“Posisi utang negara per Juli 2021 menyentuh Rp6.570,17 Trilyun, setara rasio 40,51% terhadap PDB. Selama masa pandemi covid-19, sedikitnya ada penambahan utang sebesar Rp1.300 Triliun. Sejak akhir tahun 2020, defisit APBN melebar menyentuh angka 6,14%.
Penerimaan pajak mentok di 89,25% dari target yang ditetapkan, dan belanja K/L kurang optimal akibat regulasi refocussing anggaran yang membuat “bingung”. Target indikator kesejahteraan (tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran terbuka, dan gini rasio) tidak satupun tercapai.
Kewajiban pembayaran beban utang negara tidak dapat bergantung dari hasil penarikan pajak namun juga perlu memperhatikan efektivitas belanja yang dianggarkan APBN sehingga beban utang dapat ditekan. Diperlukan politik anggaran negara ke arah tersebut”.
Masih Berfokus pada Penanganan Pandemi
Memasuki semester ke-2 tahun anggaran 2021, fokus APBN masih dihadapkan pada penanggulangan pandemi Covid-19, yang masih belum menunjukan tanda-tanda berakhir, melalui program Penanggulangan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN).
Fluktualisasi angka penyebaran Covid-19 yang disertai mutasi varian baru virus corona mengakibatkan fokus pemerintah masih tidak berubah selama hampir 1,5 tahun ke belakang: menanggulangi bencana non-alam pandemi Covid-19.
Besarnya dampak yang diakibatkan oleh pandemi ini mengharuskan pemerintah mengeluarkan kebijakan refocussing anggaran, mengeluarkan program PC-PEN sebagai respons akibat melambatnya aktivitas sosial ekonomi masyarakat, menyesuaikan target penerimaan dan belanja negara, yang berimplikasi pada perubahan postur APBN tahun 2020, dan berlanjut pada penetapan target penerimaan dan belanja pada APBN tahun 2021 saat ini.
Extraordinary policy lainnya untuk menangani dampak Pandemi Covid-19 dan memulihkan perekonomian nasional dijelaskan sebagai berikut:
- Pengesahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang.
- Beberapa kebijakan dan langkah strategis yang diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020, di antaranya berupa pemberian stimulus dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional, serta izin pelebaran defisit APBN Tahun Anggaran 2020 hingga 2022 yang diperkenankan melebihi 3 persen terhadap Produk Domestik Bruto.
Selama ini APBN Tidak Baik-baik Saja
Pelebaran defisit APBN melebihi 3 persen terhadap PDB nasional dapat diasumsikan bahwa selama ini APBN kita “sedang tidak baik-baik saja”. Dengan kata lain, APBN kita rapuh saat ada kejadian tidak terduga dan tidak memiliki “barrier” yang mumpuni guna menghalau “shock turbulance” seperti pandemi saat ini.
APBN yang selama ini sudah sangat ketat tidak memiliki ruang fiskal terbuka yang dapat dimanfaatkan untuk penambahan belanja penanggulangan bencana non alam pandemi Covid-19.
Tanpa adanya pandemi Covid-19, pemerintah selalu dihadapkan pada permasalahan ketidaksesuaian antara target dan realisasi APBN setiap tahunnya, ditambah dengan adanya kondisi yang dipenuhi ketidakpastian seperti saat ini, membuat proyeksi anggaran pendapatan dan belanja negara menjadi semakin tidak solid.
Data di atas menunjukan defisit anggaran melebar dari 2,20% di tahun 2019 menjadi 6,14% di tahun 2020. Kemudian Pemerintah menurunkan target defisit menjadi 5,7% (2021) dan 4,85% (2022) untuk kemudian kembali di bawah angka 3% pada tahun 2023 sebagaimana amanat undang-undang.
Meningkatnya Posisi Utang Negara
Melebarnya defisit APBN selama masa pandemi Covid-19 ini berdampak pada meningkatnya posisi utang negara. Posisi utang pemerintah per akhir Desember 2020 berada di angka Rp6.079,17 triliun dengan rasio utang pemerintah terhadap PDB sebesar 39,39 persen. Bila dibandingkan dengan posisi utang tahun 2019 sebesar Rp4.778 triliun terdapat peningkatan utang selama 1 (satu) tahun sebesar Rp1.301,17 triliun.
Meskipun ambang batas maksimal rasio uang terhadap PDB adalah 60 persen sebagaimana diatur dalam UU no.17/2003 namun kondisi penambahan utang yang sangat signifikan dalam jangka waktu singkat mengkawatirkan banyak pihak.
Opsi pemerintah yang mengutamakan utang sebagai sumber utama pembiayaan defisit APBN sangat disayangkan karena memang alternatif itu yang paling mudah dilakukan untuk mendapatkan dana segar dalam waktu singkat, namun memiliki risiko beban bunga yang tidak sedikit.
Kemampuan pemerintah untuk memaksimalkan sektor perpajakan untuk “menambal” kekurangan APBN tidak dapat menjadi jaminan, karena secara historis dalam 10 tahun terakhir pemerintah tidak pernah berhasil memenuhi target penerimaan perpajakan.
Penyerapan Anggaran: Tidak Siap dengan Perubahan
Dari sektor belanja pemerintah pusat, mayoritas Kementerian/Lembaga (K/L) seakan “kebingungan” dalam membelanjakan alokasi anggaran yang berdampak pada tidak maksimalnya penyerapan anggaran di masing-masing K/L.
Secara keseluruhan pada tahun 2020 realisasi penggunaan anggaran pada 86 K/L adalah sebesar 92,80% dengan penyerapan anggaran tertinggi ada pada lembaga Badan Intelijen Negara (BIN) sebesar 99,35% dan penyerapan terendah pada Badan Pengembangan Wilayah Suramadu sebesar 43,96% (LKPP APBN 2020, BPK RI).
Terjadinya pandemi Covid-19 yang direspons pemerintah dengan melakukan perubahan postur APBN termasuk di dalamnya penyesuaian target penerimaan dan belanja negara belum dibarengi dengan hasil kerja optimal oleh Kementerian/Lembaga dalam menjalankan skema program penanggulangan bencana nonalam yang ditetapkan Pemerintah.
Realisasi 92,80% penggunaan anggaran belanja Pemerintah Pusat (K/L) menunjukan kelemahan pada kecepatan penyerapan anggaran K/L ketika adanya perubahan prioritas anggaran dalam kondisi extraordinary.
Hal ini perlu untuk dievaluasi bersama bagaimana untuk menciptakan sebuah skema penggunaan anggaran yang cepat dan tepat sasaran ketika dikemudian hari dihadapkan pada kondisi serupa seperti saat ini.
Defisit APBN 2020 sebesar 6,14% atau setara dengan Rp947,70 triliun yang diprediksi akan meningkat pada APBN 2021 menjadi Rp1.006,38 triliun perlu mendapat perhatian bersama untuk diawasi penggunaan dan penyalurannya agar tepat sasaran dan sesuai kebutuhan prioritas.
Pemerintah perlu mereviu kembali program-program pembangunan infrastruktur yang memerlukan dana investasi besar dan lebih fokus pada penanganan pandemi serta pemulihan ekonomi nasional.
Epilog: Utang dan Perbaikan Tata Kelola Anggaran
Rasio utang Pemerintah per Juli 2021 yang sudah mencapai 40,51 persen terhadap PDB atau setara dengan Rp6.570,17 merupakan warning alert bagi pengelolaan keuangan negara. Skema bagi-bagi beban (burden sharing) bersama BI yang dilakukan pemerintah sebenarnya sudah menunjukan ketidakmampuan pemerintah menanggung beban APBN.
Penjualan surat utang negara yang makin masif saat pandemi disertai yield bunga yang semakin turun membuat beban pemerintah semakin berat jika tidak diikuti dengan perbaikan tata kelola keuangan negara. Ada waktu jatuh tempo surat utang negara/ obligasi yang membuat pemerintah perlu menyediakan dana besar untuk pengembalian kepada masyarakat.
Persoalan utang negara yang semakin tinggi perlu diimbangi dengan solusi kebijakan dan sumber dana pembayaran utang. Kemampuan membayar utang pemerintah seharusnya tidak cuma persoalan penerimaan pajak, tapi juga efektivitas belanja pemerintah apakah produktif atau tidak.
Dengan belanja yang produktif akan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang baik sehingga pertumbuhan Produk Domestik Bruto dapat mengimbangi kenaikan utang. Alokasi APBN untuk program PC-PEN, dana transfer ke daerah, dan sejumlah stimulus lainnya yang dicanangkan pemerintah perlu disertai dengan evaluasi perbaikan tata kelola penggunaan anggaran.
Dengan evaluasi perbaikan tata kelola penggunaan anggaran, belanja pemerintah semakin efektif dan produktif sehingga beban utang dapat ditekan. Politik anggaran negara harus diarahkan ke sana.
Rama Mahesa, SE, MM., menyelesaikan pendidikan S1 Jurusan Ekonomi Akuntansi pada tahun 2007 dan S2 Magister Managemen pada tahun 2011 di Universitas Satyagama-Jakarta. Saat ini menjabat sebagai Peneliti Ahli Pertama bidang Ekonomi Politik pada Pusat Kajian Daerah dan Anggaran Setjen DPD RI. Memiliki minat dalam pendalaman keilmuan bidang ekonomi keuangan negara dan hobi berkegiatan di alam bebas. Dapat dihubungi melalui e-mail: [email protected].
1. apakah mengalami penaikan,penurunan,atau mengalami naik turun?
2. apakah anggaran tersebut surfluse atau devisit? tolong berikan penjelasannya!
Terima kasih atas artikel penecerahan agar terbuka mata kita akan permasalahan tentang anggaran negara. Namun saya tidak melihat dasar kegalauan/kecemasan lantaran melihat kenaikan signifikan secara nominal akibat adanya pandemi karena dari sisi persentase masih dalam tingkat aman. Terkecuali ada data pembanding negara yang sepadan dengan kita (skala dan jumlah penduduk) karena beberapa negara pun mengalami permasalahn sama atas beban hutang untuk membiayai kondisi pandemi. seperti Jepang selaku negara maju justru memiliki beban hutang sekitar 110% dan beberpa negara eropa lainnya.
mungkin yang jadi permasalahan untuk didiskusikan adalah seberapa jauh kemampuan tingkat pengembalian negara atas hutang tersebut. Dan satu hal untuk penerimaan negara, dalam batas tax ratio sebenarnya negara kita pun masih rendah dan bisa dioptimalkan melalui ekstensifikasi atau intensifikasi perpajakan.
Namun demikian, terima kasih atas artikelnya yang coba mengupas masalah ekonomi secara makro dibandingkan hanya bergelut dan debat hal yang mikro namun tak berdampak signifikan secara makro bagi negeri ini.
Terima kasih atas feedbacknya mas cakbro. Pertama, sy mhn maaf krn br reply setelah bbrp purnama karena 1 dan lain hal. Kedua terkait kemampuan mmbyr utang negara, memang debatable krn negara pasti memiliki kemampuan untuk itu selama msh dpt menjaga kepercayaan publik u/mndptkn dana segar baru dan menjaga batas aman kemampuan membayar (stlh d kurangi porsi belanja negara), namun memang poin pentingnya adalah utang dan beban bunga yg hrs dibayar akan sangat membebani APBN terlebih dominasi utang LN, (kondisi agak berneda dgn jepang yg relatif “aman” krn selain debitur sekaligus sbg kreditur). Ketiga, setuju bhw tax ratio negara kita msh rendah dan perlu (atau ‘wajib’) di tingkatkan, dgn tetap mmpertimbangkan kemampuan msyrkt dan dunia usaha serta profesionalisme pengelola pajak.
Terima kasih atas diskusi sehat dan masukannya mas bro.