
Paradoks di Ruang Pelayanan
Sebuah pemandangan paradoks terpampang di kantor kelurahan di kota yang katanya metropolitan, pekan lalu.
- Di sudut ruangan, terpasang monitor canggih untuk anjungan pelayanan mandiri senilai puluhan juta rupiah. Namun, di meja pelayanan, seorang ibu diminta menyerahkan fotokopi KTP untuk kesekian kalinya—padahal data kependudukannya sudah terintegrasi dalam sistem.
Sang petugas beralasan, “Untuk jaga-jaga, Bu. Sistemnya kadang error.”
- Di ruang tunggu, spanduk “Menuju Pelayanan Digital” terpasang megah, tetapi warga tetap harus bolak-balik antar meja seperti dekade lalu. Inilah potret jujur transformasi digital birokrasi kita: infrastruktur abad 21, mentalitas abad 20.
Pemerintah tidak main-main dengan agenda digitalisasi birokrasi. Sejak lima tahun lalu, pemerintah telah membelanjakan anggaran sekitar dari Rp22 triliun untuk pengembangan teknologi digital dalam layanan pemerintahan.
Untuk 2025, anggaran tematik “Pembangunan Infrastruktur dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi” di RAPBN 2025 nilainya sebesar Rp400-an triliun yang termasuk di dalamnya adalah anggaran untuk agenda transformasi digital.
Kementerian PAN-RB mencatat ada 27 ribu aplikasi milik pemerintah Indonesia—melonjak drastis dari hanya 8.000 aplikasi di 2019. Sebuah lompatan kuantitas yang mengagumkan.
Namun, hasilnya mengecewakan. Ombudsman merilis hasil penilaian kepatuhan tahun 2024 yang menunjukkan tren positif dengan meningkatnya jumlah pada Zona Hijau, tetapi tantangan masih besar.
Survei menunjukkan mayoritas masyarakat masih mengeluhkan layanan publik yang berbelit, dan digitalisasi belum signifikan mempercepat pelayanan. Bahkan, banyak warga lebih memilih datang langsung karena layanan online sering bermasalah.
Digitalisasi Tanpa Transformasi
Akar masalahnya terletak pada kesenjangan mendasar antara modernisasi perangkat dan transformasi pola pikir. Digitalisasi dipahami sekadar sebagai komputerisasi proses manual, bukan reinventing cara kerja birokrasi.
Aplikasi dibuat mengikuti alur birokrasi lama yang berliku—hanya dipindahkan ke layar. Stempel basah diganti tanda tangan elektronik, tetapi tetap harus melalui lima meja. Form fisik menjadi form digital, namun tetap diminta berulang di setiap instansi.
Ibarat memindahkan labirin dari dunia nyata ke dunia maya—tetap melelahkan, hanya mediumnya berbeda.
Fenomena “aplikasi zombie” menjadi bukti nyata kegagalan memahami esensi digitalisasi. Data Kominfo menunjukkan hanya beberapa aplikasi pemerintah yang aktif diakses bulanan, sisanya? Terbengkalai setelah ceremonial launching.
Hasilnya: banyak aplikasi dengan fungsi serupa, data tidak saling terhubung, masyarakat kebingungan harus mengunduh aplikasi mana. Ponsel warga penuh dengan aplikasi pemerintah yang jarang terpakai.
Bukan Soal Generasi, Tetapi Sistem
Persoalan mentalitas analog ini bukan sekadar soal generasi. Memang, mayoritas ASN berasal dari kelompok usia produktif, yaitu generasi Y atau kelahiran 1977-1994 sebanyak 2,13 juta (50%), disusul generasi X atau kelahiran 1965-1976 sebanyak 1,73 juta orang (40%).
Tetapi masalahnya lebih dalam: sistem birokrasi kita tidak dirancang untuk mendorong inovasi. Budaya “asal bapak senang” lebih dominan ketimbang “asal masyarakat puas”. Inisiatif digital sering muncul karena instruksi atasan atau mengejar pencitraan, bukan kebutuhan riil pelayanan.
ASN yang mencoba berinovasi justru kerap terjebak aturan kaku. Mereka yang mempertahankan cara lama lebih aman dari risiko audit. Sistem penilaian kinerja ASN juga tidak mendorong inovasi—yang penting hadir, tugas rutin selesai, tidak ada masalah. Innovation is risk, and risk is dangerous dalam kultur birokrasi kita.
Ironisnya, ASN muda yang digital native pun terjebak dalam sistem ini. Mereka bisa mengoperasikan teknologi, tetapi cara berpikirnya tetap hierarkis dan prosedural.
WhatsApp digunakan, tetapi untuk meneruskan surat disposisi. Zoom meeting rutin dilakukan, tetapi tetap harus presensi fisik. Google Drive untuk berbagi file, tetapi dokumen tetap harus dicetak untuk “arsip”. Teknologi baru, kebiasaan lama.
Belajar dari Negara Lain
Pengalaman negara lain memberikan pelajaran berharga tentang transformasi digital yang paripurna. Estonia, dengan e-governance yang menjadi rujukan dunia, memulai transformasinya dengan prinsip radikal: “digital by default, once only“.
Setiap layanan publik harus digital kecuali ada alasan kuat untuk tetap manual, dan data warga hanya diminta sekali seumur hidup. Mereka tidak sekadar mengadopsi teknologi, tetapi merombak total arsitektur birokrasi.
Hasilnya? 99% layanan publik dapat diakses online, warga hanya perlu datang ke kantor pemerintah untuk tiga hal: menikah, bercerai, dan jual-beli properti.
Singapura mengambil pendekatan berbeda namun sama efektifnya. Mereka membangun “Government Technology Agency” (GovTech) yang merekrut talenta digital terbaik dengan skema remunerasi kompetitif—hingga 90% dari standar industri teknologi.
Para programmer dan data scientist ini bukan sekadar vendor, tetapi bagian integral birokrasi. Mereka memahami konteks pemerintahan sekaligus menguasai teknologi. Ketika pandemi melanda, dalam hitungan minggu mereka meluncurkan TraceTogether—aplikasi pelacakan COVID-19 yang kemudian diadopsi beberapa negara.
Korea Selatan menambahkan dimensi partisipasi warga. Platform “e-People” tidak hanya menerima keluhan, tetapi mengundang warga memberikan ide perbaikan layanan.
Setiap masukan ditanggapi dalam 10 hari kerja, dan warga bisa memantau progres penanganannya secara real-time. Transparansi ini memaksa birokrasi untuk responsif. Dalam lima tahun, tingkat kepuasan layanan publik Korea melonjak signifikan.
Roadmap Transformasi Mental Digital
Lantas, apa yang harus dilakukan Indonesia?
- Pertama, hentikan obsesi membangun aplikasi baru. Lewat perpres satu data, pemerintah akan lebih mengedepankan interoperabilitas antaraplikasi yang sudah ada guna menciptakan layanan digital pemerintahan yang terpadu. Fokus pada integrasi dan interoperabilitas sistem yang ada. Satu Data Indonesia yang digaungkan sejak 2019 lalu harus benar-benar diwujudkan. Tidak perlu 27 ribu aplikasi, cukup puluhan aplikasi terintegrasi yang benar-benar berfungsi.

Ilustrasi: interoperabilitas sistem
- Kedua, ubah sistem insentif secara radikal. ASN yang berhasil melakukan efisiensi melalui digitalisasi harus mendapat penghargaan nyata—kenaikan pangkat dipercepat, tunjangan kinerja ditingkatkan. Sebaliknya, yang mempertahankan cara kerja manual tanpa alasan jelas harus ada konsekuensinya. Sistem carrot and stick (baca: reward and punishment) harus jelas dan terukur.
- Ketiga, investasi pada manusia harus melebihi investasi teknologi. Dari anggaran digitalisasi yang ada, porporsi alokasi untuk pengembangan SDM harus ditingkatkan signifikan. Pelatihan tidak cukup sekadar mengoperasikan komputer, tetapi mengubah cara berpikir: dari melayani atasan menjadi melayani masyarakat, dari menghindari risiko menjadi mengelola risiko, dari mempertahankan status quo menjadi mencari terobosan. Design thinking, agile methodology, dan customer journey mapping harus menjadi bagian dari kurikulum pelatihan ASN.
- Keempat, libatkan digital native dalam birokrasi secara masif. Program rekrutmen talenta digital yang sudah berjalan perlu diperluas. Mereka tidak boleh terisolasi dalam unit khusus—harus menyebar dan menjadi agen perubahan di setiap instansi. Reverse mentoring, di mana ASN muda memberikan pemahanan kepada senior tentang teknologi sementara senior berbagi wisdom birokrasi, bisa menjadi jembatan generasi.
- Kelima, dan mungkin terpenting: berani merombak regulasi usang secara menyeluruh. UU Administrasi Pemerintahan, PP tentang Tata Naskah Dinas, hingga Perpres tentang Pengadaan Barang/Jasa—semuanya perlu disesuaikan dengan era digital. Omnibus law untuk digitalisasi birokrasi mungkin diperlukan. Selama aturan masih mengharuskan dokumen fisik, tanda tangan basah, dan stempel, digitalisasi hanya akan menjadi tambal sulam.
Momentum yang Tidak Boleh Terlewat
Transformasi digital birokrasi bukan tentang seberapa canggih teknologi yang kita miliki, melainkan seberapa siap mental kita untuk berubah. Komputer quantum sekalipun tidak akan berguna jika penggunanya masih berpikir dengan logika mesin tik.
Investasi ratusan triliun akan sia-sia
jika yang berubah hanya perangkat, bukan paradigma. ASN 4.0 bukan sekadar ASN yang melek teknologi, tetapi ASN yang memahami bahwa digitalisasi adalah alat untuk mewujudkan pelayanan publik yang lebih manusiawi—cepat, mudah, transparan, dan bermartabat.
Indonesia memiliki momentum emas: bonus demografi dengan 70% penduduk usia produktif yang digital savvy, political will pemerintah yang kuat, dan pembelajaran dari pandemi yang memaksa digitalisasi.
Pemanfaatan AI di Indonesia diproyeksikan akan menyumbang sekitar 12% peningkatan PDB nasional pada 2030 nanti. Momentum ini tidak akan terulang. Jika kita gagal sekarang, gap dengan negara lain akan semakin lebar dan sulit dikejar.
Pertanyaannya sekarang: berapa lama lagi kita membiarkan paradoks ini berlanjut?
Berapa triliun lagi harus dihabiskan sebelum menyadari bahwa masalah utamanya bukan pada aplikasi, melainkan aplikatornya?
Pilihan ada di tangan kita: menjadi birokrasi digital sejati atau selamanya terjebak dalam digitalisasi semu—canggih di permukaan, analog di mental. Waktu untuk memilih adalah sekarang.
0 Comments