Birokrasi yang cepat, fleksibel, dan mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan eksternal yang begitu cepat telah menjadi salah satu isu utama dalam reformasi birokrasi. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah berupaya untuk terus mendorong inovasi dari organisasi maupun individu ASN. Akan tetapi, mengapa wajah birokrasi Indonesia seolah tidak mengalami perubahan secara signifikan?
Berdasarkan data dari The World Bank, nilai Government Effectiveness Index Indonesia adalah 0,37. Nilai ini membawa Indonesia pada posisi 62 dari 192 negara di dunia. Di level Asia, Indonesia berada pada rangking 17, sementara pada regional Asia Tenggara dan Selatan, Indonesia berada pada posisi 5.
Dari sisi pencapaian nilai indeks, Indonesia memang mencatatkan kemajuan yang signifikan (pada tahun 2019, indeks yang dicapai adalah 0,18). Akan tetapi, apabila dikomparasi dengan capaian negara-negara lain, Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga, seperti Singapura (posisi 1), Malaysia, maupun Brunei Darussalam.
Government effectiveness index merupakan salah satu indikator yang mengukur kualitas pelayanan publik, kualitas kebijakan, dan kredibilitas pemerintah. Dengan kondisi Government Effectiveness Index kita yang masih tertinggal, bagaimana inovasi akan mampu berperan meningkatkan kualitas birokrasi?
Hierarchy Culture
Inovasi akan tercipta melalui sebuah budaya dan lingkungan kerja yang mampu menjadi support system terhadap munculnya inovasi. Struktur organisasi dan mekanisme kerja disusun untuk memberikan kebebasan bagi individu di dalamnya, untuk berinovasi sekaligus memberikan kontribusi kepada organisasi.
Sejak lama birokrasi Indonesia menganut tipe birokrasi weberian. Birokrasi ini bercirikan adanya hirarki yang tegas dan kaku terhadap proses pengambilan keputusan. Sebuah rantai komando dibentuk untuk pengambilan keputusan maupun penyelesaian permasalahan.
Dalam pelaksanaan kerja sehari-hari, peraturan, prosedur, dan kebijakan formal menjadi hal yang harus ditaati oleh seluruh anggota organisasi. Menurut Rangkuti (2011), model birokrasi semacam ini menghasilkan budaya organisasi yang bersifat hierarchy culture.
Budaya ini lebih menekankan kepada stabilitas dan kontrol serta fokus pada aspek-aspek internal, seperti proses, input, dan formalisasi aktivitas. Apabila terdapat permasalahan, pengambilan keputusan ataupun inovasi yang akan dihasilkan, anggota organisasi harus melewati rantai kooordinasi yang bertingkat dan cenderung rumit.
Dengan model organisasi seperti ini, akankah inovasi dapat bertahan? Atau justru mati dalam perjalanan?
Adhocrachy Culture
Warren G. Bannis pada tahun 1967 menulis artikel berjudul “The Coming Death of Bureaucracy”. Ia meramalkan bahwa pada 25-50 tahun berikutnya adalah era berakhirnya sistem birokrasi dan digantikan dengan sistem sosial yang baru.
Tentu yang dimaksud bukanlah hancurnya sebuah pemerintahan negara-negara, tetapi lebih kepada sulitnya sistem birokrasi (weberian) beradaptasi dengan tuntutan dan perubahan zaman. Ramalan Bannis ini kemudian menjadi awal mula munculnya konsep adhocrachy.
Adhocracy pertama kali diperkenalkan oleh Alvin Toffler pada tahun 1970. Secara etimologi, adhocracy dianggap berasal dari kata latin ad-hoc yang berarti tujuan. Sementara dalam KBBI, ad-hoc merupakan kata dalam Bahasa Inggris yang artinya adalah panitia khusus.
Akademisi terkenal Henry Mintzberg kemudian mengelaborasi adhocrachy sebagai bentuk organisasi yang mengedepankan struktur yang sederhana, birokrasi yang profesional, dan bentuk organisasi yang terbagi dalam divisi-divisi yang bersifat temporer.
Menurut Mintzberg, Adhocrachy merupakan model organisasi yang lebih kompleks dari model organisasi start-up. Sebagai sebuah model organisasi, adhocrachy memiliki beberapa ciri khas. Pertama, individu dan organisasi bergerak lebih cepat dan dinamis dalam menyelesaikan permasalahan dan mengambil keputusan.
Kedua, divisi-divisi atau bagian yang ada dalam struktur organisasi bersifat sementara, di mana divisi baru dapat dibentuk dan dibubarkan sesuai dengan timeline pekerjaan. Ketiga, organisasi dan individu kaya akan informasi dan sangat aktif sebagai hasil dari pola pikir yang adaptif. Dan keempat, lingkungan dan budaya kerja yang lebih fleksibel.
Adhocrachy kemudian menghasilkan adhocracy culture yang lebih mengedepankan kepada aspek fleksibilitas dan individu, serta lebih fokus pada aspek eksternal (Rangkuti, 2011). Hal ini menjadikan adhocracy culture merupakan antitesis dari hierarchy culture yang dihasilkan oleh birokrasi weberian.
Adhocrachy culture juga menuntut mereka yang menduduki jabatan manajerial untuk turut menjadi support system bagi **terciptanya kreativitas dan inovasi. Meskipun demikian, adhocrachy juga memiliki beberapa kelemahan.
Pertama, rawan memunculkan konflik di dalam organisasi karena adanya ketidakjelasan wewenang. Kedua, keputusan yang muncul bisa jadi belum dipertimbangkan dengan cukup matang. Ketiga, ritme kerja yang sangat cepat dan dinamis dapat menghasilkan tingginya tingkat burnout dan stress. Dan keempat, adanya kebebasan dan sikap kritis dari anggota dapat memunculkan berbagai kontroversi.
Apakah Adhocrachy dapat menjadi Budaya Kerja Birokrasi?
Meskipun adhocrachy culture dianggap sebagai bentuk organisasi dan budaya kerja yang mampu menjadi support system bagi inovasi dan kreativitas, faktanya penerapan adhocrachy dalam organisasi sektor publik masih belum banyak dilakukan.
Hambatan dan tantangan yang biasanya dihadapi dalam penerapan adhocrachy dalam birokrasi adalah besarnya kebebasan yang mungkin akan mengganggu otoritas politik. Sehingga saat ini, adhocrachy lebih banyak dipakai oleh perusahaan-perusahaan start-up yang memang bercirikan fleksibilitas, dinamis, dan selalu memunculkan inovasi baru.
Akan tetapi penyederhanaan birokrasi yang dilakukan oleh pemerintah dapat membuka kesempatan masuknya adhocrachy culture dalam birokrasi Indonesia. Pengalihan secara besar-besaran jabatan administrator (eselon 3 dan 4) ke dalam jabatan fungsional merupakan sebuah langkah awal yang dapat bermanfaat bagi terwujudnya adhocrachy culture.
Hal ini karena adhocrachy culture cenderung tidak membutuhkan hirarki serta mekanisme kerja yang lebih cair. ASN, dengan demikian dapat dibagi sesuai bidang keahliannya ke dalam tim-tim kerja yang fleksibel, temporer, dan tidak dibatasi oleh ruang-ruang tugas dan fungsi atau silo.
Epilog: Kalau Tidak Sekarang, Kapan Lagi?
Adhocrachy culture dapat diterapkan dalam birokrasi indonesia, yang telah lama menganut model weberian, apabila pemerintah secara seksama melakukan beberapa langkah penting. Pertama, memastikan bahwa kebijakan penyederhanaan birokrasi tidak dimaknai hanya sebatas “ganti baju”.
Sifat jabatan fungsional yang cenderung lebih cair, sebetulnya merupakan potensi besar dalam adhocrachy. Kedua, membuat mekanisme kerja yang lebih fokus kepada output/outcome daripada hanya sebatas pemenuhan prosedur atau proses.
Ketiga, membuat standar penilaian kinerja yang lebih obyektif dan terukur. Keempat, mengimplementasikan sistem pembayaran kompensasi (gaji dan tunjangan) berbasis kinerja secara fair.
Kelima, menjadikan pengembangan kompetensi sebagai sebuah budaya bagi setiap individu. Dan keenam, memberikan batasan yang tegas antara politik dan birokrasi untuk memberikan kebebasan anggota organisasi dalam adhocrachy culture.
Birokrasi mungkin tidak benar-benar mati seperti yang diramalkan Bannis lebih dari 50 tahun yang lalu. Tetapi inovasi dan perubahan di dalam birokrasi tidak mungkin dapat dinegosiasikan lagi. Kalau tidak sekarang, kapan lagi?
ASN Fungsional Perencana. Tanpa Rencana, Mustahil bisa Berkarya.
Terima kasih bung Alfian atas artikelnya. Rasa pesimis seharus sudah terbuang percumia pada kondisi negeri kita mengalami pandemi wabah Covid-19, karena mau tidak mau atau suka tidak suka setiap pemimpin dan organisasi pastinya mulai menyesuaikan diri ke arah adhocracy-nya Mintzberg. Bhakan seperti artikel sebelumnya dari Bang Rudi mengenai digital leadrship, juga beberapa telah melaksanakan perannya walau belum secara seutuhnya.
Namun yang kini menjadi pertanyaan, tatkala kondisi wabah sudah berakhir dan kembali normal, apakah para pemimpin organisasi di negeri akan kembali lagi berperilaku dengan pola lama dengan penerpaan birokrasi konvensional. Karena patut disadari bahwa peran digital atau virtual leadership yang dilakukan lantaran adanya kondisi wabah yang memaksa dan bukan karena kesadaran pemimpin dan organisasi untuk berubah.
Terima kasih kembali bapak subroto. Benar sekali bahwa kembalinya pola konvensional tersebut menjadi kekhawatiran. Beberapa sudah tampak dengan adanya pemahaman bahkan upaya menjadikan agenda penyederhanan birokrasi menjadi hanya sekedar ganti nama. Padahal, penyederhanaan birokrasi sebenarnya merupakan salah satu prasayarat adhocrachy. Menjadi tugas kita semua untuk terus mengawal kebijakan penyederhanaan birokrasi sesuai dengan makna, tujuan dan filosofi yang dibawanya.
tingginya biaya politik ditambah kewenangan pimpinan daerah terhadap “jabatan” menjadikan kinerja bukanlah prioritas dalam menentukan kapasitas seseorang.
sebuah masalah faktual yang belum ditemukan solusi praktisnya sampai skrg
Saatnya akan tiba Kualitas dan daya kompetensi menjadi rujukan penjenjangan pegawai selain daya soft skill pribadi pegawai
Insya Allah, cita-cita dan harapan tidak boleh pupus
👍👍👍
Jempol tangannya ada 3 mbak? hahaha