Era modern yang terus berkembang menuntut birokrasi publik untuk senantiasa melakukan pelbagai adaptasi agar dapat tetap relevan. Sehubungan dengan itu, maka salah satu upaya yang ditempuh adalah dengan mengadopsi teknologi pengawasan untuk mengontrol aktivitas yang berlangsung dalam tubuh birokrasi publik itu sendiri, misalnya dengan menerapkan aplikasi presensi untuk Aparatur Sipil Negara (ASN).
Namun, penerapan aplikasi presensi tersebut justru memunculkan sejumlah pertanyaan penting yang terkait dengan privasi dan kebebasan individu, relasi kuasa, serta risiko penyalahgunaan data, yang dapat dijelaskan dengan menggunakan konsep panopticon, sebagaimana dikemukakan oleh Michel Foucault sebagai kritik atas bentuk-bentuk kekuasaan dan kontrol sosial yang berlangsung di masyarakat modern.
Michel Foucault, seorang filsuf Prancis abad ke-20, mengembangkan konsep panopticon yang sebelumnya telah diperkenalkan oleh Jeremy Bentham, seorang filsuf berkebangsaan Inggris, pada akhir abad ke-18.
Konsep panopticon yang diintrodusir oleh Bentham didasarkan pada struktur arsitektur penjara yang dirancang untuk mengawasi tahanan dengan cara yang tidak terlihat.
Bentuk fisiknya terdiri dari sebuah menara pengawas sentral yang dikelilingi oleh sel-sel penjara yang menghadap ke dalam. Tahanan tidak pernah tahu kapan mereka sedang diamati, tetapi mereka menyadari bahwa mereka selalu mungkin sedang diamati. Menurut Foucault, rasa ketidakpastian ini menciptakan disiplin diri yang terinternalisasi dalam diri tahanan.
Teknologi pengawasandalam konteks aplikasi presensi di birokrasi publik mengadopsi prinsip panopticon. Setiap ASN diwajibkan untuk menggunakan aplikasi presensi yang memantau dan merekam kehadiran mereka secara terus-menerus.
Aplikasi ini dioperasikan secara daring dengan menggunakan teknologi seperti GPS (Global Positioning System) dan NFC (Near Field Communication), yang memungkinkan pengawasan waktu dan lokasi kehadiran ASN secara real time. Tujuan utama dari penerapan aplikasi ini adalah untuk meningkatkan efisiensi dan disiplin ASN di tempat kerja.
Namun, penerapan teknologi pengawasandalam aplikasi presensi juga menimbulkan sejumlah kekhawatiran. Salah satunya adalah masalah privasi. Lingkungan panopticon membuat ASN merasa bahwa mereka selalu diamati dan dievaluasi.
Hal itu dapat menciptakan tekanan psikologis dan membatasi kebebasan individu. Rasa takut akan pengawasan yang konstan dapat menghambat inisiatif, kreativitas, dan inovasi, yang seharusnya muncul di tempat kerja.
Selain itu, aplikasi presensi juga berpotensi menciptakan hierarki kekuasaan yang terinternalisasi. Konsep panopticon menempatkan pengawas memiliki kekuasaan yang tidak terbantahkan karena pihak yang diawasi tidak memiliki visibilitas atas pengawasan terhadap dirinya.
Ketika konsep panopticon diterapkan dalam konteks aplikasi presensi, maka pengawasan atas ASN dilakukan oleh pihak berwenang yang memiliki kontrol penuh terhadap data presensi. Hal ini dapat memunculkan ketidakseimbangan kekuasaan antara pengawas dan pihak yang diawasi, di mana pihak yang diawasi menjadi objek pengawasan yang pasif, sementara pengawas memiliki kekuasaan yang tidak terbantahkan.
Selanjutnya, terdapat pula risiko penyalahgunaan data, di mana data presensi ASN dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang tidak terduga tanpa persetujuan dari pihak ASN tersebut.
Sebagai contoh, data presensi dapat digunakan untuk pemantauan perilaku di luar jam kerja, atau untuk memicu tindakan disipliner yang tidak proporsional. Hal ini menimbulkan risiko terhadap privasi individu dan berpotensi mengancam kebebasan dan martabat ASN.
Aplikasi presensi memiliki implikasi etis yang perlu dipertimbangkan. Hal ini terkait dengan bagaimana data presensi diproses, disimpan, dan digunakan dengan mematuhi standar etis yang ketat.
Perlindungan data pribadi dan transparansi dalam penggunaan data harus menjadi prioritas dalam pengembangan dan penerapan aplikasi presensi tersebut. Setiap ASN harus mendapatkan penjelasan yang lengkap mengenai tujuan dan batasan penggunaan data mereka, serta hak-hak privasi mereka yang harus dilindungi.
Ketika menghadapi dilema yang dihadirkan oleh aplikasi presensi bagi ASN di birokrasi publik, penting untuk mempertimbangkan perspektif yang holistik dan berimbang.
Selain memerhatikan bahwa aplikasi ini dapat memberikan manfaat dalam meningkatkan efisiensi dan disiplin di tempat kerja, penting juga untuk memastikan bahwa privasi dan kebebasan individu tetap terjaga.
Perlindungan data pribadi dan pengawasan yang mempertimbangkan prinsip-prinsip keadilan harus dapat menjadi fokus dalam pengembangan dan penerapan aplikasi presensi di birokrasi publik.
Penulis adalah Pegawai Negeri Sipil di Pemerintah Kabupaten Kepulauan Tanimbar dan alumnus dari Program Studi Doktor Manajemen dan Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada. Korespondensi dengan penulis dapat dilakukan melalui alamat email [email protected].
0 Comments