Artikel-artikel sebelumnya (Atas Yudha, Rahmad Daulay, Mudjisantosa, dan Rudy Harahap), memberi sinyal atau indikasi bahwa sumber ‘kriminalisasi’ juga melibatkan Auditor BPK RI dan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), bukan hanya APH. Sayangnya, masih sedikit yang mengulas peran Auditor BPK RI dan APIP terkait ‘kriminalisasi’ tersebut.
Tulisan berikut fokus pada peran APIP dalam menyumbang ‘kriminalisasi’. Apakah benar APIP juga menjadi bagian dari ‘kriminalisasi’ seperti yang dituduhkan atau pemberi keyakinan (assurer) bagi semua pihak yang berkepentingan dalam menentukan apakah sebuah perbuatan dapat dikategorikan sebagai perbuatan tindak pidana korupsi (tipikor) atau tidak?
—
Pasal ‘Sapu Jagad’ Pemberantasan Korupsi
Sebanyak 36 jenis perbuatan dikategorikan sebagai perbuatan tipikor dalam undang-undang pemberantasan tipikor. Salah satunya, unsur ‘dengan cara melawan hukum’ dalam pasal 2 sering dikeluhkan oleh profesional birokrat banyak digunakan untuk menjerat mereka.
Pengertian ‘dengan cara melawan hukum’ menurut para ahli hukum pidana sangat luas, sehingga pasal tersebut dikenal sebagai pasal ‘sapu jagad’ karena dapat digunakan untuk menjerat siapa pun (perseorangan atau korporasi) yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam bentuk apapun.
Penjelasan pasal tersebut secara tegas mengatakan bahwa perbuatan melawan hukum (PMH) meliputi baik secara formil maupun materiil. Tidak mengherankan apabila APH dalam membuat tuntutannya selalu memedomani ketentuan tersebut.
Sayangnya, penjelasan itu tidak terlalu memuaskan para profesional birokrat yang menjadi korban ‘kriminalisasi’. Alasannya, ketentuan itu kurang mempertimbangkan apakah perbuatan melawan hukum yang mereka lakukan itu dilandasi oleh niat jahat atau tidak sebagai motifnya. Ketidakadilan sangat dirasakan ketika APH menggeneralisasi para pelaku tipikor antara yang dilandasi niat jahat dan yang tidak. Itulah sumber munculnya istilah ‘kriminalisasi’.
Lantas, bagaimana peran sesungguhnya APIP dalam dugaan ‘kriminalisasi’ yang dituduhkan oleh para profesional birokrat tersebut?
Audit Rutin Sumber ‘Kriminalisasi’
APIP memiliki fungsi assurance yang salah satunya diwujudkan dalam bentuk penugasan audit berupa audit kinerja (rutin) dan audit dengan tujuan tertentu (non-rutin). Perannya dalam penugasan audit rutin mengakibatkan APIP terseret dalam pusaran ‘kriminalisasi’.
Penyebab kemungkinan terjadinya ‘kriminalisasi’ terletak pada cara APIP menyusun laporan audit rutinnya, khususnya dalam menetapkan findings. Format findings yang terdiri dari unsur kondisi, kriteria, sebab, akibat, dan rekomendasi ini sebenarnya hanya sesuai untuk jenis audit investigatif, namun dalam praktiknya diberlakukan juga untuk jenis audit lainnya.
Cara APIP memaknai unsur “kriteria” dalam format findings yang selalu mengaitkannya dengan segala peraturan perundang-undangan yang berlaku juga menjadi persoalan. Akibatnya, seluruh penugasan audit rutin ‘terjatuh’ dalam jenis audit kepatuhan (compliance audit). Ketika semua jenis laporan hasil audit rutin APIP berisi kepatuhan semata, secara tidak disadari APIP telah memberikan ruang dan energi bagi munculnya ‘kriminalisasi’ karena ketidaksesuaian kondisi dengan kriteria ‘kepatuhan’ yang dimunculkan dalam laporan audit rutin tersebut seirama dengan makna unsur ‘melawan hukum’ yang lingkupnya sangat luas.
Peran APIP dalam Counter Fraud
APIP juga berkewajiban mencegah korupsi melalui upaya preemptive, detect, dan deter. Jika dalam audit rutin APIP melihat adanya indikasi korupsi, maka menjadi kewajiban APIP untuk mengembangkannya melalui penugasan audit investigatif. Audit investigatif juga dilakukan APIP manakala ada pengaduan dari masyarakat, permintaan APH, atau permintaan pimpinan instansi pemerintah dimana dugaan penyimpangan terjadi.
Ketika ada pengaduan dari masyarakat (atau permintaan pimpinan instansi), merujuk pada ketentuan dalam undang-undang pemerintahan daerah, penanganan pertama kali pengaduan masyarakat atas dugaan penyimpangan yang melibatkan Aparatur Sipil Negara (ASN) di daerah dilakukan oleh APIP.
Meski masyarakat mengadukannya langsung kepada APH, namun APH harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan APIP. Sayangnya, dalam praktiknya masih ada institusi APH di daerah yang kurang mengindahkan mekanisme tersebut dan lebih suka menindaklanjuti sendiri pengaduan dugaan tipikor dari masyarakat.
Penugasan audit investigatif atas permintaan APH biasanya dilakukan ketika kasusnya masih berada dalam tahapan penyelidikan. Apabila sudah masuk tahapan penyidikan, biasanya APIP diminta untuk melakukan penghitungan kerugian negara. Lanjutan dari kedua penugasan tersebut tidak jarang APIP juga diminta untuk memberikan keterangan ahli di persidangan.
APIP dalam Penugasan Audit Investigatif dan Penghitungan Kerugian Negara
Bagaimana APIP melakukan kedua penugasan tersebut? Sesuai standar dan pedoman yang berlaku, dalam penugasan audit investigatif APIP harus mendasarkan pada kriteria dan alasan yang cukup, menelaah secara cermat dan hati-hati, serta melakukan pemaparan (expose) kasus terlebih dahulu.
APIP harus memastikan bahwa suatu penyimpangan yang diadukan memenuhi 5 W (What) dan 1 H (How). Unsur 5 W 1 H tersebut adalah: 1. What (apa jenis penyimpangan dan dampaknya), 2. Who (siapa pihak-pihak yang terkait), 3. Where (dimana tempat terjadinya penyimpangan), 4. When (kapan terjadinya penyimpangan), 5. Why (penyebab terjadinya penyimpangan), dan 6. How (modus penyimpangan). Melalui teknik audit tertentu yang dikuasainya, APIP harus mampu memastikan apakah perbuatan melawan hukum seseorang itu memiliki niat tertentu (intent) yang diperkuat modus operandi yang terencana atau tidak.
Dalam penugasan penghitungan kerugian negara APIP harus memastikan apakah data penyimpangan yang menimbulkan kerugian negara dari APH telah cukup jelas, indikasi kerugian negara dapat diperkirakan, serta bukti-bukti yang diperlukan (relevan, kompeten, dan cukup) telah disediakan oleh APH. APIP harus mampu merekonstruksi fakta dan proses kejadian berdasarkan bukti yang diperoleh dari APH dan mengaitkannya dengan metode penghitungan kerugian negara yang akan dipakai sesuai bukti-bukti penyimpangan yang ada.
Jika hal-hal di atas dilakukan secara semestinya oleh APIP, maka ada tidaknya indikasi tipikor berdasarkan temuan audit rutin, pengaduan masyarakat, maupun permintaan APH dan pimpinan instansi dapat diberikan keyakinannya (assured) oleh APIP. Namun jika sebaliknya, maka hasil penugasan APIP dapat dikatakan “substandar” dan dapat dijadikan alasan bahwa APIP juga terlibat dalam ‘kriminalisasi’.
Ketidakjelasan Kriteria Administrasi vs Tipikor
Dalam melakukan audit investigatif jika APIP hanya menemukan penyimpangan bersifat administratif, maka proses lebih lanjut ditangani oleh APIP sendiri sesuai ketentuan yang berlaku. Sebaliknya, jika ditemukan bukti adanya penyimpangan bersifat pidana, maka APIP akan menyerahkan prosesnya kepada APH.
Masalahnya, apakah ada kriteria lugas yang bisa dipedomani oleh APIP bahwa sebuah penyimpangan dapat dikategorikan sebagai ranah administrasi atau ranah tipikor? Apakah penyimpangan administratif itu sama pengertiannya dengan pelanggaran (offences) dan apakah penyimpangan bersifat tipikor itu serupa dengan makna kejahatan (crimes)?
Dalam undang-undang pemerintahan daerah maupun undang-undang administrasi pemerintahan, tidak dijelaskan batasan pengertian dan kriteria klasifikasi penyimpangan yang bersifat administrasi dan penyimpangan yang bersifat pidana.
Hasil riset Supriyadi menyimpulkan bahwa tidak semua undang-undang pidana khusus menetapkan tindak pidana sebagai kejahatan dan pelanggaran. Menurutnya, karena memiliki implikasi yuridis formil dan yuridis materiil, penetapan tindak pidana sebagai kejahatan dan pelanggaran dalam undang-undang pidana khusus sangat diperlukan untuk “menjembatani” berlakunya aturan umum KUHP dan KUHAP terhadap hal-hal yang tidak diatur dalam undang-undang pidana khusus.
Hasil diskusi dengan beberapa teman APIP di daerah yang biasa melakukan audit investigatif menyimpulkan terdapat pemahaman yang seragam di kalangan APIP, yaitu ketika suatu penyimpangan berdampak pada timbulnya kerugian negara yang disebabkan oleh adanya perbuatan melawan hukum (formil dan/atau materiil), maka penyimpangan tersebut menjadi ranah tipikor.
Jika demikian praktiknya, maka APIP yang melakukan penugasan audit investigatif dan penghitungan kerugian negara pun ikut terseret dalam pusaran ‘kriminalisasi’ yang sering dikeluhkan oleh profesional birokrat.
Kriteria Melawan Hukum
Tidak semua pakar hukum pidana berpandangan sama mengenai PMH. Zainal Abidin berpendapat suatu perbuatan dianggap telah melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana apabila telah memenuhi dua unsur. Unsur tersebut yaitu unsur actus reus dan unsur mens rea. Unsur actus reus (perbuatan lahiriah) adalah esensi dari kejahatan itu sendiri atau perbuatan yang dilakukan. Sedangkan unsur mens rea (kondisi jiwa) adalah sikap batin pelaku pada saat melakukan perbuatan.
Mahmud Mulyadi secara tegas menyatakan “tiada pidana tanpa kesalahan”. Kesalahan tersebut harus dilihat dari hubungan batin si pembuat (subjektif) dan perbuatannya yang berupa kesengajaan (dolus) dan kelalaian/kealpaan (culpa). Dalam hukum pidana dirumuskan unsur-unsur perbuatan pidananya (actus reus) dan unsur pertanggungjawaban pidananya (mens rea). Keduanya harus digabungkan oleh hakim dalam penjatuhan pidana (aliran monoisme) atau keduanya harus dipisahkan dalam penjatuhan pidana (aliran dualisme).
Berdasarkan pendapat kedua pakar hukum pidana tersebut, perbuatan-perbuatan yang telah memenuhi unsur actus reus harus dapat dibuktikan didorong oleh adanya niat jahat (unsur mens rea) atau tidak. Niat jahat ini merujuk pada kesengajaan (dolus) atau perbuatan sadar. Kalau begitu, apakah perbuatan yang disebabkan oleh ketidaktahuan, kelalaian (culpa) yang tidak disadari, atau kondisi lainnya seperti dipaksa dan bahkan tidak berdaya karena diancam layak dikategorikan sebagai perbuatan yang didasari oleh mens rea atau niat jahat?
APIP dalam penugasan audit investigatif dan penghitungan kerugian negara semestinya mampu membuktikan ada tidaknya niat jahat dalam motif dan modus operandi pelaku, setelah melihat adanya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Epilog
Terseretnya APIP dalam “dunia hitam” kriminalisasi disebabkan oleh (1) Ketentuan pasal ‘sapu jagad’ dan praktik hukum pidana khusus di negeri ini yang masih mengedepankan aspek formil dan materiil, serta kurang memperhatikan adanya niat jahat pelakunya; (2) Kesalahan format findings dalam laporan audit rutin yang diterbitkan APIP; (3) APH di daerah sering melanggar rule of the games penanganan pengaduan masyarakat atas dugaan tipikor para ASN.
Pasal 2 undang-undang pemberantasan tipikor selayaknya perlu disempurnakan dengan memasukkan adanya unsur mens rea atau niat jahat. Penyempurnaan frase tersebut disertai penjelasan yang lugas dan tuntas tentang PMH, yaitu meliputi unsur actus reus dan unsur mens rea.
APIP perlu mengevaluasi cara penulisan findings dalam laporan audit rutinnya, terutama dalam memaknai unsur kriteria yang cenderung akan menghasilkan compliance audit apapun jenis penugasan auditnya.
Di sisi lain, APH juga diharapkan menghormati mekanisme yang telah diatur dalam undang-undang pemerintahan daerah tentang penanganan pengaduan dari masyarakat atas dugaan penyimpangan dimana APIP menjadi pihak yang pertama untuk menanganinya terlebih dahulu.
Dengan penyempurnaan sebagaimana di atas maka ‘kriminalisasi’ terhadap profesional birokrat semoga dapat diminimalkan.
****
Tak ada yang bisa kutulis tentang diriku. Nikmati saja aku.
0 Comments