
Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan ujung tombak pelayanan publik di Indonesia, sebagai bentuk pengabdian kepada negara dan masyarakat. Keberadaannya menjadi tumpuan harapan masyarakat dalam memperoleh layanan yang adil, cepat, dan profesional.
Namun dalam praktiknya, muncul fenomena yang cukup menggelitik – dan sekaligus mengkhawatirkan. Tidak sedikit yang menjadikan status ini sekadar pekerjaan rutin – bekerja asal dan asal bekerja – bukan panggilan tugas.
Kondisi tersebut di mana seseorang hadir di tempat kerja, tetapi tanpa orientasi mutu, semangat melayani, atau rasa tanggung jawab yang utuh.
Asal Bekerja dan Bekerja Asal-asalan
ASN yang asal bekerja dan bekerja asal-asalan bisa dikenali dari sejumlah sikap dan perilaku, seperti:
- datang hanya untuk mengisi absen dan pulang tanpa pencapaian yang berarti,
- tidak mempunyai target kinerja pribadi atau kontribusi terhadap unit kerjanya,
- pasif saat ada masalah dan enggan terlibat dalam solusi,
- tidak peduli pada dampak pekerjaannya terhadap masyarakat,
- bekerja sekadar rutinitas, bukan demi perubahan,
- tersinggung jika ditegur terkait kinerjanya dan hanya berorientasi uang – bukan pengabdian sebagai bentuk tanggung jawab.
Tidak bisa dimungkiri, masih banyak ASN yang asal bekerja dan bekerja asal-asalan – sekadar hadir, menggugurkan kewajiban, tanpa komitmen terhadap mutu dan tanggung jawab pekerjaan. Mengapa bisa demikian?
Faktor Penyebab
Ada berbagai faktor yang menyebabkan sebagian ASN asal bekerja dan bekerja asal-asalan:
- Budaya kerja yang tidak tegas, di mana absensi lebih penting daripada kontribusi nyata, sehingga orientasi bekerja ASN berubah, banyak yang hanya mengejar kehadiran fisik, bukan kualitas hasil kerja.
- Minimnya pengawasan dan evaluasi kinerja, dikarenakan sistem penilaian yang subyektif dan rutinitas, sehingga sulit membedakan siapa yang benar-benar bekerja dan siapa yang hanya numpang lewat dalam sistem birokrasi.
- Kurangnya motivasi dan kepemimpinan, dikarenakan kepemimpinan yang lemah atau tidak memberi teladan, sehingga menghasilkan staf yang apatis. Ketika pimpinan abai, maka bawahanpun kehilangan arah.
- Merasa aman dan nyaman berlebihan, karena status ASN sering kali dianggap sebagai “zona nyaman” yang sulit digoyahkan, sehingga membuat sebagian orang tidak merasa perlu untuk berinovasi atau bekerja keras.
- Sistem meritokrasi yang keluar jalur, di mana penentuan jenjang karir ASN sering kali tidak dilihat dari kompetensi dan profesionalisme, namun lebih pada kedekatan atau kekeluargaan/kekerabatan, sehingga melemahkan semangat bekerja orang-orang yang mempunyai idealisme.
Sistem dan Mentalitas
Fenomena ini bukan hanya soal individu, tetapi juga soal sistem dan budaya birokrasi yang belum sepenuhnya sehat. Beberapa akar penyebabnya antara lain:
- rekrutmen yang belum sepenuhnya berbasis kompetensi dan karakter,
- kurangnya pembinaan dan pengawasan internal yang konsisten,
- minimnya budaya evaluasi berbasis kinerja nyata, dan
- ketidaksesuaian antara jabatan dan minat atau latar belakang pendidikan.
Tidak jarang, ASN yang asal bekerja dan bekerja asal-asalan sebenarnya mengalami kejenuhan, kehilangan motivasi, atau tidak pernah diberikan ruang untuk berkembang. Akhirnya, mereka sekadar “menjalani hari” di kantor, tanpa rasa memiliki.
Dampaknya: Pelayanan Publik Menjadi Korban
ASN yang asal bekerja dan bekerja asal-asalan berdampak langsung pada kualitas pelayanan publik. Masyarakat menjadi korban, karena dirugikan dari lambatnya proses layanan, pelayanan yang tidak ramah, serta ketidaktepatan informasi atau kebijakan (tidak akurat), dan minim empati.
Selanjutnya, kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah/negarapun merosot. Lebih jauh, yang lebih berbahaya adalah budaya kerja asal dan asal-asalan juga memengaruhi rekan kerja lain, karena budaya kerja tersebut mudah menular.
Mereka yang bekerja dengan sungguh-sungguh bisa merasa frustasi, tidak dihargai, sehingga ikut menurunkan standar kerjanya demi menyesuaikan dengan lingkungan.
Perubahan dan Kesadaran: Transformasi Budaya dan Sistem
Untuk mengatasi fenomena asal bekerja dan bekerja asa-asalan, reformasi birokrasi tidak cukup hanya sebatas struktur dan regulasi. Perubahan harus dimulai dari dalam: kesadaran diri setiap ASN bahwa mereka dibayar oleh rakyat, dan oleh karena itu harus bekerja untuk rakyat.
Beberapa langkah konkret untuk mengubah pola kerja asal dan asal-asalan, diperlukan dua langkah besar, antara lain:
- Perubahan budaya organisasi
dengan membangun budaya kerja yang menjunjung profesionalisme, integritas, dan orientasi pada pelayanan masyarakat dengan penguatan sistem manajemen kinerja yang transparan, pelatihan dan pendampingan motivasi kerja berbasis nilai pelayanan, dan penempatan kerja sesuai kompetensi dan minat.
- Sistem pengawasan dan insentif berbasis kinerja, di mana ASN yang berprestasi harus dihargai (penghargaan bagi kinerja yang berdampak nyata) dan diberi ruang untuk berkembang, sementara yang tidak disiplin harus mendapat pembinaan atau sanksi yang jelas.
Penutup
Asal bekerja dan bekerja asal-asalan bukanlah pilihan yang pantas bagi seorang abdi negara, karena bukan hanya membunuh produktivitas, tetapi juga membunuh semangat pengabdian yang menjadi inti dari profesi ASN.
Tugas ASN bukan hanya menggugurkan kewajiban, tetapi menjadi bagian dari solusi atas berbagai permasalahan bangsa. Negara ini membutuhkan ASN yang bekerja dengan hati, bukan hanya dengan absen.
Maka, transformasi tidak hanya harus datang dari sistem dan atasan, tetapi juga dari kesadaran pribadi setiap ASN untuk kembali kepada esensi: melayani masyarakat dengan tulus dan profesional. Sudah waktunya setiap ASN bertanya pada dirinya sendiri:
“Apakah aku benar-benar melayani, atau hanya sekadar hadir?”
0 Comments