Advokasi Hakim: Menjaga Marwah Hakim dan Pengadilan

by | Sep 10, 2025 | Birokrasi Bersih | 0 comments

Di awal tahun 2025, publik dihebohkan dengan viralnya video seorang pengacara naik meja di dalam ruang sidang karena berseteru dengan pihak pengacara lawan.

Peristiwa tersebut menjadi pergunjingan masyarakat
karena ruang sidang yang seharusnya dijaga marwahnya oleh semua pihak justru dinodai dengan perbuatan yang dicap menghina pengadilan atau contempt of court.

Selain itu, juga ada terdakwa seorang artis yang sedang tersandung masalah hukum melakukan perbuatan membuang mikrofon dan bertengkar dengan jaksa penuntut umum di ruang sidang. Tak ayal peristiwa ini menjadi viral di media sosial.

Lalu, apakah peristiwa di atas merupakan bagian dari contempt of court atau perbuatan yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim?

Tugas dan Fungsi Komisi Yudisial

Tugas yang diamanatkan UUD 1945 kepada Komisi Yudisial salah satunya adalah menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Selama ini, makna dari menjaga martabat hakim hanya dipahami dalam bentuk pengawasan atas penyimpangan etika perilaku hakim.

Padahal, ada peran KY yang lain yakni mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim, serta memberikan advokasi dan perlindungan terhadap hakim yang direndahkan martabatnya baik melalui berbagai intervensi, ancaman, maupun bentuk kekerasan lainnya.

Perluasan makna dari menjaga martabat hakim tersebut menandakan adanya kesadaran politik hukum bangsa untuk mencegah atau mengambil tindakan terhadap perbuatan yang merendahkan kehormatan, keluhuran martabat hakim.

Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, makna fungsi Komisi Yudisial tidak lagi terbatas pada pengawasan semata.

Fungsi tersebut diperluas menjadi kemampuan untuk mengambil langkah hukum dan/atau tindakan lain terhadap individu, kelompok, atau badan hukum yang melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim (PMKH), sebagaimana tercantum dalam Pasal 20 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011.

Dalam menjalankan fungsi advokasi hakim, Komisi Yudisial telah mengeluarkan Peraturan Komisi Yudisial Nomor 8 Tahun 2013 tentang Advokasi Hakim.

Peraturan ini mengatur mekanisme penyampaian laporan atau informasi, serta proses pengambilan keputusan oleh Komisi Yudisial terkait dugaan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim (PMKH), termasuk pelaporan kepada aparat penegak hukum dan langkah-langkah lainnya.

Prasyarat Pengadilan dan Mafia Peradilan

Hakim yang menjunjung tinggi keadilan akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap dunia peradilan. Dalam buku 8 Tahun Perjalanan Advokasi Hakim, Satjipto Rahardjo menyebutkan bahwa lembaga peradilan seharusnya menjadi tempat penyelesaian persoalan hukum agar tidak berkembang menjadi konflik yang membahayakan ketertiban masyarakat.

Namun, hal ini hanya bisa terwujud jika pengadilan memenuhi empat prasyarat, yaitu:

  1. Masyarakat percaya bahwa mereka akan memperoleh keadilan sebagaimana yang mereka harapkan.
  2. Pengadilan dianggap sebagai lembaga yang mencerminkan nilai kejujuran, integritas, dan bebas dari korupsi.
  3. Waktu dan biaya yang dikeluarkan masyarakat tidak sia-sia.
  4. Pengadilan benar-benar memberikan perlindungan hukum.

Namun, tidak semua putusan hakim dapat memuaskan semua pihak, terutama para pencari keadilan, yang kadang merasa dirugikan oleh proses hukum sebelumnya. Akibatnya, sering muncul tindakan kekerasan terhadap aparat peradilan, termasuk hakim, karena mereka dianggap sebagai pihak terakhir dalam proses penegakan hukum.

Padahal, independensi lembaga peradilan merupakan salah satu pilar utama dalam negara hukum. Sayangnya, praktik peradilan di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan, termasuk banyaknya putusan hakim yang dianggap mencederai rasa keadilan publik.

Mantan Ketua Mahkamah Agung, Harifin A. Tumpa, pernah mengakui adanya praktik mafia hukum di pengadilan, yang terjadi di berbagai tahap, seperti:

  1. Saat pendaftaran perkara, ketika pegawai meminta pungutan liar.
  2. Dalam pendistribusian perkara, untuk mengatur siapa saja yang menjadi majelis hakim dan siapa yang bisa “dihubungi”.
  3. Saat pemeriksaan persidangan.
  4. Dalam pengaturan penundaan sidang, sita jaminan, hingga manipulasi berita acara.
  5. Saat pengambilan keputusan, baik melalui kontak langsung dengan majelis hakim maupun melalui perantara yang mengatasnamakan hakim.
  6. Setelah putusan, dengan cara memanipulasi pemberitahuan pengadilan atau menunda eksekusi.

Kondisi tersebut sering memicu protes terhadap pengadilan, yang tidak jarang berujung pada kekerasan terhadap aparat, khususnya hakim. Bentuk kekerasan ini antara lain berupa cacian terhadap hakim di ruang sidang, teror, bahkan pembunuhan.

Bentuk-bentuk Protes terhadap Pengadilan

Menurut riset Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) pada awal 2011, terdapat 30 kasus kekerasan di pengadilan sejak 2005 hingga 2011. Tahun 2010 mencatat jumlah tertinggi dengan 15 kasus, diikuti oleh 2008 (4 kasus), 2009 (3 kasus), serta 2005 dan 2007 (masing-masing 2 kasus).

Tahun 2006 tercatat 1 kasus, dan awal 2011 sudah terjadi 3 kasus, yakni di Pengadilan Negeri Parepare (Sulsel), Cibinong (Jabar), dan Temanggung (Jateng).

Merujuk laporan tahunan KY, pada tahun 2023 Komisi Yudisial telah melakukan advokasi terhadap 21 (dua puluh satu) peristiwa yang diduga perbuatan merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim antara lain:

  • dugaan PMKH berupa sabotase putusan,
  • pencemaran nama baik,
  • pengancaman pembunuhan,
  • pengrusakan fasilitas pengadilan, dan
  • penganiayaan terhadap hakim

Sedangkan dalam hal advokasi hakim, pada tahun 2024 Komisi Yudisial juga telah melakukan advokasi terhadap 16 (enam belas) peristiwa yang diduga merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim, antara lain pencemaran nama baik, pengancaman pembunuhan, pengrusakan fasilitas pengadilan dan penganiayaan terhadap kuasa hukum penggugat. 

PMKH: Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan keluhuran martabat Hakim

Berdasarkan Peraturan Komisi Yudisial RI No. 8 Tahun 2013 tentang Advokasi Hakim, pengertian perbuatan merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim (disingkat PMKH) yakni:

Perbuatan orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang mengganggu proses pengadilan atau hakim dalam memeriksa, mengadili, memutus perkara, mengancam keamanan hakim di dalam maupun di luar persidangan serta menghina hakim dan pengadilan.

Kemudian dari pengertian tersebut unsur PMKH digolongkan ke dalam 3 (tiga) dimensi perbuatan yaitu:

  1. hakim dan pengadilan 
  2. mengganggu proses pengadilan atau hakim dalam memeriksa, mengadili, memutus perkara;
  3. mengancam keamanan hakim di dalam maupun di luar persidangan;

Masing-masing dari ketiga dimensi tersebut memiliki indikator sebagaimana yang ada pada matriks di bawah ini:

NOUNSUR PERBUATANINDIKATOR
1Mengganggu proses peradilanMembuat keonaran atau gaduh di dalam ruang sidangMenghalangi pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, dan;Demonstrasi berlebihan
2Mengancam keamanan hakim di dalam maupun di luar persidangantermasuk kekerasan keluarga hakimMelakukan teror atau ancamanMelakukan kekerasan fisik, dan;Melakukan penyanderaan
3Menghina hakim dan pengadilanMengabaikan putusan yang telah berkekuatan hukum tetapBerpakaian tidak sopanBerperilaku tidak sopanPencemaran nama baikMembuat komentar berlebih, dan;Perusakan sarana atau prasarana

Secara umum dapat dijelaskan bahwa proses advokasi hakim yang dilaksanakan oleh Komisi Yudisial dalam hal ini melalui Subbagian Advokasi yang menerima laporan dan/atau mendapatkan informasi mengenai adanya dugaan PMKH.

Kemudian tim yang dibentuk oleh Subbagian Advokasi melakukan penanganan yang terdiri dari penelaahan, pengumpulan bahan, data dan keterangan serta penyusunan rekomendasi yang kemudian akan dilakukan pengambilan keputusan oleh ketua bidang yang membidangi Advokasi Hakim maupun melalui Sidang Pleno Pimpinan dan Anggota Komisi Yudisial.

Proses terakhir setelah keputusan diambil, baik itu berupa langkah hukum dan/atau langkah lain, adalah pelaksanaan keputusan itu sendiri.

Prosedur Advokasi

Berdasarkan Pasal 14 Peraturan KY tentang Advokasi Hakim, jika keputusannya adalah mengambil langkah hukum, maka Komisi Yudisial melalui Subbagian Advokasi melaporkan atau pendampingan pelaporan perbuatan PMKH tersebut kepada aparat penegak hukum dan memantau proses untuk mengetahui perkembangan laporan dimaksud.

Kemudian jika keputusannya adalah mengambil langkah lain, sesuai Pasal 15 Peraturan KY tentang Advokasi Hakim, terdapat 4 jenis langkah lain yang dapat diambil yaitu (1) koordinasi; (2) mediasi; (3) konsiliasi; dan (4) somasi.

Advokasi merupakan upaya pembelaan terhadap pihak yang dirugikan untuk memperoleh keadilan. Dalam konteks ini, advokasi terhadap hakim bertujuan untuk:

  1. Menjamin perlindungan hukum bagi hakim yang menjadi korban perbuatan yang merendahkan martabat.
  2. Menegakkan independensi kekuasaan kehakiman dari segala bentuk tekanan atau intervensi.
  3. Mendorong penegakan hukum terhadap pelaku tindakan merendahkan martabat hakim.
  4. Menjaga integritas lembaga peradilan dengan memberikan pemahaman kepada publik mengenai peran dan kedudukan hakim.

Kehormatan dan keluhuran martabat hakim merupakan bagian tak terpisahkan dari integritas sistem peradilan. Ketika hakim menjadi sasaran perbuatan yang merendahkan atau melecehkan, tindakan tersebut tidak hanya menyasar individu, tetapi juga mencederai kepercayaan publik terhadap hukum.

Oleh karena itu, advokasi yang kuat dan sistematis perlu diberikan sebagai bentuk pembelaan terhadap hukum itu sendiri.

Menjaga Marwah Hakim – Menjaga Kepercayaan Masyarakat

Dengan mekanisme advokasi yang tepat, dukungan kelembagaan, dan edukasi masyarakat, kita dapat memastikan bahwa hakim dapat menjalankan tugasnya secara independen, bebas dari tekanan, dan tetap menjaga kehormatannya dalam bingkai negara hukum.

Menjaga hakim dari perbuatan yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim memiliki makna yang lebih luas dari contempt of court, karena mencakup kehormatan dan martabat hakim yang tidak semata-mata dibatasi ruang persidangan atau di kantor pengadilan.

Kesadaran atau budaya hukum masyarakat juga memiliki peran penting dalam menjaga kehormatan dan keluhuran martabat hakim khususnya di luar persidangan. Oleh karena itu, menjadi tugas kita bersama untuk mengawal proses penegakan hukum, menjaga marwah pengadilan dan mencegah terjadinya perbuatan yang merendahkan kehormatan hakim.

Namun yang tidak kalah penting adalah bagi aparat penegak hukum, khususnya hakim juga harus menjaga kepercayaan masyarakat dengan menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya, menghasilkan putusan yang berkualitas dan selalu menjaga kode etik dan pedoman perilaku hakim.

0
0
Muhammad Farhan ♥ Associate Writer

Muhammad Farhan ♥ Associate Writer

Author

Penulis berdomisili di Semarang, merupakan Koordinator Penghubung Komisi Yudisial Jawa Tengah.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post