Alat Kontrasepsi bagi Usia Sekolah dan Remaja: Ayat Kontroversi dalam Peraturan Pemerintah

by Nugroho Kuncoro Yudho ◆ Active Writer | Aug 9, 2024 | Birokrasi Melayani | 3 comments

Beberapa waktu terakhir, semenjak disahkan dan diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, muncul berbagai reaksi.

Jagat maya terutama media sosial dan media online
dihebohkan dengan pasal yang mengatur tentang penyediaan alat kontrasepsi
bagi anak usia sekolah dan remaja.
Berbagai reaksi mulai dari dukungan hingga kecaman dari berbagai kalangan,
mewarnai dunia maya.

Pasal 103 ayat (1) peraturan tersebut menyebutkan bahwa upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja paling sedikit berupa pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi, serta pelayanan kesehatan reproduksi.

Ayat (3) pasal tersebut menyatakan bahwa pelayanan kesehatan reproduksi paling sedikit meliputi deteksi dini penyakit atau skrining, pengobatan, rehabilitasi, konseling dan penyediaan alat kontrasepsi.

Tiga kata terakhir tersebut, yakni “penyediaan alat kontrasepsi” memantik reaksi masyarakat, karena ayat tersebut berkait erat dengan anak usia sekolah dan remaja.

Keterkaitan ayat tersebut, seakan-akan melegalkan pergaulan bebas di kalangan anak usia sekolah dan remaja, sementara di sisi lain pemerintah ingin meningkatkan kesehatan reproduksi. 

Berbeda dengan Pasal 104 ayat (3) poin 3 menyatakan bahwa salah satu pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) – pelayanan kesehatan reproduksi pada upaya kesehatan sistem reproduksi dewasa paling sedikit berupa (salah satunya) penyediaan alat kontrasepsi bagi pasangan usia subur dan kelompok yang berisiko.

Perbedaan bunyi ayat tersebut menimbulkan tafsir di masyarakat bahwa anak usia sekolah dan remaja (notabene di dalamnya anak sekolah) dipersilakan melakukan pergaulan bebas, asal menggunakan alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan dan penyakit menular seksual.

Argumen Pendukung

Munculnya pro dan kontra terkait pasal tersebut tentunya tidak lepas dari adanya pihak-pihak yang mendukung terbitnya peraturan tersebut, termasuk di dalamnya adanya pasal terkait dengan penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja.

Argumen yang mendukung menyatakan bahwa hal tersebut sebagai upaya pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan pada remaja, yang dapat berdampak negatif terhadap kesehatan fisik dan mental remaja, serta masa depan mereka.

Di sisi lain, dukungan terhadap pasal ini sebagai upaya pencegahan penyakit menular seksual yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu, terutama HIV/AIDS. Para pendukung juga berargumen bahwa remaja memiliki hak untuk mengakses informasi dan alat kontrasepsi dalam menjaga kesehatan reproduksi mereka.

Mereka juga berpandangan akan meningkatkan kesehatan reproduksi remaja, jika dijalankan dengan baik, karena mengurangi angka kehamilan yang tidak diinginkan dan penyakit menular seksual.

Argumen Penentang

Salah satu kritik utama terhadap pasal tersebut adalah anggapan bahwa peraturan ini memberikan lampu hijau bagi pergaulan bebas atau penyimpangan perilaku seksual di kalangan remaja.

Para penentang berpendapat bahwa penyediaan alat kontrasepsi dapat memicu peningkatan aktivitas seksual di kalangan remaja yang belum siap secara mental dan fisik. Kritik lain menyoroti kurangnya pendidikan seks komprehensif di sekolah-sekolah dan di dalam keluarga.

Tanpa pemahaman yang baik tentang kesehatan reproduksi,
penyediaan alat kontrasepsi dinilai tidak efektif dan justru akan menimbulkan
risiko yang lebih besar. Beberapa pihak juga mempertanyakan apakah remaja,
terutama yang masih duduk di bangku sekolah,
sudah cukup dewasa untuk membuat keputusan terkait
penggunaan alat kontrasepsi.

Hal lainnya adalah konflik dengan nilai agama dan budaya. Peraturan ini juga memicu perdebatan dari sudut pandang agama dan budaya. Beberapa kalangan berpendapat bahwa penyediaan alat kontrasepsi bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama yang dianut masyarakat.

Sementara itu, Pasal 98 peraturan pemerintah tersebut juga menyatakan bahwa upaya kesehatan reproduksi dilaksanakan dengan menghormati nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norrna agama.

Pandangan Agama terhadap Pergaulan Bebas

Pergaulan bebas, alat kontrasepsi dan agama merupakan tiga isu yang sering kali saling terkait dan memicu perdebatan sengit di berbagai masyarakat, termasuk Indonesia. Ketiga isu ini dianggap bertentangan satu sama lain, terutama dalam konteks nilai-nilai moral dan agama.

Pergaulan bebas sebagai istilah yang mengacu pada hubungan seksual di luar pernikahan atau hubungan yang tidak memiliki komitmen jangka panjang. Pergaulan bebas sering kali dikaitkan dengan nilai-nilai individualisme, kebebasan, dan pencarian kesenangan.

Alat kontrasepsi merupakan segala bentuk metode yang digunakan untuk mencegah kehamilan. Penggunaan alat kontrasepsi seringkali dikaitkan dengan upaya untuk merencanakan keluarga, mencegah penyakit menular seksual, dan memberikan kebebasan bagi perempuan untuk mengatur reproduksinya.

Dalam konteks pergaulan bebas, alat kontrasepsi sering kali dijadikan sarana untuk memfasilitasi perilaku seksual tanpa konsekuensi langsung, seperti kehamilan dan penyakit menular seksual.

Hal ini bertentangan dengan nilai-nilai agama yang ada di Indonesia dan memicu kekhawatiran akan penurunan nilai-nilai moral dan etika dalam masyarakat. Faktanya pergaulan bebas bertentangan dengan nilai-nilai semua agama yang ada di Indonesia.

Bahkan, nilai-nilai luhur bangsa Indonesiapun juga bertentangan dengan hal tersebut, di mana laki-laki dan perempuan yang hidup satu rumah tanpa ikatan pernikahan disebut kumpul kebo, yang identik dengan binatang (kebo = kerbau).

Agama dan Moralitas

Agama mengajarkan nilai-nilai moral yang berkaitan dengan seksualitas, seperti pentingnya pernikahan sebagai dasar hubungan seksual dan perlunya menjaga kesucian diri, sementara moralitas merupakan seperangkat nilai dan norma yang dianggap benar dan baik oleh suatu kelompok masyarakat, yang biasanya dipengaruhi oleh agama, budaya, dan pengalaman pribadi.

Dalam banyak agama, pergaulan bebas dan penggunaan alat kontrasepsi dianggap bertentangan dengan ajaran agama, karena dianggap melanggar norma-norma kesucian, kesetiaan, dan tanggung jawab.

Perdebatan mengenai pergaulan bebas, alat kontrasepsi, dan agama seringkali menimbulkan dilema moral. Di satu sisi, ada keinginan untuk memberikan kebebasan individu dalam menentukan pilihan hidup mereka, termasuk dalam hal seksualitas.

Di sisi lain, ada tuntutan untuk menjaga nilai-nilai moral dan agama yang telah diwariskan dari generasi ke generasi dan diyakini kebenarannya.

Pendekatan yang Lebih Komprehensif

Untuk mengatasi dilema terkait peraturan pemerintah tersebut, khususnya tentang penyediaan alat kontrasepsi pada anak usia sekolah dan remaja, hal ini harus menjadi perhatian serius. Terlebih, saat ini nilai-nilai religus/keagamaan, moral dan etika di tengah masyarakat tengah mengalami kemerosotan.

Solusi terhadap hal tersebut ialah dilakukannya pendekatan yang lebih komprehensif, dengan melibatkan berbagai pihak, dalam hal sbb.:

  • Pemerintah memformulasikan kebijakan yang mendukung kesehatan reproduksi, termasuk penyediaan informasi yang akurat tentang seksualitas dan alat kontrasepsi, disesuaikan dengan nilai agama, sosial, budaya dan etika di masyarakat.
  • Tokoh agama dan organisasi keagamaan memberikan masukan dengan menginterpretasikan ajaran agama secara lebih kontekstual, sehingga relevan dengan tantangan zaman modern, namun tetap taat dengan nilai-nilai religius yang melekat di dalamnya.
  • Tokoh dan praktisi pendidikan memberikan masukan terkait pendidikan seks atau kesehatan reproduksi secara komprehensif yang tidak hanya mengajarkan tentang anatomi dan fisiologi, tetapi juga tentang nilai-nilai moral, hubungan interpersonal, dan pengambilan keputusan beserta risikonya.
  • Keluarga juga mempunya tanggung jawab membangun komunikasi yang terbuka dan jujur dengan anak-anak tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi.
  • Hal yang tidak kalah pentingnya adalah masyarakat menciptakan lingkungan yang lebih toleran dan menghargai perbedaan pendapat, namun tetap mengedepankan nilai-nilai agama, sosial, moral dan etika yang berlaku di masyarakat. 

Perdebatan mengenai pergaulan bebas, alat kontrasepsi, dan agama merupakan refleksi dari kompleksitas kehidupan manusia. Tidak ada jawaban yang sederhana dan tunggal untuk masalah ini. Namun, dengan dialog yang terbuka dan saling menghormati, kita dapat menemukan solusi yang lebih baik untuk semua pihak. 

Bagaimana dengan peraturan
yang memuat penyediaan alat kontrasepsi bagi anak
usia sekolah dan remaja?

Hal bijak adalah pemerintah melakukan perubahan terhadap peraturan tersebut, tidak memaksakan pandangan pemerintah dalam hal ini menteri kesehatan atau siapapun, tetapi harus mempertimbangkan pandangan dan pendapat tokoh agama, tokoh masyarakat dan akademisi.

Solusi ini adalah solusi paling bijak, agar masyarakat percaya bahwa pemerintah menerbitkan peraturan adalah untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia, sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945.

Namun, jika tidak ada opsi tersebut, komponen masyarakat seyogyanya mengajukan judicial review terhadap peraturan pemerintah tersebut.

Setiap komponen masyarakat berhak mengajukan judicial review sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan pemerintah adalah produk manusia, yang masih ada Undang-undang dan Undang-Undang Dasar di atasnya. Jika Undang-Undang dan Undang-Undang Dasar saja masih bisa diubah sesuai kehendak si pemesan atau pembahas, apalagi peraturan pemerintah. 

Lindungi segenap tumpah darah Indonesia, jangan membuat regulasi yang justru menghancurkan nilai-nilai luhur dan agama di masyarakat. Pemerintah bertanggung jawab untuk kemaslahatan umat dan masyarakat, tentunya dengan menerbitkan peraturan yang memihak kepada masyarakat dan rakyat Indonesia.

0
0

Praktisi kesehatan dan pemerhati masalah sosial kemasyarakatan berdomisili di Sampit,
Kalimantan Tengah.

Nugroho Kuncoro Yudho ◆ Active Writer

Nugroho Kuncoro Yudho ◆ Active Writer

Author

Praktisi kesehatan dan pemerhati masalah sosial kemasyarakatan berdomisili di Sampit, Kalimantan Tengah.

3 Comments

  1. Avatar

    Setiap agama mengatur hal yang boleh dan tidak boleh. Artinya kemajuan zaman itu diukur dari hal itu.
    Modernisasi diukur dari makin tingginya pergaulan bebas, karena para binatang sudah dari sekarang sudah seperti itu.

    Reply
    • Avatar

      Setiap agama mengatur hal yang boleh dan tidak boleh. Artinya kemajuan zaman itu diukur dari hal itu.
      Modernisasi tidak bisa diukur dari makin tingginya pergaulan bebas, karena para binatang sudah dari dulu sampai sekarang seperti itu.

      Reply
  2. Avatar

    interpretasi ajaran agama secara lebih kontekstual, sehingga relevan dengan tantangan zaman modern itu seperti apa bentuknya?

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post