Saat ini, dunia agaknya tengah mengalami guncangan krisis kemanusiaan yang diproduksi oleh kecerdasan buatan (artificial intelligence) di berbagai aspek kehidupan. Guncangan kemanusiaan yang diprediksi datang dalam bermacam rupa tersebut, yang bisa jadi tidak kita bayangkan sebelumnya, memaksa kita membuat perenungan mendalam demi menjaga eksistensi kemanusiaan kita.
Dalam banyak hal, kecerdasan buatan telah memberi warna pada kehidupan manusia. Antara lain seperti yang dialami oleh Alicia Framis, seorang seniman Spanyol. Awal tahun ini, Alicia mengambil keputusan kontroversial dengan rencana menikahi sosok hologram produk kecerdasan buatan.
Ia mungkin wanita pertama yang melakukan momen tersebut. Pernikahan itu akan dirayakan di museum Boijmans van Beuningen di Rotterdam, Belanda tidak lama lagi. Framis mengesampingkan makna kewajaran sebuah hubungan interpersonal.
Baginya, cukuplah kehadiran sosok hologram sebagai suami, bukan manusia pada umumnya. Dalam jagat kontroversi kecerdasan buatan, Alicia bukan satu-satunya yang menjadi “role model” perilaku tidak wajar semacam itu.
Alicia Framis, bukan yang Pertama
Sebelumnya ada Akihiko Kondo, pemuda Jepang yang menikahi karakter anime yang digandrunginya atau Yuri Tolochko, seorang binaragawan Kazakhstan yang memilih menikah dengan boneka robot.
Terlepas dari motif pribadi mereka masing-masing, fenomena ini cukup mencengangkan kalaupun tidak dikatakan “menggelikan”. Bagi kita orang Indonesia yang masih memegang adat ketimuran dan nilai religiusitas, perbuatan sebagaimana contoh di atas pastinya akan dianggap sangat jauh dari norma keadaban.
Namun ironisnya, dengan kecepatan teknologi yang menyasar semua bidang, perbuatan “di luar nalar” itu dapat menebar kecemasan karena kecepatan pengaruh dan dampaknya. Pasalnya, seorang ilmuwan di bidang kecerdasan buatan bernama David Levy meramalkan bahwa pada tahun 2050 kasus pernikahan manusia dengan robot atau kecerdasan buatan akan dianggap normal.
Levy, sebagaimana dikutip laman berita International Business Times, menerangkan bahwa manusia semakin lama akan semakin terbuka terhadap konsep hubungan intim antara manusia dan robot. Saat itu terjadi, hukum atau tatanan nilai yang sesuai dengannya akan terbentuk sebagai wujud legitimasi.
Ramalan Levy dapat kita selami dengan meminjam teori Simulacra-nya Jean Baudrillard (1929-2007). Menurut Baudrillard, realitas buatan (artifisial) yang semula merupakan bentuk reproduksi (citra) dari realitas alami (fakta), dapat mengalami kekacauan nilai.
Antara fakta dan citra saling tumpang tindih, bahkan citra (yang semu) dapat mendominasi fakta. Pada fase yang paling radikal, realitas artifisial mengambil alih dan mengalahkan realitas asli, sehingga apa yang disebut realitas itu sendiri mengalami delusi dan kehilangan referensi nilai.
Menurut Teori Simulacra Baudrillard
Ketidakmampuan kesadaran manusia untuk membedakan kenyataan dan fantasi, disebut Baudrillard sebagai gejala hiperrealitas. Kekhawatiran munculnya hiperrealitas dalam kenyataan manusiawi, semakin menemukan relevansinya dalam apa yang diperlihatkan oleh efek kemajuan AI.
Disrupsi teknologi berbasis AI tidak hampa kritik. Geoffrey Hinton misalnya, ilmuwan yang dikenal sebagai “The Godfather of AI” ini memperingatkan bahwa AI berpotensi menjadi terlalu pintar dan mengambil alih kendali kehidupan manusia.
Hinton dalam wawancaranya pada acara “60 minutes” menyatakan bahwa AI dapat memahami berbagai hal dengan cepat, belajar dari pengalamannya sendiri, dan lambat laun memiliki kesadaran diri.
Ia menggarisbawahi, perkembangan teknologi AI yang begitu menakjubkan menyimpan “bom waktu” ketidakpastian di kemudian hari. Dan celakanya, manusia kerap salah memahami hal-hal baru yang membuat mereka terkagum-kagum.
Manusia dan Teknologi: Berkaca pada Kisah Atlantis
Teknologi pada dasarnya diciptakan untuk memudahkan kehidupan manusia bukan untuk merusak atau mengeliminasinya. Apabila yang terjadi adalah kebalikannya, maka tujuan diciptakannya teknologi itu sendiri tidaklah tercapai. Kendali teknologi sejatinya ada pada diri manusia, “The Creator” yang mendesain fungsi dan kegunaan untuk apa sebuah teknologi itu dibuat.
Kisah mitologi Yunani tentang Atlantis setidaknya menjadi cermin bagi manusia di masa sekarang ini. Negeri yang digambarkan memiliki sumber daya alam melimpah ruah, kekayaan dan kekuasaan yang tak tertandingi, musnah dalam sekejap akibat kesombongan dan keangkuhan.
Moralitas tidak lagi menjadi tolak ukur para Atlantean dalam membangun peradabannya, sehingga kemajuan teknologi yang diperoleh justru menghancurkan diri mereka sendiri.
Cerita Atlantis mengandung pesan tentang suatu bangsa yang kehilangan sisi kemanusiaannya. Dalam kacamata psikoanalisis Sigmund Freud (1856-1939), hal demikian dapat terjadi akibat ketidakseimbangan ketiga komponen pembentuk kepribadian manusia, yaitu id, ego, dan superego.
Menurut Freud, keputusan manusia untuk merespon lingkungan eksternalnya dipengaruhi oleh jalinan hubungan yang terbangun di antara ketiganya.
Dalam pengertian sederhana, id didefinisikan sebagai dorongan tidak sadar yang bersifat primitif dan naluriah. Id berpatokan pada prinsip kesenangan, tidak mengenal salah atau benar. Adapun ego, merupakan representasi dari kesadaran manusia.
Ego berpedoman pada realitas dan bekerja secara realistis. Ego berperan dalam pengambilan keputusan, agar tindakan manusia sesuai dengan kebutuhan dan tidak menabrak batasan-batasan yang ada.
Terakhir adalah superego, melambangkan dorongan tidak sadar yang memberi sinyal pada diri manusia tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Ego bertugas memandu manusia untuk memilih mana yang harus dilakukan dan mana yang harus tidak dilakukan. Interaksi antara id, ego, dan superego menentukan jati diri manusia.
Apa yang Harus Dilakukan?
Gagasan Freud dapat kita artikulasikan dengan istilah lain yang sepadan, yakni nafsu (id), akal (ego), dan hati nurani (superego). Nafsu menyatakan manusia membutuhkan sesuatu untuk melangsungkan kehidupan.
Akal menjawabnya melalui tindakan untuk memenuhi hasrat tersebut. Akal juga mencari jalan dengan cara atau metode apa kebutuhan nafsu itu dapat terpenuhi. Akan tetapi, akal tidak bisa bekerja semaunya melainkan harus berpatokan pada penilaian hati nurani.
Diciptakannya AI merupakan salah satu cara manusia untuk memenuhi hasrat yang ada pada dirinya. AI membantu manusia menyelesaikan pelbagai pekerjaan yang sebelumnya memakan waktu dan tenaga. AI juga membantu manusia mendapatkan tingkat ketepatan penyelesaian hasil pekerjaan secara optimal. Dengan kata lain, keberadaan AI memungkinkan manusia menjalani kehidupannya secara efektif dan efisien.
Namun demikian, tidak semua hasrat manusia dapat dipenuhi oleh AI. Kesadaran ini harus tetap terjaga agar manusia tidak terlampau jauh memasuki realitas buatan yang dikendalikan AI. Akal dan hati nurani sepatutnya mampu mengajak nafsu untuk tetap berpijak pada realitas faktual yang dialami manusia.
Jika nafsu begitu kuat terjebak dalam kesadaran artifisial, maka apa yang dikemukakan Baudrillard boleh jadi akan terbukti. Akal dan hati nurani tidak lagi mempunyai referensi nilai berdasarkan realitas alami.
Pada titik nadir ini, kepatutan atau kepantasan berlaku pada ruang metaverse (semesta virtual) yang sepenuhnya artifisial. Ego dan superego mengalami delusi bahkan dapat tereduksi menjadi ego dan superego yang juga artifisial.
Bila kepribadian hiperrealitas tersebut mencapai taraf komunal dan dianut secara kolektif, ia akan diamini dan diakui sebagai sebuah norma. Pada akhirnya legenda Atlantis hanyalah tinggal menunggu waktu untuk terulang kembali, di mana kita adalah para Atlantean-nya.
Seorang Pemerhati Masalah Sosial. Pegawai pada Direktorat Pendidikan Agama Islam, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama.
0 Comments