Tiga minggu terakhir ini mungkin adalah tiga minggu yang luar biasa bagi sebagian besar dari kita. Anak-anak yang mendadak tidak bersekolah – mereka senang tentu saja, jajaran tenaga medis dan para pemimpin negeri yang harus bekerja serta berpikir lebih keras, ibu-ibu yang mendadak mengemban tugas tambahan menjadi guru dan ibu kantin, atau sebagian pekerja yang terpaksa harus tetap bekerja meski dalam kecemasan.
Saya juga mendadak merasa menjadi seperti Anne Frank, gadis Yahudi yang rajin menulis diary saat bersembunyi selama dua tahun lebih di belakang rak buku, di gedung tempat ayahnya bekerja saat Perang Dunia ke-II. Kita seperti tercerabut secara bersama-sama dari zona nyaman kehidupan normal kita.
Virus
itu Hadir di Kota Kami, Magetan
Jujur saja, saat awal-awal berita tentang virus Corona ini berhembus, sikap saya sama seperti sebagian besar kita. Apatis dan optimis. Apalagi saya tinggal di sebuah kota kecil di Jawa Timur, yang menurut saya letaknya sudah cukup terpencil – kadang ketika ditanya orang di mana itu Magetan, saya harus menyebutkan nama kota tetangga agar mereka punya gambaran di mana kota saya berada.
Beberapa minggu yang lalu saya masih apatis karena Wuhan, asal muasal wabah ini, terlalu jauh dari Magetan. Saya optimis virus itu tak akan sampai di sini, begitu pikir saya saat itu. Tetapi nyatanya, virus itu sampai juga di Indonesia, sampai juga di Jawa Timur, di Magetan yang terpencil. Hari-hari ini adalah hari-hari yang mencekam bagi warga Magetan, setidaknya saya. Adalah sebuah kebohongan kalau saya tidak merasa cemas dengan kondisi saat ini.
Baru Jumat (20/03) lalu Bapak Bupati Magetan mengumumkan 1
orang positif, lantas pada Sabtu
(21/03) bertambah 2 orang sehingga total menjadi 3 orang yang positif. Pada tanggal 22 Maret 2020 Bupati Magetan menyatakan keadaan darurat.
Sampai tanggal 26 Maret 2020, posisi
orang positif di Magetan sudah membengkak menjadi 9 orang.
Sebulan yang lalu, mana pernah terbayang situasi
akan menjadi seperti
ini. Memang beberapa daerah yang lebih
dulu terjangkit,
utamanya Jakarta dan sekitarnya, telah
memberlakukan kebijakan Working from Home
(WFH) bagi para PNS seperti saya, tapi
Magetan belum.
Seminggu pertama kami masih mengikuti bimbingan teknis khusus internal kantor di kawasan Sarangan. Setelahnya, karena
sedang tidak ada tugas pemeriksaan di luar, kami hanya bekerja di kantor saja
untuk mereviu dokumen. Jalanan di kota
kami masih
lumayan ramai karena hanya dikurangi
lalu lintas anak sekolah.
WFH:
Ibu yang di Rumah tapi Masih Bekerja
Dua minggu belakangan ini, kantor saya telah mulai
memberlakukan WFH – meskipun tidak full,
karena setiap pegawai masih harus masuk kerja 2 hari
dalam seminggu. Percayalah,
bekerja dalam suasana seperti ini, untuk
ibu bekerja seperti saya, rasanya
tak jauh beda dengan saat harus dinas luar kota. Saya harus memastikan stok logistik di rumah
cukup untuk semua anggota keluarga.
Bedanya jelas di masalah psikis. Sedikit banyak ada perasaan was-was yang menghantui meskipun bekerja “cuma” di kantor saja. Bagi saya, bekerja dengan mengenakan masker itu rasanya juga tak nyaman.
Meskipun kemudian
ketidaknyamanan itu sirna ketika terbayang betapa beratnya menjadi tim medis yang berjuang di garda terdepan. Mereka harus bekerja dengan segala atribut
pelindung diri, bukan sekedar masker.
Ironisnya, saat ini atribut
itu semakin
susah didapat.
Kembali pada soal bekerja sembari tetap di rumah (WFH). Beberapa
teman perempuan di kantor mulai mengeluhkan tentang banyaknya tugas sekolah
anak-anak. Bagi ibu bekerja (dan tentunya juga bagi ibu
rumah tangga), tugas tambahan menjadi guru ini agak kurang menyenangkan.
Kasus di
rumah saya sendiri tidak seberat itu. Si Sulung baru duduk di kelas 1 SD,
sejauh ini tugas sekolahnya tuntas dan menurut saya jumlahnya masih masuk
kategori wajar. Belakangan, ustazahnya mengirimkan revisi tugas, karena
menganggap tugas kemarin terlalu berat. Bagi yang tidak merasa keberatan, bisa
tetap lanjut dengan catatan “kerjakan semampunya”. Aih…sungguh
Ustadzah yang pengertian.
Anak-anak bagaimana? Sejauh ini mereka masih aman terkendali. Seminggu pertama masih
bisa jalan pagi dan bermain dengan anak tetangga, masih ikut Taman Pendidikan Alquran (TPA), masih bisa juga shalat jama’ah di masjid
dekat rumah.
Kolam ikan kami yang baru dua bulan kemarin disulap ayah mereka menjadi kolam renang mini, juga menjadi dewa penyelamat di saat seperti ini. Baru saat masuk minggu kedua, kami sebagai orang tua memberlakukan kebijakan yang lebih ketat demi keselamatan bersama.
Setelah Kabar Kesembuhan Menjadi Embun Penyejuk
Memasuki minggu ketiga, Si Kecil mulai rewel. Rupanya dia kangen naik odong-odong dan main mandi bola di alun-alun. Semalam kami terpaksa mengajaknya ke alun-alun meski hanya menumpang lewat, demi menunjukkan padanya kalau alun-alun Magetan sekarang sedang ditutup dan tak ada satu pun pedagang atau tukang mainan yang beroperasi.
Sebenarnya, tanpa ada himbauan social atau physical distancing atau apalah itu, Magetan sudah bisa dimasukkan kategori kota sepi. Sekarang setelah ada pandemi ini, suasana Magetan terutama di malam hari, menjadi jauh lebih sepi lagi.
Alhamdulillah, pada tanggal 3 April 2020 yang lalu Dinas Kesehatan Magetan mengumumkan 8 orang positif COVIS-19 yang dinyatakan sembuh (1 orang telah meninggal dunia sekitar seminggu yang lalu). Di tengah gempuran berita-berita negatif tentang Corona, kabar seperti ini ibarat embun penyejuk.
Hanya saja, saya kok jadi khawatir ketika membaca status teman kemarin bahwa Pasar Sayur Magetan sudah kembali ramai. Ada juga video ketika warga bergerombol memadati rumah pasien yang pulang karena dinyatakan sembuh. Apa kita tidak terlalu cepat menyimpulkan keadaan sudah aman?
Kasus kita sekarang jelas berbeda dengan kasus Anne Frank, di mana musuhnya jelas yaitu NAZI. Sementara yang kita hadapi sekarang ini bukan lagi organisasi yang memiliki pasukan dan aktivitas kasat mata, melainkan makhluk yang tak bisa dilihat dengan mata telanjang. Terlebih, Pak Jubir Achmad Yurianto juga sudah mengingatkan bahwa ancaman terbesar penyebaran virus ini adalah melalui orang tanpa gejala (OTG).
“Duh
Mbak, santuy dikitlah… mbok ya positive thinking… pasti
kamu mau ngomong gitu kan?” Nggak
apa-apa, sekalian tolong bilangin juga ke Pak Anies Baswedan dan Kang Emil untuk berpikir positif.
Menjaga Keseimbangan Rasa Harap dan Takut
Islam mengajarkan segala sesuatu harus seimbang, termasuk rasa harap dan takut. Jangan karena kita terlalu optimis, terlalu positive thinking, kita jadi terlalu santai dan serba menggampangkan keadaan. Begitu pula sebaliknya, jangan karena kita terlalu takut, kita jadi stres dan mudah panik.
Intinya sama, semua yang serba terlalu itu tidak baik. Sebenarnya, meski keadaan di dunia nyata (terkesan) tidak terlalu mengkhawatirkan, saya jauh lebih pusing ketika membaca berita-berita yang beredar saat ini.
Kebijakan pemerintah yang kata orang Jawa “isuk dele, sore tempe“, pernyataan pejabat A yang diralat pejabat B, birokrasi yang tak berkurang keruwetannya meski dalam kondisi darurat, serta data yang menurut saya “embuh” alias sangat diragukan tingkat kevalidannya.
Maaf teman, saya harus mengatakan, saat ini kita belum berada
dalam kondisi baik-baik saja. Pergerakan kurva yang melandai, berita kesembuhan
para pasien, dan berubahnya status zona dari merah menjadi kuning atau hijau
atau warna apapun jangan dulu melenakan kita. Optimis harus, semangat wajib,
tapi jangan sampai membuat kita kehilangan kewaspadaan. Fake positivity lebih berbahaya daripada real negativity.
Pesan Penutup
Hai teman, saya paham kita sudah mulai bosan #dirumahaja, sudah mulai bosan pake daster melulu, sudah kangen menghirup aroma roti dan crepes di Mall, sudah kangen ingin sungkem kepada mertua. Akan tetapi, mari bersabar lagi untuk entah beberapa pekan ke depan.
Tahan diri untuk tak keluar rumah kecuali untuk keperluan penting. Tahan diri untuk tidak mudik (patuhi fatwa MUI saja jika masih bingung dengan keputusan pemerintah. Kalaupun harus mudik, bersiaplah dikarantina).
Jika terpaksa keluar rumah, kita harus ekstra berhati-hati dan mematuhi protokol keselamatan. Yang terpenting, jangan lupa banyak-banyak berdoa, untuk diri dan keluarga kita, untuk para pemimpin kita, untuk rekan-rekan yang berjuang dalam penanganan pandemi ini, untuk para pejuang nafkah, untuk bangsa ini, dan untuk siapapun umat manusia.
Semoga pandemi ini segera berakhir. Aamiin.
Berdinas di Inspektorat Kabupaten Magetan, Provinsi Jawa Timur. Penulis adalah ibu dari seorang putra dan seorang putri yang senang menulis sejak kuliah di STT Telkom Bandung.
Tulisan yang sangat menarik, menjadi renungan bagi kita yang tetap Stay at home, kalau pun tetap bekerja untuk perhatikan keselamatan sesuai dengan protokol yang telah disosialisasikan dengan bermasker ria di jalan, sering mencuci tangan dengan sabun dan air. Kegalauan atas rasa cemas dan takut patut dimaklumi, apalagi berita di medsos menunjukkan terjadi peningkatan yang semakin signifikan. Seharusnya membuat kita semakin berhat-hati namun diharapkan juga kita untuk terlalu panik asal selalu waspada.