Apa Kabar Nasib Fungsional Pengelola PBJ?

by Aisyah Munim ◆ Active Writer | Jun 23, 2020 | Birokrasi Akuntabel-Transparan | 29 comments

Masih ingat tulisan “Nasib Fungsional Pengelola PBJ: Siapa Peduli?” Tulisan tersebut pernah tayang di Birokrat Menulis pada 17 Maret 2017. Kini, tiga tahun setelah tulisan tersebut tayang, bagaimana perkembangannya? Banyak perubahan kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah sejak tayangnya tulisan tersebut – mungkin Anda akan berpikir karena isi tulisan itu. Berbagai infrastruktur kebijakan pengadaan barang/jasa terus diperjuangkan dan dilahirkan oleh LKPP sebagai instansi pembina jabatan Fungsional Pengelola PBJ.

Bergantinya Perpres 54/2010 menjadi Perpres 16/2018 mengubah kelembagaan pengelola pengadaan dengan mengakomodir perluasan fungsi ULP menjadi UKPBJ untuk meningkatkan peran, profesionalitas, dan kapasitas SDM pengelola pengadaan.

Dalam aturan yang baru tersebut lebih spesifik dinyatakan bahwa pengelola pengadaan barang/jasa di lingkungan K/L/Pemda adalah pejabat fungsional yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan pengadaan barang/jasa.

Pencantuman pasal 88 huruf a dalam Perpres 16/2018 yang menyatakan: “Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan wajib dijabat oleh Pengelola Pengadaan Barang/Jasa sebagaimana dimaksud dalam pasal 74 ayat (1) huruf a paling lambat 31 Desember 2020” merupakan salah satu komitmen Pemerintah terhadap peningkatan peran, profesionalitas, dan kapasitas SDM pengelola pengadaan tersebut.

Selanjutnya, berbagai peraturan turunan terkait Pengelola Pengadaan Barang/Jasa sendiri diatur dalam Peraturan LKPP No.14/2018 tentang UKPBJ, Peraturan LKPP No.15/2018 tentang Pelaku Pengadaan, dan Peraturan LKPP No.16/2018 tentang Agen Pengadaan.

UKPBJ Level 3

Salah satu kriteria keberhasilan dari peran LKPP dalam memenuhi aksi peningkatan profesionalitas dan modernisasi pengadaan barang/jasa adalah tercapainya tingkat kematangan UKPBJ minimal pada level 3 di 100 K/L/Pemda.

Hal itu merupakan tindak lanjut dari amanat Perpres 54/2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (STRANAS PK) dan Surat Keputusan Bersama Timnas PK (Pimpinan KPK, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Mendagri, MenPAN-RB, dan KSP) No. 1 Tahun 2018; 01 SKB/M.PPN/10/2018; 119/8774/SJ; 15 Tahun 2018; NK-03/KSK/10/2018 tentang Aksi Pencegahan Korupsi Tahun 2019 – 2020.

Penilaian UKPBJ level 3 (proaktif) oleh LKPP tersebut untuk melihat kesiapan K/L/Pemda menjadi Agen Pengadaan sesuai amanat Pasal 91 ayat (1) huruf c Perpres 16/18. Pengaturan lebih lanjut terkait Agen Pengadaan sendiri secara rinci diatur dalam Peraturan LKPP No. 16/2018, dengan tujuan untuk memfasilitasi K/L/Pemda yang membutuhkan jasa/layanan karena keterbatasan kapasitas UKPBJ dalam pemenuhan Fungsional Pengelola PBJ untuk melaksanakan pengadaan barang/jasa.

Dalam UKPBJ ideal (level 3) tersebut model penugasan Fungsional Pengelola PBJ meliputi hulu sampai hilir keseluruhan proses pengadaan barang/jasa. Tugas Fungsional Pengelola PBJ diharapkan dapat ikut berperan membantu PA/KPA dalam proses perencanaan pengadaan, membantu PPK dalam manajemen kontrak, dan juga dapat terlibat aktif dalam riset, kajian, dan penyusunan rencana strategis PBJ.

UKPBJ level 3 (proaktif) adalah UKPBJ yang telah memenuhi 4 domain (proses, kelembagaan, SDM dan sistem informasi) dengan 9 variabel yang dipersyaratkan – yaitu manajemen pengadaan, manajemen penyedia, manajemen kinerja dan manajemen resiko, pengelolaan kelembagaan dan tugas/fungsi kelembagaan, perencanaan dan pengembangan SDM pengadaan, sistem informasi.

Sedangkan berdasarkan data yang kita lihat di website LKPP melalui  https://siukpbj.lkpp.go.id/ UKPBJ level 3 jumlahnya masih sedikit. Sementara, yang belum memenuhi syarat level 3 masih sangat banyak.

Dari 618 UKPBJ yang ada, baru 20 UKPBJ (3,24%) yang memenuhi level 3. Sementara 381 UKPBJ (61,65%) bahkan belum memenuhi seluruh variabel yang dipersyaratkan. Artinya, LKPP harus memotivasi sekurang-kurangnya 80 UKPBJ yang telah memenuhi 4 dari 9 variabel yang dipersyaratkan menjadi UKPBJ Level 3 dari 100 K/L/Pemda yang menjadi target Stranas PK.

Keluarnya PermenPAN-RB No. 29/2020 tentang Jabatan Fungsional Pengelola Pengadaan Barang/Jasa membuka kesempatan lebar-lebar bagi para Fungsional Pengelola PBJ untuk mengembangkan karier, profesionalisme, sekaligus berperan aktif dan berkontribusi pada K/L/Pemda dalam bidang PBJ pemerintah.

Selain itu, para Fungsional Pengelola PBJ patut berbangga hati karena sebagaimana diatur dalam Bab XV pasal 54, Ikatan Fungsional Pengadaan Indonesia (IFPI) ditetapkan sebagai organisasi profesi bagi Jabatan Fungsional Pengelola PBJ. Seluruh Pengelola PBJ bahkan wajib menjadi anggota IFPI.

Di sisi lain, keluarnya PermenPAN-RB 28/2019 tentang penyetaraan jabatan administrasi ke dalam jabatan fungsional untuk menciptakan birokrasi yang dinamis dan profesional sebagai upaya penyederhanaan birokrasi, pada intinya sejalan dan dapat menjadi sarana untuk mengakomodir kekurangan kebutuhan Fungsional Pengelola PBJ pada K/L/Pemda yang sedang bergulir.

Hal itu bertujuan untuk mendukung terlaksananya kebijakan penyederhanaan birokrasi dan menjadi pilihan bagi pejabat yang sekarang menempati jabatan administrasi untuk masuk ke dalam jabatan fungsional yang mereka minati.

Namun, dengan ditetapkannya formasi jabatan fungsional (di luar Fungsional Pengelola PBJ) oleh Kementerian PAN-RB sebagai pilihan bagi para pejabat yang terkena dampak penyetaraan jabatan administrasi ke dalam jabatan fungsional pada PPATK, Kementerian Keuangan, BATAN, BNP2TKI, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, justru memperkecil peluang akan hal itu.

 

Mengapa Kurang Dilirik?

Perluasan Fungsi UKPBJ yang didengungkan sebagai unit kerja yang menjadi pusat keunggulan PBJ sesuai Rencana Aksi Nasional Open Government Indonesia (RAN–OGI) melalui pengukuran tingkat kematangan UKPBJ di K/L/Pemda seharusnya menjadi angin segar karena berbanding lurus dengan upaya peningkatan peran dan fungsi Fungsional Pengelola PBJ.

Sayangnya, isu kencang soal penghapusan Pasal 88 huruf a Perpres 16/2018 justru dihembuskan oleh K/L/Pemda yang tidak siap. Alasannya, mereka kesulitan merekrut Fungsional Pengelola PBJ dengan alasan tidak ada peminat.

K/L/Pemda yang tidak mematuhi komitmen Perpres 16/2018 yang diundangkan sejak 2 tahun lalu (22 Maret 2018) seharusnya sudah menyiapkan diri dan sudah memikirkan secara matang konsekuensi yang timbul, yaitu dengan menyerahkan proses pelaksanaan pengadaannya kepada UKPBJ level 3 sebagai Agen Pengadaan – sebagaimana tertuang dalam Peraturan LKPP No.16/2018.

Apakah benar sedikit ASN yang berminat menjadi pejabat Fungsional Pengelola PBJ? Kondisi ini mestinya bisa menjadi bahan kajian bagi LKPP. Yaitu, terkait alasan ketidaksiapan K/L/Pemda dalam merekrut Fungsional Pengelola PBJ. Lantas bagaimana K/L/Pemda melaksanakan PBJ selama ini?

Ternyata, sulitnya persyaratan inpassing, uji kompetensi yang terbatas, dan penempatan yang tidak sesuai sehingga sulit dalam memenuhi angka kredit, menjadi alasan kenapa Fungsional Pengelola PBJ tidak dilirik oleh ASN. Penyebab utama lainnya yang tidak kalah penting adanya larangan pemberian honor bagi Fungsional Pengelola PBJ. Alasannya, sudah menjadi tusinya.

Kebijakan Kementerian Keuangan terkait Standar Biaya Masukan (SBM) di Kementerian/Lembaga dan Perpres 33/2020 tentang Standar Harga Satuan Regional bagi Pemda menjadi kontradiktif dengan kebijakan pemberlakuan wajib Fungsional Pengelola PBJ hingga akhir 31 Desember 2020.

Kedua aturan tersebut mengatur salah satunya soal besaran honorarium kepada pejabat pengadaan/pokja pemilihan pengadaan barang/jasa untuk melaksanakan pemilihan penyedia barang/jasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kebijakan tersebut membuka peluang bagi K/L/Pemda yang tidak siap tadi untuk menunjuk non-Fungsional Pengelola PBJ. Bagaimana tidak? Ketentuan tersebut dapat menjadi daya tarik pemikat bagi non-Fungsional Pengelola PBJ untuk tetap dapat terlibat dalam proses pangadaan barang/jasa tanpa harus beralih ke jabatan Fungsional Pengelola PBJ.

Lantas, bagaimana tujuan menciptakan pengelolaan PBJ yang value for money melalui SDM yang profesional dapat diwujudkan?

Bayangkan berapa paket pengadaan yang tertuang dalam SiRUP LKPP yang dilakukan K/L/Pemda setiap tahun dan berapa besar anggaran yang dikeluarkan untuk membayar honorarium non-Fungsional Pengelola PBJ per paket? Semestinya honorarium yang dianggarkan tersebut dapat dialokasikan untuk pemberian tukin/TPP yang besar bagi para Fungsional Pengelola PBJ.

Kebijakan pemberian tukin/TPP tersebut dapat menjadi daya tarik bagi mereka untuk memilih Jabatan Fungsional Pengelola PBJ. Harapan lainnya agar mereka tidak tergoda untuk melakukan korupsi.

Kebijakan pemberian tukin/TPP yang besar untuk Fungsional Pengelola PBJ tersebut mesti diikuti dengan kebijakan pemberian ancaman sanksi yang berat apabila mereka masih melakukan korupsi atau melanggar Kode Etik dan Perilaku Fungsional Pengelola PBJ, seperti yang telah diberlakukan pada Direktorat Jenderal Pajak.

Epilog

Jika pemerintah komitmen dan konsisten dengan niat besar untuk mewujudkan pengelolaan PBJ yang dikelola oleh SDM yang profesional, maka pemerintah perlu memikirkan nasib para Fungsional Pengelola PBJ saat ini.

Kebijakan larangan pemberian honor paket bagi para Fungsional Pengelola PBJ, yang di sisi lain tidak berlaku bagi non-Fungsional Pengelola PBJ, dapat menimbulkan kecemburuan dan menurunkan motivasi bekerja bagi para Fungsional Pengelola PBJ. Oleh karenanya, pemerintah harus tetap mendorong pemenuhan jumlah Fungsional Pengelola PBJ di seluruh K/L/Pemda melalui kebijakan yang produktif (tidak kontraproduktif) agar efektif.

Jika tidak, maka para Fungsional Pengelola PBJ akan selamanya menjadi plt – pegawai lillahi ta’ala – untuk melaksanakan proses pengadaan di negeri ini. Pertanyaan besar dari kami mewakili suara para Fungsional Pengelola PBJ adalah:

Apabila kebijakan larangan pemberian honor paket berlaku umum untuk seluruh ASN – baik fungsional maupun non-Fungsional Pengelola PBJ – dalam melaksanakan proses pengadaan, apakah masih akan ada non-Fungsional Pengelola PBJ yang mau menjadi plt – pegawai lillahi ta’ala – untuk melaksanakan proses pengadaan?

25
2
Aisyah Munim ◆ Active Writer

Aisyah Munim ◆ Active Writer

Author

ASN Fungsional Pengadaan Barang/Jasa pada pemerintah daerah di Jawa Timur. Empatinya terhadap nasib sejawatnya sesama Fungsional Pengadaan Barang/Jasa tercermin dalam tulisan-tulisannya.

29 Comments

  1. Avatar

    ngga adil. karena aturan ini:
    Dalam hal Pejabat Pengadaan Barang/Jasa atau anggota UKPBJ telah menerima tunjangan jabatan fungsional pengelola pengadaan barang/jasa, maka honorarium tersebut dapat diberikan kepada anggota Kelompok Kerja UKPBJ setelah mengerjakan 30 (tiga puluh) paket dan diberikan maksimal sebesar Rp44.000.000,00 (empat puluh empat juta rupiah) per orang per tahun.

    bahkan JF PBJ masih minoritas di kantor sendiri. Siapa yang mau inpassing kalau honor 30 paket dipotong dan ada maksimal honor. Lebih baik tidak jadi JF PBJ kalau gitu, honor unlimited. Dibanding hanya dapat tunjangan jafung 493ribu perbulan.

    Angka kredit juga dibatasi oleh LKPP menjadi 12,5 (maks 150% atau 18,75). Makin susah naik tingkat.

    Siapa yg mau jadi JF PBJ kalau seperti ini, ini ngga sepadan dengan beban kerja dan risiko yang sama dengan non JF PBJ tapi mereka dapat honor. Seharusnya khusus JF PBJ tunjangannya dibedakan dengan non JF PBJ lainnya, yang menarik minat untuk inpassing.

    Reply
    • Avatar

      aturan dimana ya yang harus 30 paket dulu baru dapat honor? pengen tau juga nih

      Reply
  2. Avatar

    Tpp saya sbg pengelola barang jasa kecil,lebih banyak tpp struktural. Kenapa fungsional selalu dinomor 2 kn. Kemana kita bisa sama2 melaporkan,spy bisa dinaikkan tpp nya

    Reply
  3. Avatar

    Semangat.. Salam Pengadaan

    Reply
  4. Avatar

    Jabatan Fungsional PBJ Kurang mendapat perhatian dari para pengambil kebijakan padahal resiko yang dihadapi begitu besar mulai dari intervensi, ancaman fisik dan kurang mendapat perlindungan hukum serta OPD Pembina Kepegawaian tidak memberikan adanya kepastian tentang kebutuhan dalam jabatan, angka kredit, tim penilai angka kredit dan dengan terbitnya Kebijakan Kementerian Keuangan terkait Standar Biaya Masukan (SBM) di Kementerian/Lembaga dan Perpres 33/2020 tentang Standar Harga Satuan Regional bagi Pemda honor untuk pelaku PBJ dihilangkan sehingga semakin meresahkan …. kesejahteraan dan masa depannya …

    Reply
    • Avatar

      Perlu komitmen tinggi dari pemangku kebijakan dan menjadi tugas UKPBJ masing-masing K/L/PD untuk mengoptimalkan fungsional PPBJ sesuai amanat Per LKPP 14/2020 tentang UKPBJ Pasal 4-7.
      Bila peran fungsi itu dijalankan aku optimis pengembangan karier dan peningkatan profesionalisme PPBJ akan berjalan optimal, termasuk pemerataan 30+1 paket implementasi honor sesuai SBM Kemkeu.

      Tetap semangat yaa om… SALAM PASAL 88a

      Reply
      • Avatar

        pemerataan 30+1 ini yang gak bisa terwujud di daerah, karena tebentur dengan Perpres 33 Tahun 2020.

        mungkin bisa bantu disampaikan kepada yang menerbitkan Perpres tersebut agar bisa penyesuaian seperti SBM dari Kementrian lainnya.

        salam JF PPBJ

        Reply
      • Avatar

        Coba kita flashback ke sebelum Desember 2020, apa yang akan terjadi jika suatu pemda belum punya satupun JF PPBJ pada batas akhir, 31 Desember 2020. Apakah sudah ada kepastian bisa melakukan fungsi pemilihan penyedia PBJ?

        Reply
    • Avatar

      ini yang menarik….seharusnya honor it dihapus saja dan dialihkan pada bentuk TPP sehingg menimbulkan minat untuk masuk….

      Reply
  5. Avatar

    Ilmu menulisnya boleh nih ditularin … bagi kiat dan strategi menulis nya ya mba Cece

    Reply
    • Avatar

      Hai Mbak Siti Ros, disini Birokrat Menulis berkumpul para pakar mbak…aku juga masih belajar, tulisan yang aku buat ini mengalir lebih dari hati serta protes atas keadaan yang kita temui mbak.

      maksud hati buang energi negatif, melalui tulisan biar bisa didengar banyak orang hahahaha

      #ups

      Reply
  6. Avatar

    Mantep,,,semoga apa yg kita perjuangkan mendapatkan hasilnya,,

    Reply
    • Avatar

      Bismillah… kita berjuang bersama-sama yaa om Sutikno 🙂

      Reply
  7. Avatar

    Mantul…
    Plt

    Reply
    • Avatar

      Hahahahaha PLT … Pegawai Lillahi Ta’ala yaa om Ichsan 😀

      Reply
    • Avatar

      SALAM PASAL 88a Om Sekum 🙂

      Reply
  8. Avatar

    Sangat menarik.

    Reply
    • Avatar

      Terimakasih om Tomy… 🙂

      Reply
  9. Avatar

    Saya tidak setuju kalau dikatakan sulitnya persyaratan inpassing, uji kompetensi yang terbatas, dan penempatan yang tidak sesuai sehingga sulit dalam memenuhi angka kredit, menjadi alasan kenapa Fungsional Pengelola PBJ tidak dilirik oleh ASN.
    Yang menjadi penyebab utama adalah “political will” dan masih kentalnya budaya KKN. Sejak awal berdirinya JFPBJ ini sudah dianggap sebagai penghalang utk mengumpulkan biaya-biaya non budgeter. Jadi segala sesuatu arah kebijakan yang digelontorkan oleh LKPP itu dicounter dengan mengulur ulur waktu pelaksanaan dari setiap kebijakan dan menciptakan iklim yang tidak baik dalam implementasi kebijakan LKPP yang mengakibatkan sampai saat ini beginilah jadinya. Kurang apa mudahnya pengangkatan JFBJ pada Thn 2013 dulu, dan penilaian angka kredit yang pernah diberikan oleh LKPP waktu itu, tetapi oleh daerah, pembinaan terutama pengangkatan Tim Penilai Angka Kredit itu dengan berbagai cara tidak direspon yang mengakibatkan PFPBJ melakukan kenaikan pangkat itu diluar prosedur kenaikan pangkat JFPBJ itu sendiri, sehingga para PFPBJ itu mendapat hukuman dan mati secara pelan-pelan….Coba dilihat diinventarisir JFPBJ pengangkatan pertama secara inpassing, sudah bagaimana nasibnya? Itu akibat dari lingkungan yang tidak kondusif tidak mendukung

    Reply
    • Avatar

      dikira enak ya jadi fungsional pbj ? kalo udah pernah ngerasain dipanggil oleh pihak yg berwenang baru deh nyesel. teori tidak akan sama dengan praktek.

      Reply
      • Avatar

        Katanya JF PPBJ memang tidak enak om… tapi hebat loh ga enak aja masih dilirik para ASN non JF yaaaa :p

        Reply
    • Avatar

      Siyaaapppp Om Edward… memang yang bikin geregetan itu keseriusan pemangku kebijakan sangat berpengaruh dalam inpassing JF PPBJ seperti yang aku sampaikan di epilog tulisan ini.

      Apalagi dengan mereka mengangkatkan Pokja non JF dan mengkandangkan para JF PPBJ. Semoga LKPP tidak menunda lagi Pasal 88a bagi K/L/PD

      tetap semangat dan SALAM PASAL 88a

      Reply
  10. Avatar

    Emang betul ibu,kayaknya emang jabfung pengadaan dianggap remeh oleh mereka,terutama oleh pajabat struktural lainnya,

    Reply
    • Avatar

      Semoga Pasal 88a segera direalisasikan om… tetap semangat yaaa

      Reply
    • Avatar

      Di tempat saya malah udah 2 tahun terakhir ini honor pbj gak cair bu. Jadi berasa tugas nambah, penghasilan sama aja. 🙃

      Fyi, saya pns yg ditunjuk untuk menjadi Pejabat pengadaan dinas untuk e-PL. Sednagkan untuk tender/lelang tetap diserahkan ke ULP/UKPBJ Pemkab.

      Reply
  11. Avatar

    Luar biasa

    Reply
    • Avatar

      Makasih supportnya om Swandy… 🙂

      Reply
      • Avatar

        Ad persyaratan dari lkpp utk mnjdai pejabat fungsional pbj harus minimal sudah 2 tahun pernah menjabat menjadi ppbj/pjhp sedangkan tidak semua punya dan diberi kepercayaan utk mnjdi ppbj/pjhpp oleh pimpinan disatker shingga saat akan inpasing terkendala oleh praturan trsebut.. Ini kami alami saat ini dikalbar dmn gubernur sampai mengeluarkan surat utk impasing tersebut dikarenkan kebutuhan personil yg saat minim tp dkarenakan kendala minimal 2 tahun bnyk teman2 yg akhirnya tidak jadi mengajukan impasing

        Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post