak pada upaya memeras isi rekening sebagian BMI atas nama cinta. Cerpen-cerpen yang ditulis BMI penulis cukup banyak mengungkap fenomena ini.
Di antara para BMI ini, ada puluhan yang aktif ngeblog dengan misi perjuangan. Mereka memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Menulis di ponsel sambil menunggu cucian berputar di dalam mesin cuci. Membuka laptop saat larut malam meski tubuh lelah tak terkira. Mencatat hasil pengamatan di kertas di balik daftar belanja. Mereka menulis tentang banyak hal. Tentang lika-liku kehidupan BMI. Tentang kegiatan komunitas di hari libur di sepanjang sudut Victoria Park. Dan lebih penting lagi, tentang hak-hak TKW dalam hukum perburuhan di Indonesia dan Hong Kong. Lewat jejaring dunia maya yang melibatkan penggunaan blog, Facebook dan Twitter, bahkan para BMI sukses menggerakkan dunia internasional dalam menuntaskan kasus Erwiana, seorang BMI asal Magetan yang disiksa dan dipulangkan tanpa gaji oleh majikannya. Singkat cerita, dalam kurun waktu 1 tahun sejak kasus terjadi di awal 2014, perhatian dunia internasional tertuju pada Erwiana. Sang majikan divonis 16 tahun oleh pengadilan Hong Kong. Dan Erwiana bertransformasi dari perempuan lugu yang tak berani bicara menjadi salah satu sosok paling berpengaruh di dunia versi majalah Time di tahun 2014.
Apa makna dari contoh-contoh yang saya paparkan di atas? Internet laksana pedang dengan dua mata. Di tangan seorang yang pintar tanpa hati cerdas, pedang dapat membunuh. Di tangan seorang bersahaja namun berhati mulia, pedang yang sama dapat menyelamatkan dunia. Dunia maya adalah pedang yang dapat membuat sosok calon ilmuwan seperti mahasiswa saya untuk berani melanggar etika akademik demi nilai tinggi. Dia juga mendorong sosok yang sering dianggap bodoh dan udik seperti para BMI menjadi pejuang kemanusiaan. Jadi sebenarnya internet hanyalah alat. Makna dan kebermanfaatannya bergantung pada siapa yang menggunakannya.
Email bodong dapat berubah menjadi email beretika berkat briefing. Esai dan skripsi berbau plagiasi dapat direvisi melalui pembelajaran ketrampilan menulis akademik. Para BMI mampu memanfaatkan dunia maya sebagai alat perjuangan karena mereka tahu dahsyatnya pengaruh internet. Ini semua berarti bahwa pemanfaatan internet sehat dapat dilatihkan dan diajarkan.
Tentu saja pembelajaran internet sehat adalah tanggung-jawab kita semua. Gerakan Literasi Sekolah (GLS) telah bergulir di awal tahun 2016, dan digawangi Direktorat Jendral Dikdasmen Kemdikbud. Dalam Disain Induk dan Panduan GLS untuk setiap jenjang pendidikan disebutkan pentingnya literasi informasi. Literasi informasi itu sendiri dimaknai sebagai ketrampilan berpikir untuk memahami dan mengolah informasi dari berbagai sumber pengetahuan dalam bentuk cetak, visual, digital, dan auditori. Inilah literasi abad ke-21 sebagaimana ditetapkan oleh Unesco (2003).
Komponen literasi informasi meliputi literasi dasar, literasi perpustakaan, literasi media, literasi teknologi, dan literasi visual. Pemahaman dan pemanfaatan semua komponen ini secara holistik adalah tanggung jawab pendidikan formal, keluarga, dan masyarakat. Dengan demikian anak-anak kita dapat berkembang menjadi pembelajar sepanjang hayat yang dapat memberikan sumbangsih secara aktif sebagai warga negara global.
Misi ini pastinya tidak semudah membalik telapak tangan. Perlu perubahan paradigma di berbagai lapisan kepentingan. Orang tua yang khawatir akan pemanfaatan gadget untuk hal-hal yang tidak sehat perlu melek teknologi. Merek harus tahu aplikasi apa saja dan situs apa saja yang dapat dimanfaatkan untuk pendidikan yang ramah anak, menyenangkan dan menghibur. Guru dan dosen yang gemes dengan tingginya tingkat kecurangan akademik harus mendongkrak kemampuan mengajarnya dengan menggunakan pembelajaran berbasis teknologi informasi. Ini berarti perlu adanya kerangka kompetensi literasi informasi yang dapat menetapkan indikator yang lebih terukur.
Jadi, sebaiknya kita berhenti terus berwacana atau bahkan memperdebatkan apakah internet itu membahayakan atau mendidik. Sudah waktunya kita menyatukan dan menetapkan langkah-langkah konkrit dan terukur. Saya membangun harapan agar kita semua para pendidik dan perencana di dunia pendidikan mulai berpikir untuk menyusun kerangka kompetensi literasi informasi yang sesuai dengan nilai-nilai bangsa dan agama. Semoga ini dapat menjadi salah satu resolusi 2017 buat teman-teman Penggerak Literasi Unesa (PLU)
Dunia 3.0 sudah bergulir, jangan sampai kita tetap berada di dunia analog. Sebagaimana pernyataan Marc Prensky (2001), anak-kita kita adalah digital natives, alias penduduk asli di dunia digital. Sementara itu, mayoritas di antara kita para orang-tua dan guru atau dosen adalah penduduk pindahan alias imigran. Mari kita didik anak-anak kita dengan cara sesuai jamannya, namun tetap mempertahankan nilai-nilai yang mencerminkan identitas bangsa kita.
Pegiat literasi dan sehari-harinya merupakan dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris pada Universitas Negeri Surabaya, Tulisan-tulisannya yang selalu bertemakan “literasi” membuka cakrawala berpikir para pembacanya.
0 Comments