Apa Kabar Kebijakan Kantong Plastik Berbayar?

by Helena Fatma S. Sitio ◆ Active Writer | Jul 29, 2019 | Birokrasi Berdaya | 2 comments

Di era revolusi industri 4.0, sampah plastik menjadi salah satu permasalahan serius lingkungan hidup yang dihadapi oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Salah satu upaya dalam mengurangi sampah plastik ialah dengan menetapkan kebijakan kantong plastik berbayar, yakni melalui Surat Edaran (SE) Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor S.1230/PSLB 3-PS/2016 tentang Harga dan Mekanisme Penerapan Kantong Plastik Berbayar.

SE tersebut dijalankan untuk memenuhi suatu program yang dinamakan green policy (kebijakan hijau), yakni kebijakan mengenai komitmen keberlanjutan dan manajemen lingkungan hidup.

Memiliki kebijakan hijau secara formal dalam suatu negara adalah sangat penting, karena hal itu menunjukkan adanya perhatian yang sungguh-sungguh oleh pembuat kebijakan dan masyarakat dalam mengelola masalah lingkungan hidup.

Terdapat beberapa negara yang juga sudah melarang atau meminimalisir penggunaan kantong plastik. Denmark, misalnya, negara itu menerapkan pajak untuk kantong kepada usaha ritel sejak tahun 1994. Pada tahun 2003, Denmark memberlakukan pajak khusus bagi pengecer yang menyediakan kantong plastik bagi pembeli.

Di benua Afrika, Afrika Selatan bersama sejumlah negara lainnya seperti Uganda, Somalia, Rwanda, Bostwana, Kenya dan Ethiopia memberlakukan pelarangan penggunaan tas plastik. Afrika Selatan yang paling ketat memberlakukan aturan pelarangan. Sejak 2003, pengusaha ritel modern akan didenda US$13.800 (setara Rp193.200.000) atau hukuman penjara 10 tahun. Sebelumnya penggunaan tas plastik di negara ini mencapai 8 miliar per tahun. Kini setiap pembeli membawa tas sendiri dari rumah masing-masing.

Adapun di Hongkong, kebijakannya dikenal dengan kampanye “No Plastic Bag Day” atau “Hari Tanpa Kantong Plastik” sejak 2006, di mana terdapat 30 usaha ritel besar serta sejumlah LSM yang bergabung secara sukarela untuk mengurangi penggunaan kantong plastik.

Sedangkan di negara tetangga, Singapura mengampanyekan “Bring Your Own Bag” atau “Bawa Kantong Anda Sendiri” sejak April 2007. Sejak itu konsumen harus mengeluarkan ekstra biaya jika ingin menggunakan kantong plastik. Hasil dari kampanye tersebut adalah di hari pertama mampu mengurangi 100.000 penggunaan kantong plastik, terjualnya 200.000 kantong non plastik yang dapat dipakai berulang kali, serta menurunnya konsumsi kantong plastik sampai dengan 60%.

Uji Coba yang Mengesankan

Di Indonesia, pada tanggal 21 Februari 2016, di Hari Peduli Sampah Nasional, kebijakan tersebut mulai diujicobakan pertama kali. Uji coba ditujukan kepada beberapa toko ritel modern di 23 kota/kabupaten.

Awalnya, aturan soal pembatasan penggunaan kantong plastik melalui uji coba kantong plastik berbayar berhasil dijalankan sampai dengan 31 Mei 2016. Selama uji coba, pengelola ritel modern melaporkan pengeluaran kantong plastik kepada KLHK melalui Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) dan hasilnya menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah.

Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi KLHK, terlihat penurunan penggunaan kantong plastik sebesar 25 hingga 30 persen selama masa uji coba tiga bulan pertama. Sesuai hasil survei, sebanyak 87,2% masyarakat menyatakan dukungannya dan 91,6% bersedia membawa kantong belanja sendiri dari rumah.

Karena bentuknya surat edaran, aturan Kantong Plastik Tidak Gratis (KPTG) ini memiliki masa berlaku, yakni selama empat bulan. Aturan itu pernah sekali diperpanjang, yakni pada tanggal 1 Juli 2016 sampai dengan 30 September 2016.

Namun, setelah masa perpanjangan selesai, surat edaran itu tidak diperpanjang lagi. Akhirnya, per 1 Oktober 2016, banyak ritel yang akhirnya kembali menggratiskan kantong plastik.

Sejak saat itu, belum ada lagi aturan induk soal penggunaan kantong plastik. Untungnya, sejumlah pemerintah daerah (Pemda) berinisiatif untuk merumuskan peraturan sendiri, yakni dengan melarang penggunaan kantong plastik di daerahnya.

Beberapa daerah tersebut adalah Kota Banjarmasin, Balikpapan, Bogor dan Denpasar. Sebagai contoh Banjarmasin, daerah berjuluk ‘Kota Seribu Sungai’ ini telah konsisten menerapkan program tersebut dalam upaya mengurangi sampah plastik. Bahkan, melalui Peraturan Walikota (Perwali) Nomor 18 Tahun 2016, kota Banjarmasin berani menerapkan larangan kantong plastik di tiap ritel modern mulai 1 Juni 2016.

Hingga kini hal itu masih berlaku di kota ini. Masyarakat yang ingin berbelanja ke toko-toko modern seperti Hypermart, Martplus, Alfamart, ataupun Indomaret, menjadi terbiasa membawa kantong sendiri sehingga menimbulkan suatu budaya diet kantong plastik di daerahnya.

Sedangkan di beberapa daerah lainnya di Indonesia terlihat masih belum konsisten dalam penerapan pembatasan penggunaan kantong plastik, terutama bagi pengusaha/penjual di pasar-pasar tradisional.

Pertanyaan kritis yang kemudian muncul adalah bagaimana konsistensi peran Pemerintah Indonesia membangun komitmen terhadap keberlanjutan budaya pengurangan kantong plastik di seluruh daerah di Indonesia?

Aturan Hukum yang Bermasalah

Cerita punya cerita, ternyata SE KLHK yang dijelaskan di atas, sempat digugat oleh sejumlah komunitas pengusaha ritel karena dinilai bertentangan dengan Pasal 612 KUHP.

Hal itu dinilai bertentangan, karena SE tersebut memberlakukan plastik sebagai barang yang diperjualbelikan. Sedangkan menurut penggugat, kantong plastik adalah alat dari pihak penjual yang muncul dari pola hubungan hukum jual-beli, bukan bersumber dari pihak pembeli, sehingga seharusnya kantong plasik disediakan tidak berbayar.

Hal itu dianggap mirip dengan pola jual beli dalam KUHP, yakni adanya kewajiban penjual untuk menyerahkan kebendaan secara nyata dan utuh kepada setiap pembeli, seperti layaknya menyerahkan kunci seperti saat jual-beli bangunan.

Selain itu, SE tersebut juga dinilai bertentangan dengan Pasal 1320 KUHPerdata tentang kausa perjanjian yang diperbolehkan/halal/legal, yang mengatakan bahwa proses perikatan jual-beli harus disempurnakan dengan cara-cara yang sah. Pihak penggugat merasa, bahwa kantong plastik adalah benda yang sah yang dapat menyempurnakan proses jual beli di toko ritel.

Beberapa permasalahan tersebut dinilai membebani pengelola ritel modern. Mereka harus memisahkan harga pembelian kantong plastik yang sebelumnya telah disertakan dalam harga produk dan membuat laporan khusus tentang penggunaannya.

Oleh karena itu, hanya beberapa pengelola ritel modern yang berkomitmen dalam penerapan pengurangan kantong plastik. Apalagi dengan belum adanya sanksi yang tegas, menambah kesan bahwa budaya diet kantong plastik hanya sekedar basa basi.

Untuk menjaga keberlanjutan kebijakan pengurangan kantong plastik di Indonesia terkait Surat Edaran itu, maka sebaiknya diperlukan evaluasi kembali aturan hukum atas kebijakan tersebut.

Diperlukan aturan hukum yang lebih jelas dan berkelanjutan dalam rangka penerapan sustainable development yang terintegrasi. Lebih baik lagi, aturan itu kemudian diikuti kembali dengan sosialisasi yang gencar kepada masyarakat luas tentang budaya green policy, terutama terkait diet kantong plastik, baik melalui media massa atau media elektronik.

Epilog

Pada dasarnya, kebijakan kantong plastik berbayar merupakan suatu gagasan untuk mengubah pola perilaku dan meningkatkan kesadaran serta pemahaman bahwa sudah saatnya kita mengurangi penggunaan plastik, sebagai upaya pelestarian lingkungan hidup untuk menuju Indonesia yang ramah lingkungan.

Namun, konsistensi dan peran pemerintah sepertinya perlu dievaluasi lagi. Terutama dalam hal memperkuat peraturan perundang-undangan, penatalaksanaan, kelembagaan, dan pengawasan untuk menjaga keberlanjutan kebijakan tersebut demi mewujudkan efektivitas green policy di Indonesia.

..

1
0

Analis Kebijakan pada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN/RB). Berlatar belakang pendidikan sarjana hukum dari Universitas Lampung, magister hukum dari Universitas Indonesia dan master of public administration dari Western Michigan University, Amerika Serikat.

Helena Fatma S. Sitio ◆ Active Writer

Helena Fatma S. Sitio ◆ Active Writer

Author

Analis Kebijakan pada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN/RB). Berlatar belakang pendidikan sarjana hukum dari Universitas Lampung, magister hukum dari Universitas Indonesia dan master of public administration dari Western Michigan University, Amerika Serikat.

2 Comments

  1. Avatar

    manfaatkan jok motor sebagai pengganti plastik 🙂

    Reply
  2. Avatar

    masih tertinggal dibandingkan Uganda, Somalia, Rwanda, Bostwana, Kenya dan Ethiopia…..rasanya koq gimana gitu ya?

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post