Pernah suatu hari, di masa sekolah, periode di mana saya masih harus membuktikan diri di setiap kesempatan, seorang guru memberi nasihat: “Alon-alon waton kelakon”.
Salah satu hal yang mengena dalam batin saya saat itu bukan karena guru saya adalah orang Manado (saya sempat bersekolah di Manado selama satu tahun), namun betapa relevannya pepatah Jawa tersebut dalam situasi saya.
Melihat ke belakang, saya menyadari betapa tidak terhitungnya target-target yang seharusnya dapat dicapai tidak dengan terburu-buru, namun dengan ketenangan, dan perlahan. Perlahan, yang penting rencana tereksekusi, kurang lebih begitulah pepatah Jawa tersebut jika diterjemahkan dalam bahasa korporat.
Hal Yang Terlupakan
Namun, di era saat ini, pepatah tersebut tampaknya jarang diterapkan, terutama di dunia kerja yang serba cepat dan dinamis ini. Maka timbul pertanyaan, jika pada akhirnya target tercapai, apa bedanya dilakukan dengan perlahan atau dengan cepat?
Secara teori, tentu kita akan memilih untuk mengeksekusi segala rencana kita dengan cepat. Namun berdasarkan pengalaman, unsur manusia hampir selalu dikesampingkan atau dianggap “ceteris paribus“, diasumsikan sama.
Tentu saja, segala drama, kepanikan, lembur, begadang demi menyelesaikan laporan dan pertanggungjawaban di akhir tahun muncul karena unsur manusia, unsur paling esensial dalam eksekusi rencana (atau rencana yang tidak direncanakan), tidak bisa diasumsikan setara.
Sebelum kita beranjak mengadopsi metodologi lincah seperti agile, mungkin ada baiknya kita melihat sebelum melompat – mengenali bahwa “alon-alon waton kelakon” bisa memiliki tempatnya dalam dunia kerja modern.
Ada baiknya pula, sebelum melanjutkan diskusi seputar agile methodology, kita lakukan penyamaan persepsi terlebih dahulu.
Bukan rahasia pula jika salah satu cara favorit sebagian besar orang untuk menyamakan persepsi adalah dengan merujuk kepada definisi. Oleh karena itu, mari kita jelaskan dulu apa yang dimaksud dengan metodologi agile.
Penjelasan Singkat Metodologi Agile
Metodologi agile adalah sebuah pendekatan dalam pengembangan perangkat lunak yang menekankan pada adaptasi cepat terhadap perubahan, kolaborasi antara tim pengembang dan pemangku kepentingan, serta penyerahan hasil kerja yang berkelanjutan dan berkualitas tinggi.
Agile bukanlah suatu metodologi yang kaku, namun lebih kepada sekelompok prinsip dan nilai-nilai yang membimbing proses kerja, sebagaimana diuraikan dalam “Agile Manifesto”.
Manifesto Agile, yang ditulis pada tahun 2001, mencakup empat nilai utama:
- Individu dan interaksi lebih penting daripada proses dan alat.
- Perangkat lunak yang berfungsi lebih penting daripada dokumentasi yang komprehensif.
- Kolaborasi dengan pelanggan lebih penting daripada negosiasi kontrak.
- Respons terhadap perubahan lebih penting daripada mengikuti rencana.
Dalam kerangka kerja agile, sebuah proyek dipecah menjadi bagian-bagian kecil yang disebut “sprint“.
Setiap sprint biasanya berlangsung selama dua sampai empat minggu, dengan tujuan untuk menghasilkan bagian/komponen dari perangkat lunak yang dapat digunakan (yang umum disebut “Minimum Viable Product” atau MVP).
Popularitas metodologi agile semakin meningkat dalam beberapa dekade terakhir, terutama dalam industri pengembangan perangkat lunak. Berikut ini beberapa alasan dan manfaat umum dari penggunaan agile:
- Responsif terhadap perubahan
Dalam lingkungan bisnis yang cepat dan dinamis, kebutuhan dan permintaan dapat berubah secara drastis dalam waktu singkat. Metodologi agile memungkinkan tim untuk beradaptasi dengan perubahan tersebut dengan lebih cepat dan efisien.
- Penyerahan hasil kerja secara berkelanjutan
Agile memungkinkan tim untuk memberikan hasil kerja atau “deliverables” secara berkelanjutan dalam interval waktu yang pendek. Ini berarti pemangku kepentingan dapat melihat kemajuan proyek secara lebih cepat dan memberikan masukan yang berharga untuk memperbaiki kualitas hasil kerja.
- Fokus pada nilai pelanggan
Agile menekankan pentingnya memahami dan memenuhi kebutuhan pelanggan. Ini berarti tim lebih fokus pada penciptaan nilai yang nyata bagi pelanggan, daripada hanya mengejar target dan deadline.
Atau setidaknya, begitulah definisi dan peran metodologi agile dalam konteks pengembangan perangkat lunak, di mana adaptasi terhadap perkembangan kebutuhan pengguna diharapkan semakin cepat dan responsif.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, agile mulai diterapkan tidak hanya terbatas pada dunia pengembangan perangkat lunak. Metodologi ini semakin sering diadopsi dalam berbagai sektor lain, termasuk sektor publik, seperti dalam manajemen proyek, layanan pelanggan, dan bahkan audit.
Tetapi, pertanyaan penting kemudian muncul: “Apakah manfaat yang ditawarkan agile dalam pengembangan perangkat lunak dapat ditransfer ke aspek-aspek lain ini? Bagaimana jika pendekatan lincah ini malah membawa biaya dan hambatan tersembunyi yang belum kita sadari?”
Diskusi: Hidden Cost dan Hambatan dari Metodologi Agile
Mungkin sejauh ini pembaca sudah bertanya-tanya, “Jadi, apakah penulis sendiri sudah mengadopsi metodologi lincah?” Jawabannya adalah ya!
Meskipun demikian, sebagai seorang pengembang software di instansi tempat saya bekerja, penerapan metodologi agile seringkali menimbulkan kesan “hit-and-miss“.
Terkadang, muncul perasaan bahwa penerapan agile saat ini tak ubahnya seperti melepaskan burung di tangan untuk menangkap burung di semak-semak. Kami meninggalkan praktik yang sudah teruji untuk menerapkan pendekatan baru yang tampak lebih menarik dan “menjanjikan”.
Jadi, apa saja pengorbanan yang terjadi dalam proses implementasi agile? Berdasarkan pengalaman saya, berikut beberapa di antaranya:
- Peningkatan waktu dan usaha bagi manajemen
Implementasi agile memerlukan peran aktif manajer dalam memimpin dan mengoordinasikan tim. Tantangan ini menjadi lebih besar dalam sektor publik, di mana peran manajemen menengah tidak selalu memungkinkan keterlibatan langsung dan terus-menerus dalam setiap sprint.
- Perlunya keterlibatan intensif dari stakeholder
Agile memerlukan partisipasi aktif dari stakeholder atau pemangku kepentingan. Jika mereka tidak dapat atau tidak mau terlibat sepanjang waktu, implementasi agile menjadi sulit.
- Masalah scope creep (Perubahan Lingkup) dan over-commitment
Dalam penerapan agile, ada risiko tim menerima pekerjaan yang berlebihan atau mengubah ruang lingkup proyek terlalu sering. Hal ini dapat menimbulkan stres pada tim dan menurunkan kualitas kerja.
- Kesulitan dalam memprediksi penyelesaian proyek
Sifat adaptif dan iteratif agile membuat prediksi penyelesaian proyek menjadi sulit. Sehingga, muncul anggapan tentang adanya “proyek abadi”, di mana tak seorang pun di dalam tim dapat menentukan secara pasti kapan proyek itu akan selesai, terutama saat terjadi perubahan struktur tim.
- Ketergantungan pada keterampilan dan pengalaman individu
Metodologi agile sangat bergantung pada keterampilan dan pengalaman individu dalam tim. Jika anggota tim tidak memiliki keahlian yang cukup, progres proyek dapat terhambat.
Oleh karena itu, diperlukan penyesuaian antara durasi sprint, beban kerja, dan personel yang tersedia. Sayangnya, penyesuaian ini juga membutuhkan waktu, yang seringkali tidak tersedia.
Hidden Cost di Luar Lingkup Pengembangan Sistem
Setelah ini, pertanyaan yang mungkin muncul adalah, “Bagaimana jika metodologi agile diterapkan di luar lingkup pengembangan perangkat lunak, seperti di bidang audit?”
Jika jawaban Anda adalah, “Lebih parah!”, Anda tidak sepenuhnya salah. Namun, perlu ditekankan bahwa pengembangan perangkat lunak memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan bidang lain.
Oleh karena itu, wajar jika biaya tersembunyi atau ‘hidden cost‘ yang ditimbulkan juga berbeda.
Jika organisasi Anda berniat menerapkan “agile consulting”, “agile coaching clinic”, “agile census”, atau seperti di tempat saya bekerja, “agile auditing”, berikut adalah beberapa biaya tersembunyi yang mungkin muncul:
- Salah paham dan penyalahgunaan agile
Banyak organisasi yang menerapkan agile tanpa pemahaman yang cukup, yang berpotensi mengakibatkan penyalahgunaan dan kegagalan dalam implementasinya.
Salah satu miskonsepsi yang sering muncul adalah, agile seringkali dipahami sebagai “dokumentasi nanti, yang penting produk jadi”.
Hal ini tentu saja bertentangan dengan esensi ‘assurance‘ dalam audit itu sendiri, di mana salah satunya adalah asersi bahwa pelaporan didukung oleh dokumentasi yang memadai.
- Penekanan berlebihan pada kecepatan dengan mengorbankan kualitas
Ada risiko bahwa penekanan pada kecepatan dan efisiensi dalam agile dapat menurunkan kualitas, terutama jika tim merasa terburu-buru. Jika agile diterapkan hanya untuk menciptakan kesan “cepat dan gesit”, tanpa fokus pada peningkatan kualitas, hasilnya bisa menimbulkan demoralisasi, bukan manfaat sebenarnya dari agile.
- Tantangan dalam mengaplikasikan agile di organisasi besar
Agile di organisasi besar bisa menjadi tantangan, karena memerlukan koordinasi antara berbagai tim dan departemen. Seringkali, ada anggapan “kami versus mereka”, atau adanya kekhawatiran tentang menjaga kepentingan masing-masing departemen. Hal ini tentu membuat penerapan agile menjadi kontraproduktif.
- Risiko mengabaikan perencanaan strategis jangka panjang
Fokus pada tugas jangka pendek dalam agile dapat mengakibatkan pengabaian perencanaan strategis jangka panjang, yang penting untuk keberhasilan organisasi. Ini bisa terjadi karena penekanan yang berlebihan pada iterasi produk, sehingga pandangan lebih luas mengenai strategi terkadang menjadi kabur.
Kesimpulan: Alon-alon Waton Kelakon!
Seperti peribahasa Jawa yang telah disebutkan sebelumnya, “Alon alon waton kelakon” – perlahan yang penting jadi mungkin adalah cara yang efektif untuk mencapai tujuan.
Memahami bahwa setiap metodologi memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri, serta menyadari bahwa apa yang berhasil di satu tempat mungkin tidak berhasil di tempat lain, adalah langkah pertama menuju sukses. Metodologi agile, dengan semua manfaatnya, tidak selalu menjadi solusi terbaik di setiap situasi. Perlu adanya penyesuaian dan modifikasi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan spesifik setiap organisasi.
Dalam konteks implementasi agile di luar pengembangan perangkat lunak, tantangan dan biaya tersembunyi tersebut mungkin bahkan lebih kompleks.
Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan secara matang apakah agile benar-benar cocok dan dapat memberikan manfaat bagi organisasi Anda.
Pada akhirnya, yang terpenting adalah selalu berfokus pada tujuan utama – yaitu menciptakan nilai bagi stakeholder. Apapun metodologinya, agile ataupun bukan, jika dapat membantu kita mencapai tujuan tersebut, maka itulah yang seharusnya kita gunakan.
Terima kasih telah meluangkan waktu membaca artikel ini. Semoga pemikiran ini bisa memberi wawasan baru tentang metodologi agile dan membantu Anda dalam merencanakan atau mempertimbangkan implementasinya. Ingatlah bahwa setiap perjalanan dimulai dengan satu langkah kecil. Jadi, mari saling mengingatkan untuk “Alon alon waton kelakon“!
Auditor di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sejak 2012. Selama lima tahun terakhir, ia telah mencoba peruntungan dalam pengembangan perangkat lunak, menjelajahi teknologi, metodologi, dan alur kerja baru untuk mengatasi tantangan yang ada dan yang baru muncul di tempat kerjanya. Dengan minat yang kuat dalam pemecahan masalah, Septian selalu bersemangat untuk belajar dan menerapkan solusi inovatif dalam kehidupan pribadi dan profesionalnya.
0 Comments