ASN, Agama, Etika, dan Malu: Mungkinkah Bersatu dalam Tugas?

by Nugroho Kuncoro Yudho ◆ Professional Writer | May 7, 2025 | Refleksi Birokrasi | 1 comment

Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah wajah negara. Ia berada di garis depan, melayani rakyat, menjalankan kebijakan, dan menjaga kepercayaan publik. Bukan sekadar pekerja administrasi, melainkan pelayan masyarakat yang memikul misi keadilan dan kemanusiaan. 

Undang-Undang ASN menegaskan pentingnya integritas, netralitas, dan profesionalisme. Namun, bagaimana nilai-nilai itu tetap hidup di tengah tekanan jabatan dan godaan kekuasaan?

Menjadi ASN bukan hanya tentang bekerja,
melainkan juga soal amanah dan pengabdian. Ketahanan nilai-nilai internal seperti agama, etika, dan rasa malu menjadi fondasi karakter ASN yang bertanggung jawab dan berintegritas. 

Tapi dalam praktiknya, ketiganya kerap tergerus oleh budaya kerja yang permisif atau lingkungan yang abai terhadap nilai. Pertanyaannya, mungkinkah nilai-nilai tersebut tetap hidup dalam diri seorang ASN?

Agama sebagai Fondasi Moral

Profesionalisme birokrasi sering diukur dari kepatuhan pada prosedur. Namun di balik itu, ASN memerlukan fondasi yang lebih dalam: moralitas dan spiritualitas. 

Agama mengajarkan nilai-nilai universal seperti kejujuran, keadilan, amanah, dan niat ikhlas. ASN yang menjadikan agama sebagai pedoman moral akan memaknai pekerjaannya sebagai ibadah sosial.

Ia tidak memanipulasi data, tidak mengambil yang bukan hak, dan melayani masyarakat dengan hati. ASN seperti ini sadar bahwa setiap keputusan akan dipertanggungjawabkan, bukan hanya kepada atasan, tetapi juga kepada Tuhan. 

Dalam dirinya, agama melahirkan suara hati yang menjadi pagar moral—bahkan saat tidak ada yang mengawasi.

Integritas dari Kesadaran Iman

Integritas bukan sekadar tampilan luar, melainkan keselarasan antara niat, ucapan, dan tindakan. ASN yang beriman akan menjaga dirinya, karena tahu ada yang lebih tinggi dari kamera pengawas: Tuhan. 

Kontrol internal seperti ini lebih kuat dibanding sanksi eksternal. ASN seperti ini bekerja bukan karena takut hukuman, tapi karena dorongan moral untuk memberi manfaat bagi sesama.

Agama juga menanamkan rasa tanggung jawab sosial. ASN tak hanya bekerja demi gaji atau pangkat, tapi karena ingin memberi maslahat. Ia menjaga keadilan, menghormati orang lain, dan menghindari perilaku menyimpang bukan karena takut ketahuan, tapi karena tidak ingin mengkhianati amanah.

Etika sebagai Penuntun Profesionalisme

Etika adalah kesadaran untuk bertindak benar—bukan karena aturan semata, tapi karena tanggung jawab pribadi. Dalam pelayanan publik, etika menjadi kompas moral. 

Masyarakat bukan objek, tetapi subjek yang harus dilayani dengan hormat, adil, dan empatik. Tanpa etika, pelayanan menjadi sumber ketidakadilan.

Etika mengarahkan ASN agar tidak menyalahgunakan wewenang, tidak tunduk pada tekanan, dan tetap menjunjung profesionalisme. ASN yang etis bersikap transparan, jujur dalam pelaporan, serta sopan dalam komunikasi. 

Ia tidak menyembunyikan informasi penting, tidak memperkaya diri, dan selalu menempatkan kepentingan publik di atas segalanya.

Kode etik ASN menegaskan larangan penyalahgunaan jabatan dan keberpihakan. Namun lebih dari itu, etika sejati hidup dalam hati ASN: jujur, adil, dan peduli. 

Etika menjadikan ASN bukan sekadar “pekerja”, tapi panutan yang menjaga marwah institusi. Etika yang konsisten akan menciptakan budaya organisasi yang sehat, terutama jika dimulai dari keteladanan pimpinan.

Malu sebagai Kontrol Sosial yang Halus tapi Kuat

Dalam birokrasi, pengawasan formal memang penting, namun ada satu bentuk kontrol sosial yang lebih dalam: rasa malu. Malu bukan karena takut dihukum, tapi karena enggan mengecewakan kepercayaan. 

ASN yang punya rasa malu akan menjaga sikap meski tak diawasi. Ia tahu, pelanggaran kecil bisa merusak martabat besar.

Malu adalah suara hati yang tak terdengar, tapi berdampak nyata. ASN yang memiliki rasa malu tidak sekadar menjalankan aturan, tapi menjaga nama baik dirinya, keluarganya, dan institusinya. Rasa malu ini mencegah penyimpangan bahkan sebelum tindakan itu terjadi.

Budaya Malu sebagai Penguat Integritas

Untuk menciptakan birokrasi yang bersih dan melayani, kita tidak cukup mengandalkan sistem formal. Kita perlu membangun budaya malu secara kolektif. Rasa malu yang sehat dan harus dibangun, diwujudkan dan dibudayakan oleh ASN dalam bentuk adalah sebagai berikut:

  • malu datang terlambat atau pulang sebelum waktunya atau menghilang pada jam kerja.
  • malu tidak bekerja pada jam kerja.
  • malu berpura-pura sibuk padahal tidak bekerja.
  • malu menolak melayani masyarakat dengan baik.
  • malu melakukan pungutan liar atau mengambil sesuatu yang bukan haknya meskipun bisa dilakukan diam-diam.
  • malu mengkhianati sumpah jabatan.
  • malu berbuat curang. 
  • malu mengecewakan atau menyia-nyiakan kepercayaan masyarakat, 
  • malu bekerja tidak maksimal, 
  • malu melanggar kode etik profesi, dan lain-lain.
  • malu pada Tuhan dan diri sendiri.

Dalam lingkungan ASN, rasa malu yang terinternalisasi mendorong seseorang untuk bertanggung jawab atas tugasnya, bahkan tanpa diperintah, bekerja dengan jujur, meskipun tanpa pengawasan, menolak segala bentuk penyimpangan.

Budaya malu bukan soal gengsi, melainkan ekspresi kesadaran moral. ASN yang malu melanggar aturan bukan karena takut dicopot, tapi karena ingin menjaga harga diri. Budaya malu ini, jika tertanam dalam birokrasi, akan menjadi tameng dari dalam—membentuk karakter ASN yang bertanggung jawab dan berintegritas.

Ia tahu bahwa jabatan adalah amanah. Ia sadar bahwa setiap kesalahan akan berbalik kepada diri dan institusinya. Ia memilih untuk menjaganya, bukan karena takut dihukum, tapi karena tak ingin kehilangan kehormatan. 

Tantangan terhadap Nilai-Nilai Nurani

Nilai keberagamaan menghadapi tantangan dari sekularisasi ruang kerja—banyak ASN merasa nilai spiritual tak relevan di kantor. Praktik kerja jadi rutinitas kering makna, ibadah dianggap urusan pribadi. Akibatnya, keberagamaan kehilangan daya dorongnya dalam pelayanan publik.

Dalam hal etika, tantangannya adalah tekanan target
dan pragmatisme yang membuat proses sering diabaikan demi hasil. Minimnya keteladanan dari pimpinan membuat bawahan bingung menentukan sikap. Etika pun sering tumbang oleh kepentingan kelompok atau kompromi yang tak sehat.

Rasa malu juga kian memudar. Pelanggaran dianggap biasa. ASN yang bekerja jujur tak dihargai, yang menyimpang tak ditegur. Bahkan, akal-akalan terhadap sistem justru dianggap cerdik. Jika dibiarkan, ini berbahaya: rusaknya budaya kerja dimulai dari lunturnya rasa malu.

Menghidupkan Kembali Tiga Pilar Nurani ASN

Agar nilai-nilai ini kembali hidup, perlu penguatan berkelanjutan:

  • Spiritualitas: pembinaan rohani semua agama secara rutin, bukan hanya seremonial. Tanamkan bahwa bekerja adalah bagian dari ibadah.
  • Etika kerja: sosialisasi kode etik yang dikaitkan dengan praktik harian. Beri penghargaan pada ASN yang menunjukkan sikap etis dalam dilema nyata.
  • Budaya malu: bangun komunitas integritas, dorong refleksi moral, dan jadikan kejujuran sebagai sumber kebanggaan, bukan hanya capaian kinerja.


Apakah Mungkin Ketiganya Bersatu dalam Tugas ASN?

Jawabannya: mungkin, tapi tidak otomatis. Dibutuhkan usaha sadar. ASN yang kuat agamanya akan melihat tugas sebagai amanah. ASN yang beretika akan lebih adil dalam mengambil keputusan. 

ASN yang punya rasa malu akan menjaga integritas bahkan saat pengawasan lemah. Ketiganya, jika bersatu, akan melahirkan ASN yang bekerja dengan hati dan nurani.

Tantangan terbesar adalah menjaga konsistensi. Godaan jabatan, tekanan atasan, dan budaya permisif bisa menggerus nilai-nilai ini. Tapi jika ada pembinaan terus-menerus, keteladanan pimpinan, dan lingkungan yang mendukung, tiga pilar ini bisa tumbuh dan menjadi karakter ASN sejati.

Di tengah rendahnya kepercayaan publik dan kritik terhadap birokrasi, ASN perlu kembali pada nilai-nilai dasar: agama, etika, dan rasa malu. Tiga pilar ini bukan nilai usang, justru menjadi kebutuhan di tengah kompleksitas tugas ASN hari ini.

ASN hebat bukan hanya yang cakap kerja, tapi juga yang tetap lurus saat yang lain mulai menyimpang. Dengan memperkuat nilai-nilai ini, kita tidak hanya membentuk ASN yang patuh prosedur, tapi ASN yang berjiwa luhur. 

Bekerjalah dengan hati, karena bangsa besar dibangun bukan hanya oleh sistem, tapi oleh manusia-manusia bermoral tinggi.

0
0
Nugroho Kuncoro Yudho ◆ Professional Writer

Nugroho Kuncoro Yudho ◆ Professional Writer

Author

Praktisi kesehatan dan pemerhati masalah sosial kemasyarakatan berdomisili di Sampit, Kalimantan Tengah.

1 Comment

  1. Avatar

    Menjadi sulit, bgmn hal2 tersebut dalam artikel, harus menjadi budaya dalam kehidupan sehari-hari seorang ASN. Bukti yg terjadi, kelihatan beragama, tapi ttp melaksanakan korupsi, kelihatan baik dan jujur, namun mengakali aturan yg ada….

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post