Pelajaran Berharga dari Mereka yang Tak Sempurna

by | Mar 2, 2019 | Refleksi Birokrasi | 0 comments

Aku pernah mendengar sedikit kisah tentang Beethoven sang musisi yang tunarungu, Hellen Keller yang tunarungu sekaligus tunanetra, Stephen Hawking yang tunadaksa, serta John Nash yang schizophrenia.

Rasanya tak ada yang janggal melihat nama-nama mereka dikenang dalam sejarah, sebab saat aku mulai bisa membaca, nama mereka sudah ada. Lain cerita ketika aku telah dewasa, beberapa kali aku bertemu langsung dengan orang-orang tak sempurna yang harus berjuang agar mendapatkan perlakuan yang sama. Di sisi lain, mereka ini juga tak mau dilupakan dan diabaikan.

Ini adalah sekilas cerita tentang tiga orang “tak sempurna” yang mengajariku sesuatu.

Fristy Vidya, Master Yang Tunadaksa

Adalah Fristy Vidya, seorang pejuang mimpi dari pinggiran Jakarta. Dengan keterbatasannya dia masih memiliki kepedulian kepada rekan sesama difabel lainnya. Kepada merekalah dia berbagi ilmu dan terus motivasi untuk maju.

Fristy pernah mengabdi sebagai guru di Sekolah Luar Biasa (SLB) dengan para siswa tunanetra. Di sekolah ini, secara fisik, dia menjadi minoritas di antara para guru yang sempurna dan sehat anggota badannya. Fristy adalah seorang wanita muda dengan kecacatan pada kedua kakinya, sehingga tak bisa berjalan dengan normal sebagaimana orang-orang pada umumnya.

Demi meraih mimpinya untuk berbagi dan memberikan motivasi kepada sesama difabel, Fristy menempuh pendidikan sarjana pada jurusan psikologi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tak puas dengan sarjana, Fristy kemudian melanjutkan studi pada program Magister Psikologi di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, setelah terpilih menjadi salah satu penerima beasiswa LPDP Kementerian Keuangan.

Pada awal tahun 2019 Fristy berhasil menyelesaikan pendidikan masternya. Di saat yang sama, hasil seleksi CPNS menyatakan bahwa Fristy akan segera diangkat sebagai pegawai pada Dinas Sosial Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Wendra Afriana, Penulis Penyandang Disabilitas

Kisah kedua datang dari seorang wanita yang seumuran denganku, bernama Wendra Afriana. Mbak Wendra, begitu aku menyapanya, adalah seorang ibu dari tiga orang putra yang juga berkiprah dalam birokrasi.

Kami tidak sengaja bertemu dalam sebuah kegiatan pelatihan menulis di STIA LAN Jakarta, di mana kami dipertemukan dalam sebuah sebuah diskusi kelompok tentang current issue yang menarik untuk diangkat dalam tulisan popular.

Setelah beberapa menit berinteraksi dengannya, aku baru menyadari bahwa ada yang tak sempurna dengan tangan Wendra. Salah satu di antara kedua hastanya tak mampu digerakkan dengan mudahnya, entah mengapa.

Namun demikian, Wendra tak kalah cerdas dibanding wanita-wanita lain yang hadir dalam acara itu. Wanita bergelar master itu tidak hanya menjadi dosen Ekonomi di sebuah kampus ternama di Jakarta, tetapi juga menjadi tenaga ahli yang membantu menganalisis dan memberi rekomendasi pada pimpinan sebuah instansi pemeriksaan keuangan negara yang sangat disegani di ibukota.

Dalam berbagai kesempatan, Wendra selalu bersemangat menyuarakan keprihatinannya karena negara belum mampu memberikan perhatian yang memadai kepada para penyandang disabilitas. Banyak dari mereka yang masih dihadapkan pada terbatasnya kesempatan bagi mereka untuk berkiprah sebagai PNS. Selain itu, undang-undang pernikahan secara terang-terangan mendiskriminasi para wanita dengan kecacatan fisik sebagai salah satu alasan diperbolehkannya praktik poligami.

Adit, Tunadaksa Yang “Mau Bekerja”

Kisah ketiga yang sedikit berbeda datang dari seseorang yang jauh lebih muda. Namanya Adit, lengkapnya Mauli Rahmadi Putra, seorang CPNS berusia 26 tahun yang baru beberapa minggu bergabung sebagai calon analis kepegawaian di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Setelah menyelesaikan pendidikan Diploma III-nya di salah satu kampus swasta di Depok pada tahun 2014, Adit sempat bekerja selama hampir 3 tahun sebagai tenaga kontrak di sebuah bank plat merah, lalu bekerja sebagai tenaga honorer di BUMN yang bergerak di bidang asuransi.

Sejatinya, Adit adalah seorang difabel yang ‘juga’ potensial. Adit memang tak bisa berjalan dengan sempurna, tapi semangatnya masih tetap membara. Teman-temanku menyebut pemuda itu “mau bekerja.”

Pada awalnya, hanya itu pre-judgement yang terngiang-ngiang dalam kepalaku sesaat sebelum berbicara langsung dengannya.

Di suatu siang pertengahan bulan Februari 2019, aku memberanikan diri melakukan wawancara kepada Adit. Dari obrolan itu aku lantas merasa takjub padanya. Tak kusangka, Adit pernah menorehkan sebuah prestasi yang luar biasa. Semasa SMP, 12 tahun yang lalu, hanya beberapa tahun setelah Adit –akhirnya- bisa meninggalkan kursi roda, ia mampu membawa nama baik Indonesia dalam sebuah tur yang bertajuk World Scout Jambore.

Adit, bersama dengan seorang delegasi yang difabel lainnya, mengikuti serangkaian acara di Singapura, Srilanka, Italia, dan Britania Raya. Di Britania, berkat sebuah pidato dalam Bahasa Inggris tentang betapa indahnya Indonesia yang ia sampaikan secara terbata-bata, Adit kemudian diundang dalam sebuah kesempatan makan bersama Pangeran William di istana Buckingham.

Sayangnya, prestasi membanggakan dari seorang difabel seperti Adit tidak cukup membuatnya ‘aman’. Adit mengakui bahwa hingga hari ini dia masih dihadapkan pada trauma yang sering menghantui kesehariannya dalam beraktivitas. Dia masih trauma bagaimana masyarakat memperlakukannya sebagai seorang tunadaksa sejak ia masih sangat belia.

Rupanya, Adit pernah mengalami kekerasan secara verbal berupa hinaan lisan, ditertawakan, dan kekerasan fisik seperti dilempari dengan benda-benda tertentu. Tentu saja aku merasa sangat sedih mendengarnya. Betapa keras perjuangan yang harus dilalui oleh para difabel, selain berdamai dengan kondisinya sendiri, merekapun harus bersiap menghadapi perlakuan tidak etis dari orang-orang di sekitarnya.

Kesempatan Penyandang Disabilitas Untuk Bekerja

Kehadiran Adit sebagai CPNS di BPKP dan Fristy sebagai CPNS di Pemerinta Provinsi DKI Jakarta menjadi salah satu pertanda mulai didengarkannya keluhan dari penggiat kesetaraan hak bagi para difabel untuk bergabung dalam dunia kerja, sebagaimana disuarakan oleh Wendra sejak beberapa tahun yang lalu.

Amanat untuk memberikan kesempatan bagi mereka yang bergabung dalam dunia kerja, khususnya pemerintahan, dinyatakan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Dalam Pasal 53 ayat 1 disebutkan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, dan badan usaha milik daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2 persen penyandang disabilitas dari jumlah total pegawai atau pekerjanya.

Faktanya, secara kuantitas jumlah penyandang disabilitas yang diangkat sebagai CPNS atau PNS belum mencapai dua persen dari total jumlah pegawai, selain masih adanya kecenderungan memilih penyandang jenis disabilitas tertentu. Namun, adanya peningkatan jumlah difabel yang direkrut dalam pemerintahan merupakan sebuah langkah yang perlu diapresiasi.

Meskipun begitu, masih ada sebuah keresahan yang mengganggu. Adit, seperti halnya Wendra dan Fristy, hanyalah tiga orang di antara jutaan populasi penyandang disabilitas di Indonesia. Faktanya, masih jauh lebih banyak penyandang disabilitas yang memilih atau dipaksa oleh keadaan sehingga tidak bisa berbuat lebih untuk masyarakat.

Jangankan bergabung dengan dunia kerja, mereka bahkan telah lebih dulu kalah dalam pertarungan melawan kegundahannya sendiri –sebuah kegelisahan yang hanya bisa dimengerti oleh para difabel, berjuang untuk tetap hidup dengan kondisi fisik yang tidak sempurna.

Penutup

Sebagai seseorang yang sehat tanpa cacat, berdasarkan pengamatanku pada ketiga orang itu aku telah sampai pada sebuah kesimpulan. Barangkali, kesamaan hak yang harus diberikan kepada para penyandang disabilitas dalam dunia kerja, termasuk birokrasi, memang bukan kesamaan yang bermakna benar-benar sama. Seperti banyak orang bilang, adil adalah menempatkan sesuatu sebagaimana mestinya, bukan memberikan segala sesuatu dalam jumlah yang sama rata.

Menurutku, orang-orang yang ditakdirkan untuk menyandang disabilitas bukanlah orang-orang yang bersalah, tetapi orang-orang yang kurang beruntung. Dengan begitu, segala bentuk diskriminasi baik oleh perorangan maupun kebijakan negara sudah saatnya dihapuskan karena menyalahi nilai-nilai kemanusiaan.

Bagi difabel itu, jangankan untuk bekerja, untuk menjalani kehidupan pribadinya saja jauh lebih sulit daripada orang lain kebanyakan. Hanya saja, perjuangan mereka sering dibalas dengan picingan mata, dan prasangka bahwa kaum difabel hanyalah beban, tidak bisa berbuat apa-apa.

Melalui tulisan ini, aku menyuarakan kegelisahanku sebagai pengingat kepada siapapun yang membaca, bahwa para penyandang disabilitas adalah keluarga kita. Sudah sepantasnya kita mengintrospeksi diri, telah sejauh apa empati kita, sikap kita, dan perhatian kita pada mereka. Kalau saja masih ada yang berfikir bahwa mereka adalah beban, bahwa mereka inferior, jangan lupa bahwa bisa jadi mereka sebenarnya jauh lebih hebat dari kita.

 

 

1
0
Sofia Mahardianingtyas ◆ Professional Writer

Sofia Mahardianingtyas ◆ Professional Writer

Author

Seorang PNS perempuan yang meminati bidang sosial ekonomi, kebijakan publik, teknologi informasi, birokrasi, dan isu perubahan iklim. Alumnus program beasiswa master LPDP PK-84, yang juga sedang mempelajari tentang analitika data untuk pemerintahan. Sehari-hari mengabdi sebagai auditor internal pemerintah.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post