Apakah Birokrat Bisa Sekaligus Menjadi Aktivis?

by | Sep 19, 2025 | Birokrasi Efektif-Efisien | 0 comments

Awal tahun ini, publik dikejutkan oleh pemandangan yang tidak lazim: ratusan Aparatur Sipil Negara (ASN) di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) turun ke jalan

Mereka bukan berunjuk rasa karena isu politik, melainkan untuk membela salah satu rekan kerja mereka yang diberhentikan secara sepihak—diduga karena ketidaksukaan pribadi Menteri Satryo terhadap sang pegawai.

Aksi ini bukan hanya mencatat sejarah sebagai demonstrasi terbuka oleh birokrat terhadap pimpinan tertinggi di kementeriannya, tetapi juga berhasil menorehkan hasil: Menteri Satryo di-reshuffle tak lama setelahnya

Namun demikian, kita perlu berhati-hati dalam menafsirkan kejadian ini sebagai indikasi perubahan struktural. 

Tanpa adanya reformasi sistemik terhadap mekanisme pengaduan, perlindungan ASN, dan pelembagaan ruang deliberasi internal, aksi semacam ini bisa tetap menjadi anomali—dipicu oleh ikatan emosional terhadap korban, bukan kesadaran kolektif yang tertanam dalam struktur birokrasi.

Dalam konteks Indonesia, di mana birokrasi masih kental dengan budaya sungkan, patronase, dan feodalisme, tindakan kolektif ini tetap patut dicatat sebagai peristiwa penting. Ia membuka ruang imajinasi bahwa di balik wajah birokrasi yang selama ini dianggap pasif dan birokratis, terdapat potensi agensi yang bisa bertindak secara kritis.

Aktivisme dalam tubuh birokrasi

Pertanyaannya kemudian, apakah birokrat dapat terlibat dalam aksi protes dan aktivisme? Dalam diskursus global, praktik semacam ini dikenal sebagai bureaucratic activism, yang memposisikan birokrat—terutama di level menengah dan akar rumput—sebagai agen moral yang mampu berpihak pada nilai-nilai publik tertentu. 

Namun, posisi ini tidak bebas dari dilema. Ketika birokrat mulai memilih nilai-nilai tertentu yang ingin diperjuangkan, terdapat risiko politisasi birokrasi. Siapa yang berhak menentukan nilai publik yang “benar”? Bagaimana membedakannya dari kepentingan pribadi atau kelompok?

Aktivisme birokrasi merujuk pada keterlibatan proaktif birokrat dalam memperjuangkan agenda kebijakan yang kadang tidak populer secara politik. Dalam banyak kasus, aktivisme semacam ini tumbuh dari pengalaman langsung dengan komunitas dan internalisasi terhadap aspirasi masyarakat

Namun, perlu dicatat bahwa semangat ini tetap beroperasi dalam batas-batas sistem yang hierarkis, di mana loyalitas terhadap atasan dan kepatuhan prosedural sering kali menjadi ukuran utama performa.

Dalam buku saya, saya menjelaskan bahwa birokrat sebenarnya memiliki potensi untuk mendorong emansipasi pekerja agar relasi kerja yang terbentuk tidak bersifat eksploitatif. 

Namun, tantangan utamanya terletak pada struktur birokrasi itu sendiri, yang sering kali kaku dan hierarkis, sehingga menjadi penghambat utama bagi upaya emansipatif tersebut.

Tindakan ASN Kemdiktisaintek mencerminkan kemungkinan tumbuhnya kesadaran kritis dalam tubuh birokrasi. Namun, kesadaran ini tidak bisa dilepaskan dari dinamika kekuasaan internal: relasi atasan-bawahan, budaya organisasi, serta keberadaan ruang aman bagi ASN untuk menyuarakan kritik tanpa takut dihukum. 

Tanpa dukungan kelembagaan yang kuat, aktivisme birokrasi bisa mudah direpresi atau bahkan dimanfaatkan oleh faksi-faksi tertentu dalam konflik elite internal.

Suara dari bawah dan peran birokrat jalanan

Konsepsi street-level bureaucracy dari Michael Lipsky memberikan kerangka penting untuk memahami dinamika ini. 

Lipsky menekankan bahwa birokrat jalanan—seperti guru, petugas pelayanan, tenaga kesehatan, atau pekerja sosial—tidak sekadar pelaksana pasif, melainkan pelaku utama dalam praktik kebijakan. Mereka menggunakan diskresi dalam menghadapi kompleksitas realitas yang tak selalu tercermin dalam regulasi resmi.

Namun, diskresi ini bukan tanpa risiko. Di satu sisi, ia membuka ruang untuk empati dan keberpihakan pada warga; di sisi lain, ia dapat membuka celah penyimpangan.

Oleh karena itu, penting untuk melihat street-level discretion bukan hanya sebagai alat adaptasi terhadap kebijakan yang tidak kontekstual, tetapi juga sebagai peluang untuk memproduksi pengetahuan kelembagaan yang berasal dari bawah.

Mengintegrasikan suara birokrat jalanan ke dalam siklus kebijakan bukan hanya penting untuk meningkatkan efektivitas, tetapi juga untuk memperkuat legitimasi dan keadilan dalam tata kelola publik. Namun, ini mensyaratkan perubahan arsitektur birokrasi yang memungkinkan deliberasi dan refleksi ke dalam proses formal.

Belajar dari aksi ASN Kemdiktisaintek

Aksi protes ASN Kemdiktisaintek memang belum dilandasi oleh tuntutan struktural yang terumuskan secara politik. Ia masih bersifat reaktif dan simbolik, belum sistemik.

Namun demikian, aksi ini tetap penting sebagai penanda bahwa birokrasi bukan entitas homogen yang selalu tunduk. Terdapat individu-individu yang punya keberanian moral untuk menantang keputusan atasan jika dianggap melanggar prinsip keadilan dan akal sehat.

Pertanyaannya, apakah keberanian ini akan menjadi preseden atau hanya catatan kaki? Jangan sampai birokrat yang menjadi “pemberontak dari dalam” karena alasan etis, tetapi kemudian mengalami marginalisasi. 

Tanpa perlindungan struktural, ruang kritik dari dalam birokrasi akan tetap rapuh. Kita memerlukan sistem meritokrasi yang tidak hanya menghargai loyalitas prosedural, tetapi juga keberanian moral dan kepedulian terhadap warga.

Menuju birokrasi reflektif

Dalam konteks ini, penulis berargumen bahwa birokrat sejatinya bisa menjadi aktivis birokrasi, yakni individu yang tidak hanya menjalankan peran administratif, tetapi juga merefleksikan dan menilai secara kritis arah kebijakan institusinya.

Namun, peran ini tidak boleh dibayangkan sebagai heroisme individual semata, melainkan harus dibarengi dengan transformasi kelembagaan yang memungkinkan partisipasi, deliberasi, dan proteksi terhadap ketidaksepakatan internal.

Studi-studi sebelumnya telah mencatat berbagai bentuk aktivisme birokrasi dalam bidang seperti perlindungan lingkungan, penanggulangan AIDS, hingga kebijakan perumahan sosial

Namun, sebagian besar kasus ini muncul dalam konteks demokrasi yang lebih mapan, di mana perlindungan hukum dan kebebasan sipil memberi ruang bagi birokrat untuk mengekspresikan posisi kritisnya. 

Di Indonesia, di mana struktur birokrasi masih sangat hierarkis dan penuh tekanan politik, aktivisme birokrasi tetap menghadapi tembok besar.

Karena itu, pertanyaan “apakah birokrat bisa menjadi aktivis?” tidak cukup dijawab dengan semangat idealistik. 

Ia perlu dijawab dengan refleksi struktural: apakah sistem birokrasi kita telah menyediakan ruang aman, insentif yang adil, dan kebebasan institusional bagi ASN untuk bersikap kritis tanpa takut dikriminalisasi atau dikorbankan? 

Tanpa perubahan pada aspek-aspek tersebut, aktivisme birokrasi akan tetap menjadi pengecualian, bukan norma.

Jika birokrasi ingin menjadi lebih demokratis, maka kritik dari dalam harus dirawat dan dilindungi. Para ASN yang berani bersuara bukan pengkhianat, melainkan penjaga nilai. 

Mereka mengingatkan bahwa negara tidak bisa hanya dijalankan atas dasar loyalitas personal, melainkan harus bertumpu pada prinsip keadilan dan kepentingan publik.

Aktivisme birokrasi membuka harapan bahwa perubahan sosial tidak harus datang dari luar sistem. Ia juga bisa tumbuh dari dalam, oleh para individu yang tidak takut berpikir, bersuara, dan bertindak untuk memperbaiki negara dari dalam kerangka institusionalnya. 

Namun harapan ini hanya akan bermakna jika disertai dengan dukungan struktural yang menjamin bahwa keberanian tidak dibalas dengan isolasi birokratik.

2
0
Dodi Faedlulloh ♥ Associate Writer

Dodi Faedlulloh ♥ Associate Writer

Author

Penulis merupakan seorang dosen dan peneliti di Jurusan Administrasi Negara, Univesitas Lampung

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post