
“Yang penting absen, soal kerja nanti kita lihat.”
Ungkapan ini, meski terdengar sebagai candaan ringan di kalangan aparatur sipil negara (ASN), mencerminkan realitas yang jauh dari ideal.
Bekerja dalam rutinitas birokrasi kadang membuat seorang ASN lupa bahwa di balik absensi, di balik meja dan tumpukan dokumen, ada pelayanan publik yang menjadi ruh dari profesinya.
Tapi kini, sebuah pertanyaan menggantung di udara, apakah ASN bekerja demi sebuah misi pengabdian, atau hanya sekadar gaji bulanan?
Garda Terdepan Pelayanan
Sebagai tulang punggung pemerintahan, ASN seharusnya tidak hanya menjadi eksekutor kebijakan, tetapi juga garda terdepan dalam menjamin keberlangsungan pelayanan kepada masyarakat.
Namun, dalam praktiknya, tidak sedikit ASN yang kehilangan arah, seperti mesin yang bekerja otomatis, tanpa semangat, tanpa rasa memiliki, dan bahkan tanpa mengetahui dampak dari pekerjaannya terhadap kehidupan masyarakat.
Masalah ini tidak sekadar persoalan kinerja,
melainkan telah masuk ke ranah yang lebih dalam: identitas profesional.
ASN hari ini menghadapi apa yang bisa disebut sebagai krisis identitas: tidak tahu siapa dirinya dalam struktur pemerintahan modern.
Apakah dia petugas administrasi, pengatur anggaran, pelayan publik, atau sekadar pencari aman demi stabilitas finansial?
Tuntutan terhadap ASN sangat tinggi: harus profesional, berintegritas, netral secara politik, adaptif terhadap perubahan digital, hingga mampu menjadi jembatan komunikasi antara pemerintah dan rakyat.
Namun dalam kenyataannya, beban ini tidak selalu dibarengi dengan dukungan budaya kerja yang sehat, kepemimpinan yang inspiratif, ataupun sistem pembinaan karier yang jelas. Akibatnya, banyak ASN yang terjebak dalam konflik batin antara idealisme dan kenyataan.
Satu sisi ingin berkontribusi lebih besar, namun di sisi lain dihadapkan pada realita sistem birokrasi yang rigid, atasan yang tidak suportif, atau rutinitas yang monoton.
Kehilangan Motivasi dan Ruang Bertumbuh
Tidak sedikit pula ASN yang awalnya masuk dengan semangat melayani, tetapi perlahan kehilangan motivasi karena lingkungan kerja yang tidak memberi ruang untuk bertumbuh. Hal ini sering terjadi pada ASN muda yang memiliki ide segar, namun harus menyesuaikan diri dengan budaya senioritas yang dominan.
Di tengah situasi ini, muncul dua tipe ASN.
- Pertama, mereka yang tetap berpegang pada semangat pengabdian dan memperjuangkan kualitas pelayanan walau sistem belum mendukung.
- Kedua, mereka yang menjalani pekerjaan seperti formalitas, hanya fokus pada absensi, gaji, dan tunjangan, tanpa merasa punya tanggung jawab substantif terhadap publik.
Sayangnya, yang kedua tampaknya lebih banyak jumlahnya.
Salah satu akar masalahnya dapat dilihat dari proses rekrutmen ASN yang terlalu menitikberatkan pada kemampuan kognitif—nilai tes CAT, kemampuan teknis, atau penguasaan materi seleksi—namun mengabaikan aspek karakter, nilai pengabdian, dan integritas personal.
Hasilnya adalah masuknya banyak individu pintar, tapi belum tentu siap menjadi pelayan masyarakat. Mereka tahu banyak, tapi belum tentu “mau” banyak.
Tidak mengherankan bila sebagian ASN merasa bahwa mereka bekerja “untuk sistem”, bukan “untuk rakyat”. Logika kerja yang berlaku lebih menekankan kepatuhan terhadap prosedur daripada pencapaian hasil.
Seorang ASN yang rajin menyelesaikan dokumen, tetapi tidak memberi dampak nyata kepada masyarakat, bisa jadi tetap dianggap “berprestasi.” Sementara yang mencoba inovasi, tapi melanggar sedikit tata cara birokrasi, akan mudah disalahkan.
Paradigma seperti ini menjauhkan ASN dari misi pelayanan publik, dan menjerumuskannya pada perangkap administratif yang melelahkan secara mental.
Hasil Survei BerAKHLAK
Menurut hasil Survei Nilai-nilai BerAKHLAK yang dirilis Kementerian PANRB pada 2023, hanya 61,1% ASN yang menunjukkan integrasi nilai BerAKHLAK dalam budaya kerja mereka—angka yang masih jauh dari ideal jika dikaitkan dengan harapan publik terhadap ASN yang melayani secara profesional dan berintegritas (menpan.go.id).
Dari kacamata psikologi organisasi, ASN yang kehilangan identitas profesionalnya akan cenderung bekerja dengan mode bertahan, bukan berkembang. Mereka hadir, menyelesaikan tugas, tetapi tidak punya relasi emosional dengan pekerjaan.
Bahkan, banyak yang mengembangkan semacam coping mechanism dengan memisahkan kehidupan pribadi dan pekerjaan secara ekstrem: “yang penting masuk dan pulang tepat waktu, urusan dampak kerja bukan urusan saya.” Ini adalah ciri klasik dari krisis identitas profesional.
Sistem birokrasi memperparah kondisi ini melalui mitos stabilitas kerja. ASN dianggap sudah “aman” secara ekonomi, memiliki masa depan cerah, dan dijamin pensiun. Namun kenyataannya, banyak ASN yang merasa stagnan secara karier.
Sistem promosi yang lamban, minimnya mobilitas jabatan, serta penilaian kinerja yang masih berbasis formalitas, menyebabkan banyak ASN merasa seperti “berlari di tempat”.
Gaji dan tunjangan, yang selama ini dianggap sebagai bentuk insentif, dalam beberapa kasus justru menjadi semacam jebakan kenyamanan. ASN bisa saja merasa cukup dengan penghasilan tetap, tanpa merasa perlu meningkatkan kinerja atau memberikan kontribusi lebih.
Zona Nyaman Birokratis
Hal ini menciptakan zona nyaman birokratis, yaitu kondisi di mana ASN berhenti berkembang karena tidak ada tuntutan atau dorongan untuk bertumbuh.
Budaya kerja pasif seringkali dilegitimasi oleh lingkungan instansi.
Kalimat seperti “jangan banyak gaya, nanti kamu dimusuhi” atau “kerja biasa aja, asal aman” menjadi norma tidak tertulis.
Dalam situasi seperti ini, ASN yang idealis justru dianggap mengganggu kenyamanan status quo. Tak sedikit dari mereka yang akhirnya memilih menyesuaikan diri atau bahkan menjadi apatis.
Namun begitu, harapan belum sepenuhnya padam. Masih ada ASN yang memilih untuk tidak menyerah. Mereka menyadari bahwa tugas mereka bukan hanya sebagai “pegawai”, melainkan penjaga kepercayaan rakyat terhadap negara.
Inilah bentuk nyata dari semangat yang diamanatkan dalam Pasal 12 UU No. 20 Tahun 2023, bahwa:
“Pegawai ASN berperan sebagai perencana, pelaksana, dan pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional melalui pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.”
Kesadaran pribadi tentu tidak cukup tanpa dukungan kepemimpinan yang kuat. Pemimpin instansi memiliki peran strategis dalam membentuk identitas ASN.
Sosok atasan yang hanya menuntut hasil tanpa memberi arah nilai, hanya akan melahirkan pegawai yang bekerja demi target, bukan demi misi. Di sisi lain, kepemimpinan transformatif justru dapat menjadi motor perubahan di tengah birokrasi yang kaku.
Mengarahkan: Demi Gaji atau Misi?
Pelatihan dan pendidikan ASN pun perlu diarahkan pada pembentukan karakter, bukan sekadar keterampilan teknis. Hal ini sejalan dengan mandat dalam PP No. 11 Tahun 2017 juncto PP No. 17 Tahun 2020, bahwa:
“pengembangan kompetensi ASN dilakukan berdasarkan kebutuhan, berbasis kompetensi, dan untuk mendukung pencapaian kinerja organisasi.”
Pengembangan ini seharusnya mencakup nilai-nilai pengabdian dan semangat pelayanan publik, bukan hanya penguasaan aplikasi atau sistem.
Sebagai penutup, mari kita kembali ke pertanyaan utama: Apakah ASN bekerja demi gaji, atau demi misi?
Jawabannya bisa berbeda-beda, namun satu hal pasti—ketika seorang ASN menyadari bahwa pekerjaannya adalah bagian dari pengabdian kepada publik, bukan sekadar rutinitas administratif, maka saat itulah identitas profesionalnya terbentuk.
Gaji adalah hak, tapi misi adalah panggilan. Dan hanya dengan menjawab panggilan itu, ASN akan mampu mengubah wajah birokrasi Indonesia menjadi lebih manusiawi, melayani, dan bermakna.
0 Comments