Gelombang reformasi dan otonomi daerah yang bergulir sejak dua dekade yang lalu ternyata mengembangkan permasalahan publik menjadi semakin rumit.
Kompleksitas permasalahan yang bersinggungan dengan berbagai kepentingan, situasi, dan kondisi menyebabkan birokrasi yang menjadi garda depan pelayanan publik harus mereformasi dirinya lewat terobosan kreatif dan inovatif.
Hal inilah yang selalu diperbincangkan banyak pihak, namun juga menimbulkan pertanyaan baru terkait upaya menciptakan terobosan tersebut, karena reformasi birokrasi masih berkutat pada rangkaian kerja teknokratik.
Dalam hal ini, upaya reformasi birokrasi tidak hanya cukup mengandalkan kepemimpinan teknokratik yang bertumpu pada birokrat eselon puncak, tetapi juga kepemimpinan politik yang dipegang oleh kepala pemerintahan, baik pusat maupun daerah.
Namun, pengaruh politik dalam birokrasi
seperti pedang bermata dua. Di satu sisi pengaruh tersebut merupakan alat
yang dapat ditransformasikan oleh kepemimpinan politik
menjadi dukungan politik untuk memuluskan jalan mereformasi birokrasi dan
menangkal berbagai resistensi, sehingga muncul adagium
‘bureaucracy reform is a political process’.
Sedangkan di sisi lain, pengaruh tersebut mampu menjerumuskan birokrasi ke dalam lingkaran politik praktis yang mengganggu profesionalisme Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam menjalankan tugasnya.
Oleh karenanya, penting untuk menempatkan dan mengelola politik birokrasi secara hati-hati.
Problematis: Penggiringan Politik ASN
Idealnya menurut B. Guy Peters dalam The Politics of Bureaucracy (1978), politik dalam birokrasi diperbolehkan hanya dalam empat dimensi hubungan, yakni:
- hubungan formal-internal, antara lain hubungan antar pejabat dalam lingkungan birokrasi;
- hubungan formal-eksternal, seperti dalam hubungan pejabat birokrasi dengan pihak legislatif terkait pembahasan anggaran dan peraturan hukum;
- hubungan informal-internal, seperti aktivitas lobi terkait kebijakan yang akan dibuat bersama dengan pemimpin politik di pemerintahan; dan
- hubungan informal-eksternal, antara lain melalui upaya mencari dukungan kebijakan dari masyarakat atau interest group agar lancar dalam implementasinya.
Keempat dimensi hubungan di atas sesungguhnya memfasilitasi masuknya pengaruh politik dalam birokrasi dengan batas-batas yang telah ditentukan, tetapi ada saja celah yang dimanfaatkan orang maupun kelompok tertentu untuk memanfaatkan pengaruh politik guna meraup keuntungan dan melanggengkan kekuasaan.
Yang paling klasik adalah penggiringan politik ASN untuk mendukung salah satu calon tertentu dalam pemilihan umum kepala daerah (Pilkada), utamanya calon petahana.
Ketidaknetralan ASN dalam Pilkada telah menjadi rahasia umum, karena rata-rata setidaknya sejak satu-dua tahun sebelum Pilkada dimulai, keberpihakan politik ASN kepada kepala daerah yang akan maju dalam Pilkada—baik terpaksa maupun sukarela—telah ditunjukkan dengan mempromosikan keberhasilan sang kepala daerah secara resmi kepada masyarakat.
Promosi keberhasilan ini dilakukan melalui banyak media, seperti media cetak, baliho, poster, ataupun spanduk di banyak tempat beserta gambar sang kepala daerah agar terbangun persepsi bahwa keberhasilan ini perlu didukung oleh masyarakat untuk satu periode lagi.
Ketimpangan Relasi Kuasa Kepala Daerah – ASN
Penggiringan politik ASN akan terus terjadi karena relasi kuasa yang timpang antara kepala daerah dengan ASN, sebagai akibat posisi kepala daerah yang juga sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian, serta pragmatisme politik ASN yang tak dapat dihindari.
Mengapa tak dapat dihindari? Karena dengan menyukseskan pencalonan petahana sampai berujung pada kemenangan, akan berbanding lurus dengan peningkatan karir mereka.
Lagi-lagi bukan suatu hal yang mengherankan jika dalam seratus hari pertama kepemimpinan kepala daerah seringkali terjadi mutasi besar-besaran yang acapkali dipertanyakan tujuan dan manfaatnya.
Memang benar bahwa ASN harus berhubungan erat dengan kepala daerah dalam rangka menyatukan visi-misi pembangunan daerah, dan juga karena memang ASN atau administrator—meminjam istilah Janet dan Robert Denhardt (2003)—bertanggung jawab atas kinerjanya kepada pejabat-pejabat politik (elected officials). Akan tetapi, hubungan tersebut harus tetap berada dalam kerangka legal-rasional untuk menjaga profesionalisme.
Kadar loyalitas pun harus bisa diukur agar tidak berlebihan karena dengan masa bakti rata-rata tiga puluh tahunan, seorang ASN akan bekerjasama dengan kepala daerah yang berganti-ganti.
Dengan demikian, sedekat apapun ASN dengan kepala daerah sampai-sampai di luar logika kepantasan, satu kepala daerah hanya bisa bertahan paling jauh selama dua periode.
Transformasi Keterampilan Politik ASN
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara yang baru saja disahkan sesungguhnya telah mampu menjadi instrumen dalam mengatasi persoalan-persoalan di atas lewat penerapan prinsip meritokrasi dan penegakan pengawasannya.
Tinggal bagaimana pelaksanaan regulasi tersebut mendapat sokongan komitmen dari pemimpin politik itu sendiri, karena berhasil-tidaknya upaya mereformasi birokrasi bergantung pada komitmen mereka dalam menjalankannya.
Para ASN pun harus menyadari,
bahwa era keberpihakan politik pada kekuatan tertentu,
yang dianggap wajar ketika Orde Baru, harus ditinggalkan jauh-jauh.
Kinerja dan keahlianlah yang menjadi pembeda antar-ASN,
bukan siapa-mendukung-siapa.
Dalam kerangka ideal, keterampilan politik ASN seharusnya dijalankan untuk mengawal proses transformasi birokrasi, seperti:
- dalam hubungan birokrasi dengan lembaga legislatif untuk menggolkan rancangan kebijakan yang berpihak pada masyarakat, dan
- untuk mencari dukungan politik dalam pembuatan dan implementasi suatu kebijakan dari masyarakat luas.
Hal ini menjadi semakin penting sebab saat ini masyarakat telah menyadari posisinya sebagai unsur yang memiliki kekuatan politik, sehingga masyarakat tidak tepat lagi diposisikan sebagai objek, melainkan sebagai subjek yang tak bisa diremehkan.
Epilog: Membangun Relasi Politik dan Birokrasi
Tujuh puluh delapan tahun usia Republik Indonesia ini. Politik dan birokrasi masih terus mencari posisi yang tepat agar relasi yang terbangun bukanlah relasi kuasa yang transaksional.
Jalan panjang transformasi birokrasi pun bukan semata-mata domain kerja teknokratik, tetapi juga perpaduan dengan kerja politik dan keterlibatan masyarakat secara luas.
Yang terpenting, keterampilan politik ASN harus dijalankan sebesar-besarnya bagi proses perubahan birokrasi ke arah yang makin baik, bukan yang lain.
Mengabdi sebagai policy analyst pada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sebelumnya, membantu Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sebagai policy analyst di bidang Aparatur Negara selama empat tahun. Meminati isu-isu reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan. Dapat dihubungi melalui surel [email protected]
0 Comments