Selepas saya dan keluarga dinyatakan terpapar COVID-19 minggu lalu, kami ragu, apakah perlu memberikan laporan kepada pengurus lingkungan perihal kondisi kami tersebut atau tidak. Bukan apa-apa, pada banyak kejadian kasus konfirmasi positif, seringkali lingkungan menambah berat perjuangan yang harus dihadapi para penderita COVID-19 dengan stigma negatif yang disematkan. Pembatasan interaksi tak jarang dimaknai sebagai pengucilan penderita, dengan dalih menjaga keamanan bersama dari paparan virus yang sama.
Patut diakui, sekian lama kita tersandera dengan kebiasaan membangun berbagai macam stigma yang meracuni tatanan kebangsaan, seperti isu-isu agama, ras, dan kepentingan. Padahal, Centers for Disease Control and Prevention (2020), dalam artikelnya Reducing Stigma, menyatakan bahwa pemberian stigma menyakiti semua orang, dengan menciptakan lebih banyak rasa takut atau kemarahan terhadap orang lain, tanpa berfokus pada penyelesaian masalah.
Dalam konteks kesehatan, stigma berpotensi menjadikan seseorang menyembunyikan gejala penyakit, membuat mereka menghindari upaya mencari perawatan kesehatan dengan segera, dan mencegah langkah mengadopsi perilaku sehat. Ini berarti bahwa, stigma dapat menyulitkan upaya tracing dalam rangka menekan penyebaran wabah yang seharusnya dapat sedini mungkin dilakukan.
Pendidikan dan Kepekaan Sosial
Dalam konteks ini, pendidikan memegang peranan penting. Bagaimanapun, sebagian alternatif solusi dari permasalahan sosial yang ada, menjadi upaya terintegrasi dalam proses pendidikan. Salah satunya tentang bagaimana empati dan solidaritas sosial dibangun dan diimplementasikan.
Pendidikan berperan penting dalam membangun kepekaan seseorang terhadap lingkungannya. Ini yang kemudian sejak jauh hari telah diingatkan oleh Ki Hajar Dewantara tentang pentingnya peran pendidikan, yang salah satunya melalui olah rasa. Pendidikan harus menjadi media bagi seseorang untuk mengasah daya afektif yang dapat memperkuat kepekaan, kehalusan perasaan, keindahan budi pekerti, empati, dan solidaritas sosial.
Selama ini, praktik pembelajaran telah menunjukkan upaya tersebut, meskipun masih perlu penyempurnaan di berbagai sisi. Interaksi siswa dan guru maupun antara sesama siswa menjadi media yang mengarahkan pada upaya pembentukan karakter serta membangun sikap empati dan menghargai antarsesama.
Diskusi, interaksi, dan penyelesaian tugas secara berkelompok menjadi beberapa aktivitas penumbuhkembangan sikap empati dan saling menghargai. Melalui berbagai aktivitas tersebut, anak-anak dilatih cara kerja dan berpikir yang lebih mengedepankan perasaan orang lain secara kolektif, serta memandang berbagai persoalan yang dihadapi melalui sudut pandang orang lain.
Sayangnya, penutupan sekolah memaksa berbagai aktivitas kolektif tersebut berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Belajar kemudian hampir seluruhnya dilakukan secara daring melalui media digital yang mengutamakan efisiensi, efektivitas, dan kemandirian.
Guru kehilangan waktu intensifnya untuk membersamai siswa membangun karakternya, siswa kehilangan kesempatan berinteraksi langsung dengan teman-teman mereka. Fungsi pendampingan dalam pembentukan karakter kemudian diambil alih sepenuhnya oleh orang tua di rumah.
Pendidikan dan Karakter
Dengan segala perubahan yang terjadi, sudah seharusnya pendidikan sebagai proses belajar berorientasi ganda, yaitu memahami diri sendiri dan memahami lingkungan sekitar. Pendidikan harus mampu membangun pemahaman seseorang tentang potensi dirinya. Seseorang yang memiliki pemahaman penuh tentang dirinya, akan mudah beradaptasi dan menempatkan diri di lingkungannya.
Di ranah eksternal, pendidikan harus mampu menjadi media yang melatih seseorang untuk menganalisis segala fenomena sebagai pengetahuan dan perilaku bersama melalui olah pikir, olah rasa, olah karsa, dan olah raga. Proses dalam pendidikan penting untuk menentukan sejauh mana karakter seseorang dibangun.
Thomas Lickona (1991) dalam Educating for Character: How Our Schools can Teach Respect and Responsibility menyatakan bahwa karakter merupakan kecenderungan psikologis yang membentuk kepribadian dan moralitas.
Karakter terdiri dari tiga bagian yang saling terkait, yaitu pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan (moral feeling), dan perilaku bermoral (moral behavior). Ketiga bagian tersebut penting dalam membentuk karakter secara efektif. Dalam tulisannya, Lickona juga menyatakan bahwa sekolah menjadi tempat yang penting menumbuhkan karakter seseorang sejak masih anak-anak.
Berbagai fenomena yang terjadi dalam lingkungan pendidikan kita saat ini cukup dapat memberikan gambaran tentang keresahan akan potensi menurunnya fungsi pendidikan dalam membangun karakter siswa. Sudah sejak lama, misalnya, Ki Hajar Dewantara melalui berbagai gagasannya mengingatkan bahwa sistem pendidikan pada zaman sekarang terlalu berat pada intelektualisme, dan kurang memperhatikan keluhuran budi.
Ini menjadi semacam warisan sistem pendidikan yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial yang cenderung lebih mengutamakan pengembangan kecerdasan yang bersifat intelektual, dibandingkan kedalaman karakter siswa.
Aktivitas belajar menjadi terasa perlu menyematkan label “pendidikan karakter” dalam setiap substansi mata pelajaran yang ada, seolah lupa bahwa setiap aktivitas belajar sudah semestinya mengandung pembangunan karakter di dalamnya. Seiring berjalannya waktu, kekhawatiran justru semakin mendalam, bahwa pendidikan tidak hanya kurang membangun karakter dan sifat empati, tetapi juga tidak mampu mengembangkan intelektualitas siswa.
Intelegensi, Budi Luhur, dan Kepekaan
Pendidikan dianggap kehilangan arah. Padahal, pendidikan harus memberikan pemahaman mendalam tentang beragam fenomena, termasuk menjadi media mengasah kepekaan, empati, dan solidaritas sosial pada sesama. Dalam konteks pandemi COVID-19 misalnya, aktivitas belajar daring yang dibatasi perangkat dan waktu, seringkali abai tentang bagaimana siswa seharusnya bersikap terhadap orang-orang di sekelilingnya, yang mungkin menjadi penderita COVID-19.
Informasi tentang apa itu COVID-19 tidak lantas mampu membangun kecakapan siswa ketika bertindak menghadapi situasi di mana orang-orang sekeliling mereka menjadi objek penderita. Tak jarang anak-anak kemudian sulit bersikap bijak menghadapi sesama anak lain yang menjadi penderita atau keluarga terdekatnya terpapar COVID-19, sama halnya dengan orang-orang dewasa lain.
Alih-alih membatasi interaksi dengan dasar menghindari penyebaran, pengucilan, dan perlakuan buruk terhadap sesama yang terpapar COVID-19 malah terjadi. Akar masalahnya, karena rendahnya pemahaman tentang apa dan bagaimana COVID-19 dapat menyebar serta bagaimana seharusnya kita membangun kewaspadaan tanpa harus terjebak prasangka yang membuat hubungan antarpersonal menjadi tidak baik.
Bagaimanapun, karakter yang baik terdiri dari tiga hal mendasar: mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai atau menginginkan kebaikan (loving or desiring the good), dan melakukan kebaikan (acting the good). Ini artinya, kebaikan tidak akan menjelma menjadi karakter jika hanya berada di tahap mengetahui dan menginginkan kebaikan, tanpa dengan sadar tergerak untuk melakukan kebaikan dengan sepenuh hati.
Sekolah harus menjadi garis permulaan dalam melatihkan karakter empati dan kepekaan sosial kepada anak-anak kita. Sebagai sebuah keterampilan, empati dan kepekaan sosial merupakan kebutuhan mendasar yang harus terintegrasi dalam segala proses belajar-mengajar baik itu di ruang-ruang kelas, maupun di perjumpaan-perjumpaan kelas maya.
Aktivitas pendidikan memegang peran penting di sana, dan kita tidak ingin pendidikan semakin kehilangan arah: terlalu fokus pada pengembangan intelegensi semata, namun melupakan pentingnya menjadi manusia yang berbudi luhur dan juga peka. Semoga tulisan singkat ini menjadi refleksi bagi kita semua, orang-orang yang mendidik sekaligus yang (harus) terus belajar tanpa pandang usia.
Ilustrasi Gambar : https://bali.tribunnews.com/
Analis Kebijakan pada Pusat Penelitian Kebijakan, Balitbang dan Perbukuan, Kemendikbud-Ristek.
Pembelajaran karakter, Duh mata pelajaran apa lagi nih?…
Kadang kita terjebak dengan sistem kurikulum berbasis kuantitatif dalam pembelajaran tentang suatu ilmu. Sehingga jadi beban bagi penyelenggara dan anak didik karena dianggap sebagai mata pelajaran.
Sebagai orang tua muda, saya juga termasuk yang merasakan keresahan ini. Dan respon atas keresahan ini (sejauh ini) adalah menyediakan ‘pendidikan merdeka’ di rumah bagi anak-anak untuk mengekplorasi apapun yang mereka inginkan tanpa dibatasi tembok sekolahan.
Biarkan mereka ‘dididik’ oleh alam dan masyarakatnya untuk bisa lebih berempati secara naluriah. Semoga upaya-upaya baik selalu menemui jalannya…
Akan terlalu berlebihan untuk mengharap lingkungan memiliki kesadaran apalagi empati terhadap permasalahan covid ini mbak. Sedari awal pandemi, pendekatan yang digunakan cenderung nirsains atau bahkan nirlogis. Bagaimana mungkin grass root akan paham sedang elit juga masih diwarnai berbagai kepentingan ?