Manusia mempunyai dua nilai-nilai (values) utama yang sering berkompetisi dan bisa mendorong mereka pada perilaku yang berbeda. Satu hal adalah rasionalitas (rationality) dan satu hal lainnya adalah altruistik (altruistic). Kedua hal ini selalu berbenturan dalam kepribadian setiap orang dan tampak dalam kehidupannya sehari-hari. Rasionalitas akan memprioritaskan kepentingan pribadi (self-interest), sementara altruistik akan berorientasi pada masyarakat banyak (unselfish). Rationalitas yang dominan akan membuat pembangunan menjadi kurang efektif. Untuk meningkatkan efektivitas pembangunan, para pemimpin politik (political leaders) dan birokrasi profesional (professional bureaucracy) di Indonesia mesti mempertimbangkan potensi altruistik, yaitu dengan mengintegrasikan kelembagaan informal ke dalam kebijakan pembangunan.
—-
Mungkin kita sering bertanya, mengapa negara lain bisa menjadi negara maju sementara negara kita belum maju-maju? Padahal, para “pendekar” negeri ini sudah kita kerahkan dan semua jurus juga sudah kita praktikkan. Meski semua ilmu sudah kita pelajari dan segala cara juga sudah kita lalui, tetapi perjuangan kita membangun Indonesia masih terasa sangat lambat. Bangsa ini masih jauh tertinggal dari bangsa lain.
Mengapa setelah semua peraturan canggih kita berlakukan, justru kita tidak mampu menjalankannya dengan baik dan menghasilkan sesuatu sesuai dengan yang kita harapkan? Mengapa pelanggaran demi pelanggaran justru sering kita saksikan sehingga sumber daya yang kita miliki berdaya efektivitas rendah?
Pada tahun 1960 an, Korea Selatan adalah sebuah negara tertinggal, jauh di bawah negara kita. Namun, sekarang negara ini telah menjadi negara maju, sejajar dengan negara-negara maju lainnya. Produk-produk negara ini dengan mudah kita temui di Indonesia. Bahkan, bisa dikatakan, produk negara ini telah banyak menggeser produk negara Jepang. Negara ini mendapatkan kemajuannya hanya dalam kurun waktu 50 tahun.
Republik Rakyat Tiongkok (atau kadang disebut Republik Rakyat Cina), dulu adalah negara komunis yang miskin. Tapi, setelah era keterbukaan tahun 1990-an, negara ini memiliki pertumbuhan tertinggi di dunia. Negara ini kini bahkan telah menjadi negara penggerak ekonomi dunia. Mereka mendapatkan kemajuannya dalam kurun waktu kurang lebih 20 tahun, kurun waktu yang sama dengan waktu yang dibutuhkan negara Jepang menjadi negara maju setelah mereka kalah dalam perang dunia II.
Indonesia, sejak reformasi hingga sekarang, dalam kurun waktu 20 tahunan ternyata belum menunjukkan perkembangan yang signifikan. Rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia pada era reformasi rata-rata di bawah 6%, masih di bawah era orde baru yang mencapai 7%. Indonesia saat ini belum bisa berbangga diri untuk menjadi negara yang sejajar dengan negara maju.
Mengapa Indonesia belum juga menjadi negara maju dalam kurun waktu yang kurang lebih sama seperti yang diperlukan oleh negara lain? Penulis meyakini bahwa ketertinggalan Indonesia bukan disebabkan oleh mesin pembangunan Indonesia yang lebih buruk daripada negara lain. Indonesia adalah negara yang melimpah sumber daya alamnya yang dikelola melalui program-program pembangunan yang modern.
Pembangunan Berbasis Rasionalitas
Pembangunan seharusnya merupakan satu set fungsi kompleks yang tidak hanya terdiri dari fungsi-fungsi teknis saja, tetapi juga melibatkan fungsi-fungsi non-teknis. Ibarat kompetisi Formula 1, yang menentukan hasil kompetisi bukan hanya faktor mobil dan pembalap saja, tetapi juga faktor karakter pembalap dan kekompakan tim. Program-program pembangunan adalah faktor teknis, sedangkan implementasinya membutuhkan faktor non-teknis.
Program pembangunan, merupakan produk rasional yang disusun dengan tujuan tertentu. Tidak bisa kita pungkiri, produk rasional tersebut kita pelajari dari negara barat dengan asumsi-asumsi yang ada di negara barat. Sebagai contoh, kontrak yang memiliki karakter full information adalah asumsi yang harus ada dalam fungsi ekonomi modern. Kontrak serta keterbukaan merupakan budaya yang sudah terpelihara di negara barat.
Ketika ilmu ekonomi modern kita terapkan di negeri ini, kita tidak dapat menjalankan ilmu ekonomi modern apa adanya. Sebab, asumsi untuk menjalankan ilmu tersebut tidak tersedia di Indonesia. Kita membutuhkan penyesuaian-penyesuaian agar ilmu ekonomi modern dapat diterapkan sama efektifnya di negara lain. Penyesuaian-penyesuaian tersebut bisa bersifat non-teknis, seperti keterlibatan budaya atau agama.
Perempatan jalan dapat memberikan gambaran pembangunan di Indonesia karena perempatan jalan merupakan gambaran miniatur Indonesia. Di perempatan jalan, terdapat peraturan, aparat, dan masyarakat. Peraturan sudah cukup dibuat dan aparat juga telah banyak melakukan pengaturan, tetapi ketidakteraturan masih menjadi pekerjaan rumah bagi bangsa ini, hingga saat ini.
Mengapa di Indonesia faktor teknis (peraturan dan aparat) tidak bisa bekerja secara efektif untuk menciptakan keteraturan lalu lintas? Jawabannya adalah karena adanya dominannya rasionalitas daripada altruistik.
Secara sederhana, rasionalitas dapat didefinisikan sebagai dorongan masyarakat untuk berperilaku karena mereka bisa memperoleh keuntungan pribadi. Sementara itu, altruistik adalah dorongan masyarakat untuk berperilaku karena bisa memberikan manfaat bagi masyarakat umum dan tidak sekedar dirinya pribadi.
Jika kekuatan rasionalitas lebih kuat daripada kekuatan altruistik, bisa ditebak, masyarakat cenderung akan bertindak sesuai kepentingannya masing-masing, dan hasilnya pun juga bisa diperkirakan, yaitu ketidakteraturan yang akan terjadi. Pelanggaran lalu-lintas akan menjadi pemandangan umum bagi setiap perempatan jalan di negeri ini, dan ini merupakan ciri negara terbelakang.
Peraturan, kebijakan, dan program pembangunan saat ini merupakan produk rasional yang mendorong ekspektasi rasional (rational expectation) masyarakat sebagai pelaku yang akan menentukan hasilnya. Atas suatu kelemahan peraturan, rasionalitas masyarakat akan terus-menerus mendorong mereka untuk mencari insentif bagi kepentingan pribadinya.
Seseorang yang sedang terburu-buru mencapai jam kantor secara tepat waktu akan berusaha melanggar peraturan lalu lintas jika tidak ada sanksi yang lebih besar daripada insentif yang didapat. Seorang supir angkutan umum akan selalu berhenti di sembarang tempat untuk mencari penumpang jika tidak ada sanksi yang lebih besar daripada insentif yang diperoleh. Demikian seterusnya, dan masyarakat akan selalu mempelajari (learning) kondisi di lapangan untuk meningkatkan ekspektasi rasionalnya.
Keadaan seperti ini, tanpa disadari telah mendidik masyarakat untuk memiliki perilaku (behaviour) yang tidak menguntungkan. Dampaknya, pembangunan menjadi tidak bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Program-program pembangunan yang super canggih pun akan berjalan sangat lambat.
Altruistik
Namun, untungnya, terdapat sisi lain manusia yang juga mampu menjadi pendorong yang sangat kuat. Sisi lain tersebut adalah altruistik, atau secara arbitrer, penulis menerjemahkan sebagai “amal”. Tidak selalu manusia akan bertindak berdasarkan kepentingan pribadinya. Setiap manusia juga bisa tergugah sisi amalnya untuk tujuan tertentu.
Misalnya, kita mengenal pasukan berani mati Jepang yang sanggup mengorbankan jiwanya untuk negara. Kita juga mengenal pasukan jihad atau para martir yang bersedia mengorbankan jiwanya untuk agama. Di jalan raya, kita juga masih bisa menyaksikan orang-orang yang dengan tertib tidak mau melanggar rambu-rambu lalu-lintas, walaupun kondisi jalan tidak beraturan dan tidak ada petugas yang mengatur. Sudah pasti, dorongan seperti ini bukan semata-mata untuk mendapatkan keuntungan pribadinya.
Di lapangan, kekuatan altruistik selalu akan bersaing dengan kekuatan rasional pada setiap kesempatan. Dalam dunia yang semakin pragmatis, kekuatan rasional akan cenderung mendominasi kekuatan altruistik. Bahkan, seseorang yang semula tertib dan patuh pada peraturan, dengan cepat dapat segera berubah menjadi pelanggar lalu lintas jika sering menyaksikan para pelanggar justru mendapatkan insentif, sementara yang patuh justru mendapatkan disinsentif.
Ada kecenderungan kuat bahwa peraturan, kebijakan, dan program-program pembangunan kita semakin tidak efektif dan negara kita masih tertinggal dari negara lain karena dominannya rasionalitas ini.
Membangun Berbasis Altruistik
Untuk itu, kita perlu melakukan modifikasi asumsi-asumsi ilmu barat yang kita aplikasikan di Indonesia agar faktor teknis bisa berjalan lebih efektif. Pembuat keputusan harus melibatkan faktor non-teknis dalam program-programnya. Faktor non-teknis seperti budaya dan keyakinan (culture and belief) adalah modal yang harus kita kembangkan karena bisa menjadi pendorong kuat bagi keberhasilan pembangunan.
Negara Jepang bisa menjadi negara maju karena faktor budaya yang sangat menghargai kepercayaan dan kelompok. Negara Amerika Serikat menjadi negara maju karena faktor budaya yang sangat menghargai profesionalisme. Negara Republik Rakyat Tiongkok menjadi negara maju karena faktor budaya yang sangat menghargai kekeluargaan atau jaringan (gianxi).
Indonesia merupakan negara yang kaya dengan faktor informal yang jika dikembangkan dengan baik bisa menghasilkan daya dorong yang sangat kuat bagi efektivitas pembangunan. Misalnya, masyarakat kita mengenal budaya sopan santun yang begitu kuat. Begitu tabunya seorang laki-laki dewasa bertamu ke rumah tetangga yang suaminya sedang tidak di rumah karena bisa menimbulkan fitnah. Budaya ini merupakan dasar bagi praktik berbasis etika (ethics). Misalnya, seorang pejabat seharusnya memiliki rasa malu bertemu dengan seseorang yang sedang berpekara.
Contoh lain, keyakinan kita mengajarkan kebersihan adalah bagian dari iman. Ajaran ini seharusnya bisa menjadi dasar bagi pembuat keputusan agar lingkungan kita selalu bersih, bebas dari sampah. Dalam kasus demontrasi yang diklaim melibatkan jutaan orang tempo hari, selama demonstrasi berlangsung, terdapat pasukan kebersihan yang bekerja secara sukarela (voluntarily) untuk membersihkan sampah-sampah sehingga setelah demonstrasi selesai jalan raya tetap terjaga kebersihannya. Ini adalah contoh-contoh pendekatan informal (informal approach) yang perlu kita gali sehingga bisa menjadi pendorong bagi efektivitas pembangunan.
Integrasi Pendekatan Informal ke dalam Kebijakan Pembangunan
Untuk mengakomodasi pendekatan informal ke dalam pendekatan formal (formal approach), diperlukan kemauan dan kreativitas para pemimpin politik (political leaders) dan birokrasi profesional (professional bureaucracy). Sebagaimana pendekatan formal yang memiliki institusi, pada dasarnya pendekatan informal juga memiliki institusi dengan pemimpin-pemimpin informalnya.
Sangat disayangkan jika pemimpinan politik dan birokrasi profesional saat ini justru tidak memahami dan menganggap pendekatan informal sebagai penghambat pembangunan atau malah kompetitor pendekatan formal yang diusungnya. Dalam banyak kasus, pendekatan informal justru bisa menjadi pengawas yang efektif bagi program-program pembangunan pemerintah.
Dalam sebuah riset, keyakinan agama masyarakat di Bali bisa menjadi alat kontrol yang efektif bagi kredit mikro sehingga kredit macet di daerah tersebut rendah, dan bahkan akumulasi asetnya termasuk yang tertinggi.
Melibatkan pendekatan informal dalam pembangunan seharusnya tidak bersifat artifisial, seperti sekedar mengembangkan seni tari dalam pariwisata saat ini. Pemimpin politik dan birokrasi profesional harus lebih kreatif lagi untuk melibatkan institusi-institusi informal dalam proses pembangunan, jika ingin Indonesia semakin maju.
Rasio itu hanya alat bagi pemiliknya. Jika pemiliknya cenderung serakah dan egois, maka rasio dirinya akan diarahkan ke sifat-sifat tersebut. Demikian juga jika pemiliknya adalah orang yang amanah, maka rasionya juga akan diarahkan menuju penunaian amanah.