![](https://i1.wp.com/birokratmenulis.org/wp-content/uploads/2025/01/image-11.png?resize=687%2C448&ssl=1)
Saat dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming membawa gelombang optimisme. Janji besar yang mereka sampaikan melalui Asta Cita menjadi simbol ambisi perubahan. Perjalanan 100 hari pertama mengungkap tantangan besar yang membentang antara mimpi dan realitas.
Obesitas Kabinet dan Efektivitas Pemerintahan
Kabinet yang gemuk tidak selalu menjamin inklusivitas dan efektivitas. Sebaliknya, jika tidak dikelola dengan baik, hal ini justru dapat menjadi penghambat utama bagi pemerintahan untuk merespons kebutuhan masyarakat dengan cepat.
Pemerintah harus segera mengambil langkah korektif untuk memastikan kabinet mereka tidak hanya menjadi simbol representasi politik tetapi juga motor penggerak yang efektif bagi pembangunan bangsa.
Struktur kabinet yang mencakup 48 kementerian dirancang untuk mencerminkan semangat inklusivitas dengan merangkul berbagai kepentingan politik. Namun, formasi kabinet yang “gemuk” ini justru menjadi sumber kritik karena dinilai kurang efektif dalam menggerakkan program prioritas pemerintah.
Salah satu persoalan mendasar adalah tumpang tindih fungsi antar kementerian, yang memperlambat proses pengambilan keputusan. Sebagai contoh, isu pengentasan kemiskinan sering kali menjadi ranah yang diperebutkan antara Kementerian Sosial dan Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal.
Ketidaktegasan dalam pembagian tugas ini tidak hanya memperlambat implementasi program, tetapi juga menciptakan kebingungan di tingkat pelaksana daerah.
Kementerian baru yang dibentuk di era Prabowo-Gibran juga belum menunjukkan langkah signifikan. Hingga kini, belum ada roadmap yang jelas atau kebijakan konkret yang diluncurkan. Beberapa laporan menunjukkan bahwa anggaran awal kementerian masih terkendala proses administrasi dan persetujuan lintas kementerian.
Hal ini menjadi sinyal bahwa struktur birokrasi belum siap untuk mendukung kementerian baru. Ketidakhadiran kebijakan yang konkret dalam 100 hari pertama menunjukkan perlunya percepatan dalam pengelolaan kementerian ini.
Kabinet Prabowo-Gibran menghadapi tantangan besar dalam mengubah struktur yang gemuk menjadi mesin pemerintahan yang efisien. Tanpa perbaikan dalam tata kelola dan koordinasi antar-kementerian, risiko inefisiensi dan ketidakpuasan publik akan terus meningkat.
Langkah cepat dan tegas diperlukan untuk memastikan bahwa janji-janji besar dalam kampanye dapat diterjemahkan menjadi kebijakan yang nyata dan berdampak. Efektivitas kabinet juga perlu dijaga agar tidak terganggu oleh dinamika politik internal.
Posisi menteri yang sering kali dijadikan “jatah politik” untuk partai koalisi berpotensi mengalihkan fokus kerja. Sebagian menteri cenderung lebih sibuk menjaga hubungan dengan partai pendukung dibandingkan memprioritaskan implementasi program.
Perlunya Kejelasan Indikator Kinerja
Agar lebih spesifik, mari kita cermati program makan bergizi gratis (MBG) untuk anak-anak dan ibu hamil yang merupakan salah satu janji andalan pemerintah Prabowo-Gibran untuk mengentaskan stunting.
Pelaksanaan MBG menghadapi berbagai tantangan, yang mencakup distribusi tidak merata hingga kualitas makanan yang dianggap kurang memadai.
Hal ini memunculkan pertanyaan mendasar:
- Bagaimana pemerintah mengukur keberhasilan program ini?
- Apakah hanya sebatas pada jumlah makanan yang didistribusikan, ataukah ada parameter lain seperti tingkat penerimaan masyarakat, peningkatan status gizi anak-anak dan ibu hamil, atau pengurangan angka stunting dalam jangka waktu tertentu?
Tanpa indikator yang jelas dan terukur, sulit untuk memastikan apakah program ini benar-benar berdampak atau hanya sekadar menjalankan agenda populis. Selain itu, keterlibatan pemerintah daerah dalam program ini juga perlu dievaluasi.
- Apakah distribusi dilakukan secara seragam tanpa memperhatikan kebutuhan spesifik wilayah?
- Apakah pemerintah melibatkan ahli gizi untuk memastikan bahwa makanan yang disediakan sesuai dengan standar kesehatan?
Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk memastikan bahwa program yang ambisius ini tidak kehilangan esensinya.
Sekali lagi, keberhasilan suatu program sangat bergantung pada kemampuan pemerintah untuk menetapkan indikator yang realistis, relevan, dan terukur (SMART—Specific, Measurable, Achievable, Relevant, Time-bound).
Maka, tanpa pendekatan yang berbasis data dan kebutuhan lapangan, penambahan jumlah kementerian dan pelaksanaan program-programnya nanti berisiko menjadi sekadar langkah simbolis yang jauh dari dampak nyata.
Epilog: Menggantungkan Asa di Tengah Tantangan
100 hari pertama adalah fase belajar bagi pemerintahan Prabowo-Gibran. Tantangan yang muncul adalah cerminan dari kompleksitas menjalankan negara dengan dinamika politik, sosial, dan ekonomi yang begitu beragam.
Keberhasilan jangka panjang pemerintahan ini akan ditentukan oleh sejauh mana mereka mampu mendengar kritik, memperbaiki langkah, dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar berpihak pada rakyat.
0 Comments