Beberapa tahun yang lalu kita adalah seorang pengangguran. Sekarang kita adalah seorang aparatur sipil negara (ASN). Apa yang berubah? Salah satunya adalah bisa menjawab pertanyaan tanpa berpikir. Misalnya kala calon mertua bertanya tentang pekerjaan kita.
Selain itu dulu ketika diajak reunian, kita tidak mau datang. Sekarang justru kita yang mengajak teman-teman untuk reunian. Lalu apakah ada yang tidak berubah? Ada! Masalah! Menjadi ASN tidak akan menghindarkan kita dari masalah.
Seperti Themis yang digambarkan memegang pedang dengan mata yang tertutup, permasalahan juga menyerang siapa saja tanpa pandang bulu. Menjadi ASN memang mengeluarkan kita dari suatu masalah, tapi juga memasukan kita ke masalah yang lain. Seperti kata pepatah, keluar dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya.
Di antara masalah yang harus dihadapi ASN adalah siap dicap berlimpah materi, pemalas, koruptor, hedonis, makan gaji buta, tidak disiplin, tidak kompeten, beban negara dan label-label jelek lainnya.
Bagi mereka yang terbiasa di kota, bekerja di desa mungkin jadi masalah. Bagi mereka yang terbiasa dengan gaji yang tinggi, bekerja sebagai ASN mungkin akan jadi masalah. Begitu juga dengan yang terbiasa dengan pekerjaan yang menuntut kreativitas dan inovasi, bekerja sebagai ASN mungkin akan membuatnya tidak betah.
Labeling terhadap profesi ASN hanyalah sebagian dari permasalahan ASN. Masih ada persoalan-persoalan lainnya. Misalnya soal mutasi pegawai, seleksi pejabat, gaji, risiko masuk bui dan kompetensi.
Menyikapi Masalah
Menghadapi labeling, tuntutan atasan dan masyarakat serta masalah-masalah lainnya, lantas apa yang harus dilakukan ASN? Apakah ASN mesti acuh tak acuh? Membela diri? Memperbaiki diri? Atau apa? Sebagian ASN mungkin menyikapinya secara pasif. Tapi ada juga yang menyikapinya secara aktif.
Seperti yang dilakukan Muhammad Al Hasan. Seorang ASN instansi pusat yang sedang mengabdi di perbatasan Indonesia-Malaysia. Ketika muncul fenomena media yang secara rutin mempublikasikan judul-judul provokatif tentang ASN, Al Hasan menyikapinya dengan menulis artikel di Birokrat Menulis yang berjudul, “Memahami Peran Media dalam Pelanggengan Stigma Terhadap ASN.”
Apa yang dilakukan Al Hasan adalah kontra isu. Sebuah upaya untuk menciptakan pemberitaan yang berimbang tentang ASN. Jika kontra isu tidak dilakukan maka judul berita seperti “kiamat PNS” mungkin akan membuat para honorer dan setiap orang yang ingin jadi ASN merasa kecewa, terutama yang membaca berita dari judulnya saja.
Jika kontra isu tidak dilakukan maka judul terkait gaji dan tunjangan ASN, akan membuat ASN yang telah terstigma semakin dibenci oleh masyarakat. Apalagi judul itu dipublikasikan kala masyarakat sedang menghadapi masalah ekonomi seperti kemiskinan, pengangguran dan inflasi.
Jika pemberitaan provokatif tentang ASN dihadapi dengan cara melakukan kontra isu, lalu bagaimana cara mengatasi rendahnya tingkat literasi dan kompetensi di kalangan ASN?
Salah satu caranya adalah mengajak para birokrat untuk aktif menulis, sekaligus menyediakan sarana untuk menyebarkan gagasannya kepada khalayak ramai. Hal itulah yang dilakukan para Founder website Birokrat Menulis.
ASN Berfilsafat
Memikirkan masalah dan cara ASN menyikapinya, mengingatkan saya pada buku karya F. Budi Hardiman yang berjudul “Heidegger dan Mistik Keseharian”. Di dalam buku itu saya menemukan sebuah kalimat yang menarik dari Heidegger. Kalimat itu berbunyi, “Jika badai menerpa pondok itu dan salju turun di atasnya, itulah saat yang tepat untuk berfilsafat.”
Mengapa itu menarik? Kalimat itu menarik karena menyadarkan saya bahwa apa yang dilakukan Muhammad Al Hasan dan para Founder pergerakan Birokrat Menulis itu, atau orang-orang yang seperti mereka, pada dasarnya adalah sebuah proses berfilsafat.
Saya menafsirkan kalimat “jika badai menerpa pondok itu dan salju turun di atasnya”, sebagai metafora tentang permasalahan yang dihadapi manusia, termasuk ASN. Pondok itu adalah analogi untuk pikiran dan hati manusia. Pikiran dan hati itulah tempat berlindung ketika masalah-masalah yang dianalogikan sebagai badai dan salju itu menyerang.
Tapi pondok itu bukan sekadar tempat berlindung. Begitu juga badai dan salju itu, bukan hanya sekadar untuk menyerang. Pondok, badai dan salju itu, juga menjadi tempat dan saat yang tepat, bagi manusia untuk merumuskan masalahnya dan mencari berbagai alternatif pemecahannya.
Suasana keterkurungan itu memberikan kesempatan kepada manusia untuk mengistirahatkan tindakan dan membangunkan pikiran. Kala tindakan istirahat dan pikiran terbangun, kala itulah sang filsuf dalam diri manusia menampakkan eksistensinya.
Disadari atau tidak, sang filsuf itulah yang selama ini berkata “eureka”– aku menemukannya, setiap kali manusia menemukan rumusan masalah yang dihadapinya dan berbagai alternatif pemecahannya.
Dalam bukunya berjudul “Pengantar Filsafat,” Jan Hendrik Rapar berpendapat ada empat penyebab manusia berfilsafat: (1) ketakjuban; (2) ketidakpuasan; (3) hasrat bertanya dan; (4) keraguan.
Empat penyebab manusia berfilsafat ini membuat kita sadar bahwa berfilsafat sebenarnya adalah aktivitas yang sangat dekat dan akrab dengan kehidupan kita. Disadari atau tidak, ternyata kita sangat sering berfilsafat.
Tentang filsafat, Francis Bacon pernah berkata, “Sejumlah kecil filsafat mengarah pada ateisme, tetapi jumlah yang lebih besar membawa kita kembali kepada Tuhan”.
ASN berfilsafat? Mengapa tidak? Bukankah ASN juga manusia– bisa takjub, tidak puas, ragu dan ingin bertanya.
0 Comments