Baru-baru ini sedang ramai dibicarakan tentang banyaknya Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang mengundurkan diri setelah dinyatakan lulus seleksi. Tak kurang dari 100 orang CPNS menyatakan mundur pasca penetapannya lolos seleksi dan memulai tahap selanjutnya.
Meskipun apabila dikomparasi dengan total 112.513 orang yang telah lolos seleksi, jumlah CPNS yang mengundurkan diri tersebut mungkin hanya 0,09 persen, tetapi mengingat stigma yang melekat di masyarakat tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai “pekerjaan impian”, fenomena ini tentu menarik untuk dikaji lebih dalam.
Badan Kepegawaian Negara (BKN) menyebutkan bahwa terdapat 4 alasan penyebab mundurnya para CPNS tersebut, yaitu gaji, tunjangan, dan penempatan kerja yang tidak sesuai ekspektasi serta tidak lagi memiliki motivasi sebagai CPNS.
Untuk mencegah kejadian seperti ini terulang kembali, BKN kemudian menyiapkan sanksi yang lebih berat kepada CPNS yang mengundurkan diri setelah dinyatakan lulus seleksi. Tidak hanya sanksi berupa blacklist dari proses seleksi CPNS tahun berikutnya, tetapi kewajiban membayar denda materiil juga disiapkan untuk mereka yang mengundurkan diri.
Cukupkah dengan Sanksi?
Pemberian sanksi atas keputusan CPNS yang mengundurkan diri sebetulnya dapat dipahami dan sangat logis. Seleksi CPNS (atau juga disebut Seleksi CASN apabila digabungkan dengan seleksi PPPK) merupakan sebuah aktivitas yang memerlukan biaya sangat besar.
Artinya, pengunduran diri CPNS setelah dinyatakan lolos seleksi merupakan sebuah kerugian bagi instansi pemerintah, karena gagal memperoleh talenta yang diinginkan setelah mengeluarkan biaya seleksi yang besar.
Pemberian sanksi semacam inipun jamak dilakukan di institusi privat terhadap para pelamarnya yang mengundurkan diri setelah dinyatakan lulus proses rekrutmen dan seleksi. Akan tetapi, apakah sanksi ini mampu mengatasi sumber permasalahan dari kejadian ini?
Beberapa praktisi menyatakan bahwa meskipun aksi ini hanya dilakukan oleh sebagian kecil dari mereka yang dinyatakan lulus seleksi, seyogyanya kejadian ini dapat menjadi sarana bagi pemerintah untuk melakukan introspeksi terhadap manajemen ASN secara keseluruhan, apabila pemerintah memang masih menginginkan untuk merekrut putra-putri sebagai PNS.
Salah satu yang menjadi fokus pembahasan para praktisi dari 4 (empat) alasan pengunduran diri yang sebelumnya telah disampaikan adalah persoalan gaji.
Gaji PNS terlalu kecil?
Mengukur besar kecilnya gaji seorang PNS memang bersifat sangat relatif. Hal ini karena PP Nomor 15 Tahun 2019, yang mengatur gaji PNS, bersifat nasional. Yang mana artinya, PNS yang bertugas di Provinsi Sumatera Utara dengan PNS yang bertugas di Kabupaten Merauke keduanya sama-sama menerima gaji yang sama sesuai pangkat atau golongannya.
Begitu juga halnya yang diterima oleh PNS di instansi pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, tidak terdapat perbedaan. Padahal, kebutuhan hidup layak bagi setiap individu di masing-masing daerah tentunya tidak sama.
Jika gaji yang diterima PNS di manapun besarannya sama, tidak demikian halnya dengan tunjangan atau tambahan penghasilan. Selain gaji dan tunjangan, PNS juga menerima tunjangan kinerja untuk pemerintah pusat atau tambahan penghasilan untuk PNS di Pemerintah daerah, yang besarannya diatur dengan peraturan tertentu.
Khusus pemerintah daerah, pemberian tambahan penghasilan disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah. Di sinilah sebenarnya awal mula disparitas kesejahteraan PNS terjadi.
Pemberian tunjangan kinerja dan tambahan penghasilan yang sebetulnya merupakan sebuah konsep bagus karena penghasilan yang diterima PNS diberikan atas dasar kinerja (performance based-pay), menjadi absurd manakala dihubungkan dengan kapasitas fiskal masing-masing daerah.
Pemerintah daerah yang memiliki sumber pendapatan asli daerah melimpah, atau disebut daerah kaya, tentu akan mampu memberikan tambahan penghasilan lebih banyak dibandingkan pemerintah yang masih rendah kemandirian fiskalnya. Hal ini belum mempertimbangkan komitmen stakeholders terhadap isu kesejahteraan ASN.
Anggapan yang selama ini melekat bahwa PNS merupakan pekerjaan dengan keamanan dan kenyamanan tinggi bisa jadi telah menggiring pemikiran banyak pelamar CPNS bahwa, gaji PNS sesuai PP 15/2019 memanglah kecil, tapi tunjangan kinerja atau tambahan penghasilannya besar sebagaimana yang diterima oleh ASN di beberapa instansi atau pemerintah daerah.
Manakala fakta yang ditemukan ternyata berbeda, mungkin inilah yang membuat para CPNS tersebut akhirnya terdemotivasi dan memutuskan untuk mengundurkan diri.
Reformulasi Pengelolaan Sumber Daya Manusia
Persoalan gaji ini juga telah memantik opini dari politikus senayan. Mardani Ali Sera, menyatakan bahwa fenomena ini merupakan sebuah puncak gunung es dari persoalan pengelolaan ASN yang masih menggunakan paradigma lama.
Padahal, pola dan sifat pekerjaan di era disrupsi yang sangat volatile ini telah banyak berubah. Memang, pemerintah harus menyadari bahwa paradigma manajemen sumber daya manusia (MSDM) sendiri telah jauh berubah.
Secara historis, perubahan pengelolaan SDM dibagi menjadi 3 fase utama. Pertama, fase pendekatan personalia. Pada tahapan ini karyawan, tenaga kerja atau manusia dianggap sebagai beban usaha (cost).
Selain itu pada fase ini, pendekatan yang lebih banyak digunakan adalah teori X dari Douglas McGregor, di mana punishment dianggap sebagai cara terbaik untuk memperbaiki kinerja karyawan.
Kedua, fase Sumber Daya Manusia. Pada fase ini punishment dianggap tidak sesuai lagi untuk memperbaiki kinerja karyawan. Karyawan atau pekerja dianggap sebagai sumber daya (resource). Teori-teori motivasi mulai digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan kinerja.
Pendekatan manajemen berbasis kompetensi serta mulai adanya perhatian pada pengembangan kapasitas individu tampak pada tahapan ini.
Dan ketiga, fase human capital. Pada tahapan ini, SDM dianggap sebagai modal atau aset utama organisasi. Kinerja organisasi dengan demikian merupakan cerminan dari kualitas atau mutu dari manusia-manusia yang ada di dalamnya.
Lantas, di posisi manakah manajemen ASN kita?
Apabila melihat latar belakang dan implementasi Undang-undang ASN (UU ASN) maka sebenarnya dapat dikatakan manajemen ASN kita telah berada pada tahap akhir fase sumber daya manusia atau human resources, dan mulai menginjak tahap awal fase human capital.
Sistem manajemen talenta, seleksi berbasis kompetensi pada proses rekrutmen, maupun pengisian jabatan pimpinan tinggi merupakan ciri khas dari fase ini. Pengembangan kompetensi individu ASN pun tak luput menjadi fokus perhatian dengan munculnya kewajiban masing-masing ASN untuk menempuh 20 jam pelajaran per tahun.
Padahal, ASN adalah Modal (Capital) Pemerintah
Sebagaimana disebutkan pada paragraf sebelumnya, human capital merupakan sebuah paradigma terkini dalam pengelolaan atau manajemen SDM. Istilah human capital sebenarnya telah muncul sejak tahun 1955 oleh Gary Becker, tetapi ide briliannya baru mendapatkan apresiasi nobel di bidang ekonomi pada tahun 1992.
Pada sektor privat, ide human capital telah berkembang melalui pemikiran bahwa manusia, apabila dikelola dengan tepat dan efektif merupakan sebuah modal yang dapat menghasilkan keuntungan yang signifikan, dan memiliki nilai yang jauh lebih berharga dibandingkan dengan aset-aset tetap.
Human Capital merupakan gabungan dari pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dimiliki individu dan menjadi *value* atau aset bagi organisasi.
Untuk memperoleh berbagai faktor bernilai yang ada dalam diri manusia ini, organisasi perlu memberikan daya tarik yang mampu memotivasi masing-masing individu untuk bergabung, memiliki keterikatan dan pada akhirnya memberikan “nilai” tersebut bagi organisasi.
Selain peluang pengembangan diri, fleksibilitas kerja dan berbagai budaya kerja positif lainnya, gaji dapat menjadi sarana efektif yang mampu menjadi daya tarik bagi individu-individu berbakat untuk bergabung di dalam organisasi.
Sayangnya, sistem penggajian merupakan salah satu aspek yang belum tersentuh paradigma human resources-human capital yang terdapat dalam UU ASN. Sistem penggajian ASN masih menggunakan sistem pangkat dan golongan ruang yang lebih mempertimbangkan aspek masa kerja dibandingkan kinerja.
Dengan kata lain, sehebat apapun value yang ada dalam diri seorang PNS, dia tidak bisa menerima gaji yang lebih besar dibandingkan PNS lain dalam pangkat, golongan dan jabatan yang sama yang telah memiliki masa kerja yang lebih lama.
Memang ada tunjangan kinerja dan tambahan penghasilan PNS, tetapi adanya disparitas yang tinggi justru dapat menjadi aspek kontraproduktif karena dapat memunculkan kecemburuan antarinstansi.
Antara Beban Keuangan, Kinerja dan Ancaman
Delapan (8) tahun sejak diundangkannya UU ASN, peraturan tentang gaji dan pangkat ASN yang lebih modern masih menjadi sebatas wacana. Kemampuan keuangan negara selalu menjadi alasan klasik yang menjadikan wacana tersebut belum dapat terealisasi.
Hal ini sebetulnya terjadi karena mindset yang berkembang bahwa belanja untuk gaji dan kesejahteraan ASN masih dianggap sebagai beban keuangan (cost), yang mana memang dalam ilmu manajemen selalu menjadi fokus perhatian untuk dilakukan efisiensi atau penghematan.
Pengeluaran untuk belanja pegawai belum dipandang sebagai salah satu bentuk aktivitas investasi yang nantinya diharapkan mampu meningkatkan return organisasi melalui value yang dimiliki oleh tiap-tiap ASN.
Dengan kata lain, ASN belum dianggap sebagai capital atau bahkan “sekadar” resources. ASN masih dipandang dari sudut padang personalia, yang mana akan meningkat kinerjanya apabila diberikan berbagai aturan-aturan yang “mengancam”.
Kita tidak menutup mata akan masih adanya perilaku kontraproduktif yang ditunjukkan oleh sebagian ASN di Indonesia. Tetapi apabila kita merubah paradigma, dengan menganggap bahwa ASN adalah modal, pemerintah sebetulnya dapat melakukan pendekatan yang tepat dan efektif tentang bagaimana mengelola “aset-aset” yang kurang produktif tersebut.
Reward terbaik dapat diberikan kepada individu dengan value terbaik di bidangnya, sekaligus punishment yang paling keras, dapat dilakukan apabila investasi berupa salary yang diberikan tadi ternyata tidak mampu menjadikan ASN lebih produktif.
Epilog: Catatan Penting
Mundurnya 100 orang CPNS, bisa jadi memang sebuah puncak gunung es. Bahkan salah satu artikel terpopuler pada forum birokrat menulis, justru artikel yang membahas dan menceritakan pengalaman seseorang yang mundur sebagai ASN, dan mendapatkan reply sebanyak 459 komentar!
Kondisi ini perlu disikapi dengan bijak oleh pemerintah. Bukan dengan mempertajam punishment. Bukan pula dengan anggapan bahwa akan mudah menemukan pengganti, karena selalu membeludaknya peminat seleksi CASN.
Dalam dunia MSDM, sudah menjadi pemikiran wajar bahwa merekrut dan mempertahankan talenta terbaik adalah hal terpenting bagi kelangsungan dan keberlanjutan organisasi. Kita perlu mengembangkan sebuah pola pikir bahwa apabila kita kehilangan satu saja talenta terbaik, bisa jadi kita telah kehilangan capital yang berharga bagi masa depan pemerintah dan birokrasi kita.
Tentu saja semoga hal itu tidak akan pernah terjadi.
Salut untuk pandangan dari berbagai sisinya…
izin share ya Pak Alfian.
Sepakat Mas Alfian. Tetapi alih-alih dianggap sebagai capital, faktanya praktik bureaucracy bashing terhadap ASN masih dilakukan.
Sangat setuju, Mas Alfian. Hanya memang perlu mempertimbangkan kembali kualitas ASN kita saat ini. Jika hendak memasuki fase Human Capital, harus ada pemilahan yang secara tegas membagi ASN yang bisa jadi modal dan yang masih sebatas resources, apalagi cost. Supaya energi (baca: insentif bagi ASN) bisa lebih layak dan disparitasnya menipis.
sepakat pak Andi