Prolog
Di negara berkembang, termasuk Indonesia, korupsi masih menjadi sebuah permasalahan utama. Menurut sebuah riset, korupsi berada di peringkat kedua daftar permasalahan penting negara berkembang setelah kriminalitas jalanan.
Tidak bisa dipungkiri, korupsi memberikan andil dalam pertumbuhan ekonomi yang tidak optimal, tidak meratanya distribusi, buruknya institusi pemerintahan, dan tidak berjalannya kebijakan ekonomi (Transparency International, 2014).
Karena sifatnya yang sistemik, langkah pencegahan menjadi kebijakan yang paling penting dalam pemberantasan korupsi. Di beberapa negara, seperti Jepang dan China, program pencegahan korupsi dilaksanakan dengan berbagai cara.
Di Jepang, pencegahan korupsi ditanamkan melalui pendidikan karakter yang diajarkan di sekolah. Pendidikan karakter ini ditanamkan melalui pelajaran “seikatsuka” (pelaksanaan kehidupan sehari-hari).
Erliana menyatakan siswa Jepang diajarkan di dalam kelas untuk mempraktikan langsung tata tertib dalam masyarakat, mulai dari tata cara menyeberang jalan hingga hal-hal baik yang harus dilaksanakan. Dengan metode ini, generasi muda di Jepang dapat memahami nilai-nilai masyarakat dan terbiasa untuk mematuhi tata-tertib yang ada sejak usia dini.
Di China, pencegahan korupsi dilaksanakan melalui penanaman hidup sederhana sejak dini di dunia pendidikan hingga pemberian hukuman sosial berupa pemajangan wajah koruptor di berbagai pameran korupsi.
Bagaimana dengan Indonesia? Adapun di Indonesia, saya melihat ada dua pendekatan pencegahan yang sedang digunakan, yaitu norma sosial dan agama. Saya akan menguraikan lebih lanjut kedua pendekatan ini.
Pendekatan Norma Sosial dan Agama
Pendekatan norma sosial memandang korupsi merupakan tindakan yang keliru dan dapat menimbulkan dampak yang buruk terhadap sesama manusia, baik secara individu maupun masyarakat. Karenanya, tindakan korupsi harus dihindari karena melanggar norma sosial.
Sementara itu, pendekatan agama memandang tindakan korupsi merupakan hal yang dilarang oleh agama dan dapat menimbulkan dosa besar. Karenanya, korupsi mutlak harus dihindari karena menyalahi larangan agama.
Dalam laporan tahun 2016, KPK telah melakukan pencegahan korupsi melalui beberapa program. Di antaranya, pembangunan karakter, perbaikan sistem, pendidikan antikorupsi, partisipasi publik, hingga penguatan tata kelola.
Sayangnya, strategi pencegahan korupsi yang dijalankan oleh KPK cenderung masih menggunakan pendekatan norma sosial ketimbang pendekatan agama.
Sebagai contoh, pendidikan antikorupsi yang dilaksanakan oleh KPK fokus pada bagaimana dapat menimbulkan budaya antikorupsi melalui penanaman nilai-nilai dasar, seperti kejujuran, kepedulian, disiplin, mandiri, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, berani, dan adil.
Program antikorupsi KPK yang menggunakan pendekatan agama hanya satu, yaitu “Program Pencegahan Korupsi dengan Nadhlatul Ulama”. Program ini menyangkut pengidentifikasian dan penyelarasan nilai-nilai antikorupsi dengan nilai-nilai agama melalui tokoh kunci NU, seperti Kyai Haji Mustofa Bisri (Gus Mus), Kyai Haji Maimoen, Zubair (Mbah Moen), dan KH. Mahfud Ridwan.
Hasil penyelarasan tersebut kemudian disebarkan kepada tokoh-tokoh (kyai) lainnya di wilayah Jawa. Pelaksanaan program ini selanjutnya diimplementasikan melalui khotbah Jumat antikorupsi, istighosah antikorupsi, maupun capacity building materi antikorupsi kepada organisasi-organisasi di bawah naungan NU.
Hal yang sama juga terjadi dalam spektrum teknis di pemerintahan. Penanaman tindakan antikorupsi yang berjalan selama ini lebih banyak menggunakan pendekatan norma sosial dibandingkan agama.
Hal itu dapat kita lihat, misalnya, dalam materi buku bahan ajar Prajabatan CPNS, yaitu Anti Korupsi Diklat Prajabatan 2016. Dalam materi tersebut, pemahaman antikorupsi dipandang sebagai sesuatu yang merugikan masyarakat dan negara dan kurang dilihat dari sisi pendekatan agama.
Efektivitas Pendekatan Agama
Penanaman perilaku antikorupsi melalui pendekatan agama tidak terlepas dari pengertian agama itu sendiri. Menurut Michel Meyer, agama adalah sekumpulan kepercayaan dan pengajaran-pengajaran yang mengarahkan tingkah laku kita terhadap Tuhan, terhadap sesama manusia, dan terhadap diri kita sendiri.
Menurut teori strukturalisme Claude Levi Strauss, masyarakat dapat dilihat sebagai totalitas yang diikat oleh hubungan sosial dan dikuatkan oleh adanya keterikatan moral yang didasari oleh agama. Secara mitos maupun magis, agama merupakan kerangka bertindak bagi individu dan masyarakat.
Hubungan antara agama dengan pencegahan antikorupsi sendiri tercemin dari tulisan Douglas Beets yang menyatakan bahwa kepercayaan seseorang terhadap agama dapat menghindarkan seseorang dari tindakan korupsi.
Alasan yang dikemukakannya adalah tindakan korupsi merupakan perbuatan tidak jujur, sama dengan mencuri. Ia sebuah tindakan ilegal, bahkan penganiayaan terhadap sesama.
Hubungan antara pengaruh agama terhadap tindakan antikorupsi sudah pernah diteliti oleh Heather Marquete. Penelitian ini mengambil kasus di India dan Nigeria. Anehnya, penelitian dari dua negara tersebut menghasilkan dua simpulan yang berbeda.
Penelitian di India menyimpulkan bahwa tindakan antikorupsi tidak terkait dengan agama karena korupsi menyangkut permasalahan aksi kolektif. Sementara itu, penelitian di Nigeria menyimpulkan apabila seseorang menjadi lebih religius, maka tidak akan ada tindakan korupsi.
Bagaimana dengan fenomena yang terjadi di Indonesia? Saat ini belum ada yang secara serius menelitinya. Padahal, menurut sebuah survei, Indonesia merupakan salah satu negara paling religius di dunia dengan menempati urutan ketiga dari empat puluh negara.
Hal itu menggambarkan bahwa kondisi sosial serta masyarakat Indonesia sangat dekat dengan agama. Pertanyaan menariknya lagi, apakah memang gegap gempita nuansa masyarakat Indonesia yang dikenal religius ini condong kepada simbolisasi semata? Hal ini mengingat tindakan korupsi di Indonesia tak kunjung juga berkurang.
Kajian lebih lanjut memang diperlukan untuk menilai sejauh mana agama masih menjadi struktur penting individu dan masyarakat Indonesia dalam pencegahan korupsi.
Epilog
Akankah terdapat anomali hubungan antara agama dan pencegahan korupsi di Indonesia? Apakah anomali ini sebenarnya sudah lama dipahami oleh para pembuat kebijakan pemberantasan korupsi?
Berbagai pertanyaan reflektif tersebut memang belum mampu saya jawab. Sebab, hal ini memerlukan kajian mendalam. Namun, setidaknya, saya melihat untuk mencegah tindakan korupsi kita memerlukan pendekatan alternatif yang sesuai dengan konteks sebuah bangsa.
***
Pegawai di DJP yang percaya setiap ruang adalah sekolah, setiap orang adalah murid, dan Tuhan sebagai guru.
0 Comments