Dalam kurun waktu dua bulan terakhir, perhatian dunia terus menerus terarah ke Negeri Tirai Bambu, Republik Rakyat Tionghoa. Bukan karena pesatnya perkembangan negara tersebut sebagai “negara adidaya”, tetapi karena menyebarnya Coronavirus disease (COVID-19) yang telah menelan nyawa ratusan jiwa penduduk di sana.
Berbagai negara kemudian dengan sekuat tenaga membentengi diri agar tidak kemasukan virus itu. Salah satunya dengan terus menyampaikan betapa bahayanya virus tersebut, dan bagaimana cara pencegahannya.
Dalam ilmu manajemen risiko, upaya itu disebut dengan risk communication, yaitu menyampaikan atau mengomunikasikan risiko atas suatu hal yang dapat berdampak pada pihak-pihak tertentu, dengan tujuan agar pihak-pihak tersebut dapat memitigasinya.
Rasa yang Utama?
Dalam artikel ini, saya tidak akan membahas tentang virus corona yang sedang menjadi buah bibir tersebut. Namun, penekanan saya ialah tentang risk communication yang kebetulan menjadi bagian penting dalam penanganan corona, baik di negara asalnya maupun di negara lain yang memitigasi dampaknya.
Saya teringat pada suatu upaya yang dilakukan oleh United Kingdom (UK) Government dalam mengomunikasikan risiko kepada masyarakat, khususnya terkait dengan makanan yang dikonsumsi. Cerita ini membawa saya mengingat kembali periode ketika saya menjalani studi pascasarjana di University of Nottingham, Inggris di tahun 2017 lalu.
Selain harus beradaptasi dalam mengikuti cara belajar di sana, tentu saja adaptasi tentang makanan juga menjadi salah satu tantangan besar. Untuk orang Indonesia seperti saya, respons yang kebanyakan muncul ketika menikmati masakan di sana adalah, “Kok sepertinya kurang garam dan kurang micin ya…”.
Salah satunya ketika menikmati ayam tepung krispi ala-ala KFC. Kebanyakan rasanya hambar (menurut standar lidah saya dan teman-teman asal Indonesia). Pun demikian dengan ayam KFC yang dijajakan di negara itu. Rasanya berbeda dengan yang ada di Indonesia.
Sampai akhirnya kami menemukan satu restoran cepat saji khusus menjual ayam bernama Maryland Chicken. Rasanya benar-benar seperti rasa ayam krispi di Indonesia, “micinnya dapet banget!” Restoran itu akhirnya menjadi tempat favorit saya dan teman-teman dari tanah air.
Kekagetan muncul ketika suatu waktu, restoran itu tiba-tiba tutup dalam waktu yang lama. Kebingungan saya terjawab ketika membaca berita bahwa restoran tersebut ditutup oleh pihak yang berwenang, karena setelah dilakukan inspeksi disimpulkan bahwa rating kebersihan makanan (food hygiene rating/FHR) di restoran tersebut adalah sangat buruk dan memerlukan perbaikan segera.
Dari situlah saya mulai mencari tahu tentang apa itu FHR. Secara sederhana FHR dapat dipahami sebagai sebuah rating yang dirilis oleh Food Standards Agency, sebuah lembaga independen pemerintah dengan lingkup kerja di seluruh Inggris, Wales, dan Irlandia Utara.
Institusi ini bertugas untuk melindungi kesehatan masyarakat dan kepentingan konsumen yang lebih luas terkait dengan makanan. FHR menggunakan skema level 0 sampai dengan 5, dengan 0 sebagai rating terburuknya. Skema ini membantu masyarakat memilih tempat makan atau berbelanja makanan dengan memberi informasi yang jelas tentang standar kebersihan di tempat tersebut.
Ruang lingkupnya adalah penggambaran standar kebersihan makanan yang ditemukan pada saat inspeksi, seperti pengolahan makanan, bagaimana makanan disimpan, bagaimana makanan disiapkan, kebersihan fasilitas, dan bagaimana keamanan atas makanan dikelola.
Meskipun begitu, skema FHR tidak menilai tentang kualitas makanan (terutama rasa makanan), pelayanan pelanggan, keterampilan kuliner, presentasi tampilan makanan, dan kenyamanan di tempat penjualan.
Salah satu keunggulan dari skema FHR ialah bahwa cakupan tempat penjaja makanannya pun cukup luas, dari mulai restoran, café, dan pub, food vans, hotel, supermarket, sampai tempat publik seperti sekolah dan rumah sakit.
Memahami Implementasi FHR
Dalam implementasinya, FHR biasanya ditempelkan di pintu masuk tempat penjaja makanan. Misalnya, di pintu depan restoran – dengan menunjukkan rating-nya mulai 0 sampai dengan 5. Untuk masyarakat yang ingin tahu penjelasan secara lengkap, misalnya mengapa restoran yang dipilih mendapatkan rating ‘2’, maka mereka dapat mengakses secara online penjelasan pada website https://ratings.food.gov.uk/.
Hal ini menggambarkan bahwa Pemerintah UK terus berupaya untuk mengedukasi masyarakatnya untuk memahami risiko ketika mengonsumsi makanan, dengan memberikan informasi yang jelas tentang bagaimana kondisi kebersihan makanan yang akan dikonsumsi.
Penggambaran sederhananya, jika pelanggan tetap memilih untuk membeli makanan pada restoran dengan rating ‘0’ atau ‘1’ artinya pemerintah telah mengomunikasikan bahwa pelanggan memiliki risiko yang sangat besar terpapar dampak buruk dari makanan yang tidak bersih, dan pelanggan tersebut setuju menerima risiko itu.
Bahkan masyarakat pun diperbolehkan, jika perlu, memeriksa laporan yang dibuat oleh petugas inspeksi yang mendasari rating tersebut diberikan. Menunjukkan bagaimana tingkat akuntabilitas atas penetapan rating atas suatu tempat penyedia makanan, sebuah kebijakan yang sangat edukatif.
Kembali lagi ke tempat penjual ayam krispi favorit saya tadi, rating yang disematkan pada restoran tersebut adalah ‘0’ atau dengan predikat ‘urgent improvement necessary’.
Ketika diperiksa melalui online rating-nya, ketiga indicator: hygienic food handling, cleanliness and condition of facilities and building, dan management of food safety, memperoleh predikat improvement necessary.
Lebih mengagetkan ketika menilik indikator keamanan penyimpanan makanan, terdapat predikat tambahan ‘urgent improvement necessary’. Sebuah fakta yang menarik ketika saya dan teman-teman pada awalnya memilih tempat makan berdasarkan rasa, tetapi mengesampingkan hal lain yang seharusnya menjadi perhatian.
Mengapa demikian? Mungkin karena masyarakat Indonesia masih belum memiliki kesadaran yang cukup tentang hal-hal yang dibahas dalam FHR tersebut. Buktinya, setelah restoran itu dibuka kembali, teman-teman asal Indonesia (termasuk saya juga sih), tetap saja kembali kesana dan menikmati sajian istimewa ayam krispi micin yang menggugah selera.
Kami berargumen, “ya mules-mules sedikit gak apa-apa lah ya”. Sebuah contoh penggambaran betapa risk naïve-nya kami ketika menghadapi adanya risiko itu.
Simpulan
Mengomunikasikan risiko memang bukan perkara mudah, banyak faktor yang perlu dipertimbangkan. Kematangan publik, dalam hal ini masyarakat, juga perlu menjadi perhatian. Di lingkungan yang masyarakatnya kurang perhatian dalam mencari informasi, tentu memberikan sinyal-sinyal yang membutuhkan effort mandiri dari masyarakat bukan merupakan pilihan utama.
Seperti dalam konteks di UK, pelanggan harus melihat sendiri rating dan membaca detilnya melalui rating online jika ingin tahu informasi lengkapnya. Jika publik belum terbiasa aware dalam mencari informasi, tentu pendekatan yang dilakukan dalam mengomunikasikan risiko harus berbeda.
Sayangnya, di negeri kita, pendekatan komunikasi risiko ini biasanya dilakukan dengan unsur fear, atau menarik perhatian dengan pesan bernuansa ketakutan.
Seorang alumnus ASN yang sedang menikmati dunia yang penuh uncertainty, dengan mempelajari keilmuan risiko dan komunikasi.
saya punya pengalaman (tidak) sederhana di indonesia. keluarga kami biasa menggunakan bumbu /penyedap rasa instan. sudah mengunakan beberapa tahun, baru iseng2 baca kemasannya. itu pun yang pertaman menyadari anak kami yang memang sedang gemar membaca apa saja. di kemasan bumbu tersebut ada informasi zat kimia tambahan. kemudian di bawahnya ada catatan kurang lebih: tidak untuk dikonsumsi anak di bawah usia 5 tahun, ibu hamil dan menyusui. padahal bumbu itu sudah biasa kami gunakan untuk masakan keluarga yang ada balita dan ibu hamil / menyusuinya. Keterangan yang sama persis juga ada pada sebuah makanan ringan kacang pilus dalam kemasan. kami merasa sok dan menyesal tidak teliti dulu sebelum menggunakan produk. saya menduga banyak keluarga atau orang2 seperti saya di Indonesia. karena produk2 yang saya maksud sangat populer dan banyak digunakan.