Aceh atau Sumatera Utara: Mengukur Potensi Ekonomi dalam Sengketa Pulau

by | Jun 20, 2025 | Birokrasi Berdaya | 0 comments

Mengawali kebiasaan pagi hari, saya membuka gawai untuk melihat peristiwa ataupun fenomena apa yang sedang terjadi baik dalam negeri maupun luar negeri menjadi rutinitas yang tidak bisa dilepaskan.

Ada dua peristiwa yang menjadi highlight.
Pertama, jatuhnya pesawat Air India pada Kamis, 12 Juni 2025 yang membuat sekujur bulu kuduk merinding. Hampir dipastikan seluruh penumpang dan kru tidak selamat.

Namun, takdir berkata lain, ternyata ada seseorang penumpang yang berhasil selamat dari peristiwa naas tersebut. Namun kita tidak akan membahas peristiwa jatuhnya pesawat Air India tersebut.

Peristiwa kedua, berita sengketa 4 pulau (Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir Gadang). Keempatnya selama ini menjadi wilayah administrasi Kecamatan Singkil Utara Kabupaten Aceh Singkil Provinsi Aceh sesuai kode yang tercantum dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 050-145 Tahun 2022.

Namun, pada April 2025, sempat terjadi gejolak setelah Keputusan Kemendagri No. 300.2.2-2138/2025 menetapkan bahwa keempat pulau tersebut beralih ke Provinsi Sumatera Utara.

Keputusan tersebut sontak memicu reaksi keras dari Pemerintah Provinsi Aceh dan masyarakatnya, yang merasa bahwa penetapan itu mengabaikan fakta-fakta historis dan administratif, termasuk dokumen kesepakatan antara Gubernur Aceh dan Sumut tahun 1992 serta keberadaan tugu dan makam tua yang menjadi penanda administratif wilayah Aceh.

Namun kini, gejolak itu telah mereda. Presiden Prabowo Subianto pada 17 Juni 2025 telah mengumumkan bahwa keempat pulau tersebut tetap menjadi bagian dari Provinsi Aceh.

Keputusan Pemerintah Pusat

Keputusan tersebut bersifat final dan mengikat. Pengumuman ini disampaikan langsung dalam rapat terbatas yang dihadiri oleh Mendagri Tito Karnavian, Mensesneg Prasetyo Hadi, serta Gubernur Aceh Muzakir Manaf dan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution.

Pemerintah Pusat memutuskan berdasarkan dokumen historis dan hukum positif yang menunjukkan bahwa wilayah tersebut sejak awal adalah bagian dari Aceh. Dengan demikian, sengketa yang sempat berlarut sejak zaman Hindia Belanda ini akhirnya menemui titik terang.

Namun yang patut dipertanyakan adalah bagaimana awal mula polemik ini bisa muncul? Apakah tidak ada koordinasi dan sinergi antara Aceh, Sumatera Utara dan Pemerintah Pusat dalam memutuskan perkara ini?

Ataukah koordinasi yang dibangun selama ini menemui jalan buntu, sehingga tangan besi pemerintah pusat mengambil keputusan melalui instrumen administratif tanpa dialog yang cukup?

Mari kita lihat beberapa wilayah lain yang secara geografis, jika ditarik garis lurus daratan, maka potensi konflik seperti antara Aceh dan Sumatera Utara bisa saja terjadi.

Jawa Timur, misalnya, memiliki batas laut yang melewati Bali bahkan hingga NTB, dan Sulawesi Selatan yang memiliki pulau-pulau di Sumbawa Besar. Hal ini dimungkinkan karena adanya pemahaman historis dan kedewasaan dalam bernegara.

Jika dilihat dari kacamata Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka perubahan status administratif bukanlah persoalan besar. Namun, dinamika yang menyertainya sering kali mengusik rasa keadilan, terutama ketika sebuah wilayah merasa kehilangan bagian dari identitas dan sumber daya yang telah lama dikelola.

Netizen dan Narasi yang Memanas

Narasi yang dibangun netizen pun ikut panas. Tak sedikit komentar di media sosial yang menyerempet pada sentimen budaya dan kedaerahan. Kita ketahui, antara Aceh dan Sumatera Utara memiliki kultur yang sangat berbeda.

Dalam suasana tersebut, Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution dan Gubernur Aceh Muzakir Manaf telah bertemu. Meski niatnya membangun keharmonisan, sayangnya komentar Bobby justru memantik kekhawatiran baru.

Ia mengatakan, “Kalau dipanas-panasin, jangan sampai warga Sumatera Utara anti melihat plat BL (Aceh), dan orang Aceh anti lihat plat BK (Medan). Itu yang kita nggak mau.”

Padahal, ini bukan soal plat kendaraan, melainkan tentang keadilan pengelolaan sumber daya dan penghormatan atas sejarah.

Kita mencoba menyoroti dari sisi yang jarang dibahas: potensi ekonomi dan kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola wilayah.

Indikator Pertimbangan: Indeks Gini, IPM, PDRB, KFD

Beberapa indikator ekonomi dapat menjadi bahan pertimbangan apakah Aceh lebih layak mengelola 4 pulau tersebut dibanding Sumatera Utara, antara lain Indeks Gini, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita, dan Kapasitas Fiskal Daerah (KFD).

  • Dari sisi Indeks Gini, data BPS semester II tahun 2024 menunjukkan Aceh memiliki nilai 0,294, lebih baik dari Sumatera Utara yang mencapai 0,306. Artinya, ketimpangan distribusi pendapatan di Aceh lebih rendah—menunjukkan bahwa pemerintah daerah Aceh relatif berhasil menjaga pemerataan pendapatan.
  • Dari sisi IPM, angka 2024 juga menunjukkan bahwa Aceh sedikit lebih unggul dengan nilai 74,03 dibanding Sumatera Utara yang berada di 74,02. Meskipun selisihnya kecil, tetap menjadi cermin bahwa tingkat kesehatan, pendidikan, dan standar hidup di Aceh sedikit lebih baik.
  • Namun dari sisi PDRB per Kapita, Sumatera Utara unggul jauh. Tahun 2024, PDRB per Kapita Sumut sebesar Rp73.575.000 sementara Aceh hanya Rp43.782.000. Tapi kita harus hati-hati membaca angka ini, karena nilai tinggi tidak otomatis berarti sejahtera, apalagi jika ketimpangan tinggi.
  • Begitu pula dari sisi Kapasitas Fiskal Daerah, Sumatera Utara dikategorikan tinggi dengan skor 2,351, sedangkan Aceh hanya 0,849 dan masuk kategori sangat rendah menurut PMK 127/2024. Ini menunjukkan bahwa Aceh sangat bergantung pada dana transfer pusat.

Jadi, Aceh unggul dalam aspek pemerataan dan kualitas hidup, sedangkan Sumatera Utara unggul dalam kapasitas fiskal dan skala ekonomi.

Dua Saudara dan Akhir Cerita

Ibarat dua saudara yang memperebutkan warisan keluarga, Aceh dan Sumut kini menghadapi kenyataan bahwa keempat pulau tetap berada di bawah administrasi Aceh. Presiden telah mengetok palu. Namun ini bukan akhir cerita.

Tantangannya adalah bagaimana Aceh membuktikan
bahwa keputusannya bukan hanya soal menang wilayah, tetapi juga menang dalam tata kelola, pemerataan, dan kesejahteraan. Karena bila tidak, sejarah bisa saja berulang—dan mungkin bukan hanya tentang pulau, tetapi tentang legitimasi pemerintahan itu sendiri.

Demi menghindari konflik yang berulang, ke depan perlu mekanisme koordinasi yang lebih peka terhadap sejarah dan data, bukan hanya pada tarik garis dan angka. NKRI harga mati. Tapi keadilan dan kesejahteraan adalah bahan bakar utama agar persatuan itu tetap hidup.

0
0
Erwin Susanto ♥ Associate Writer

Erwin Susanto ♥ Associate Writer

Author

Erwin Susanto adalah seorang Analis Pengelolaan Keuangan APBN Ahli Muda di BPK Perwakilan Provinsi Kepulauan Riau. Lahir di Binjai, ia merupakan lulusan Magister Akuntansi dari Universitas Batam. Atas dedikasi dan pengabdiannya, Erwin dianugerahi tanda jasa Satyalancana Karya Satya 20 Tahun pada tahun 2024.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post