Sejurus dengan tulisan Moch. Soedarno tentang salah asuhan di Birokrat Menulis, saya pun memiliki ketertarikan yang sama dengan novel ini. Saya mencoba melihatnya dari sisi lain, tentang human error dalam pengelolaan birokrasi saat ini.
Dalam tinjauan sejarah sastra Indonesia, pernah ditulis novel dengan judul Salah Asuhan, karya Abdoel Moeis. Substansi cerita dalam novel tersebut menceritakan tokoh Hanafi yang bisa disebut menjalani kesalahan terkait tujuan hidup dan proses menjalaninya. Kegagalan yang dialami, jika dijelaskan dengan konteks human error, hal ini bermakna bahwa Hanafi melakukan tindakan (action) yang mengakibatkan kegagalan secara tidak sengaja (inadvertent errors). Hanafi dengan nilai hidup yang dimilikinya mengalami kehidupan yang tergelincir (action-based slip). Dalam lingkup yang lebih luas, telah terjadi kesalahan dalam mengelola proses dalam mencapai tujuan.
Salah Asuhan membuka narasi tulisan ini. Sebab, alur ceritanya terkait dengan suatu nilai dan tujuan hidup, dan hadirnya suatu pengaruh lingkungan. Meskipun tidak dapat secara keseluruhan dianalogikan untuk menggambarkan kembali keseluruhan kondisi Indonesia saat ini, cerita ini dapat mendeskripsikan kondisi NKRI saat sekarang, yaitu fungsi dan peran birokrat sebagai pelaku pembangunan.
Alur cerita dalam novel tersebut menjadi inspirasi dari kenyataan sesungguhnya. Paling tidak, tokoh Hanafi dapat dianalogikan dengan setiap birokrat yang mengalami berbagai bentuk hambatan kinerja dalam kehidupan sistem birokrasi di Indonesia. Seorang birokrat yang ada dalam sistem birokrasi memulai karirnya dengan dasar lingkungan personal yang dimiliki, nilai hidup, dan tujuannya.
Sistem birokrasi di Indonesia sejak jaman Orde Lama, Orde Baru, awal Reformasi, Era Reformasi, dan sampai sekarang selalu dicirikan dengan banyaknya beban sosial, beban ekonomi, serta beban politik yang masif. Beban ekonomi, beban social, dan beban politik dalam makna negatif akan ditentukan oleh banyaknya peristiwa human errors. Dampaknya adalah anti-social welfare yang dirasakan dalam kondisi kekinian, dan nantinya dicatat oleh generasi penerus sebagai bagian sejarah.
Ada harapan, kita dapat banyak belajar dari kurva perjalanan NKRI, di mana jajaran birokrasi berada dalam keyakinan membangun seiring dengan perjalanan NKRI ke depan. Namun, harapan itu bukan jaminan, karena human errors adalah hasil dari peristiwa hulu tentang individu.
Kegagalan Human Error and Mismanagement
Manusia adalah unsur signifikan dalam suatu perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan. Sumber daya lainnya dapat dikatakan sebagai alat, tetapi peran manusia adalah sebagai alat dan cara secara menyeluruh. Atas hal ini, suatu kesalahan yang terjadi di luar perilaku individu akan menjadi technical error.
Kembali pada kehadiran fungsi dan peran jajaran birokrat, dalam konteks sebagai manusia, hal ini tidak dapat dipisahkan dalam konteks individu dan organisasi. Individu yang memiliki nilai dan tujuan hidup sebagai pribadi, dan bagaimana tujuan dan nilai hidup tersebut berjalan dalam koridor organisasi.
Keberhasilan individu sebagai birokrat, karenanya, dapat membangun suatu manajemen yang baik dalam menjaga eksistensi NKRI. Sebaliknya, adanya kegagalan manusia (human failure) dalam bentuk human error dari konteks individu akan menimbulkan masalah bagi organisasi secara kolektif, yaitu adanya mismanagement dalam manajemen birokrasi. Suatu sistem yang dibentuk dengan struktur dan proses akan mengalami distorsi dengan adanya kegagalan peran individu dalam organisasi.
Kembali ke kehidupan tokoh Hanafi dalam Salah Asuhan, suatu realitas kehidupan ditanggung tokoh tersebut dan beberapa pihak terkait alur cerita. Namun, suatu realitas human error dalam sistem birokrasi di NKRI telah dan akan terus akan menyebabkan dampak negatif yang dialami secara luas, dan bersama waktu akhirnya memang sejarah juga akan mencatat pada era generasi bangsa ke depan.
Ironi memang, karena semua dapat disebut salah asuhan, khususnya human errors yang terjadi dalam kasus populer “KKN” di NKRI. KKN terjadi dalam berbagai level, area, waktu, dan cara kejadian. Dalam tataran manajemen birokrasi, fenomena ini terjadi seperti peristiwa kesalahan dengan kesengajaan dalam perencanaan. Terjadinya human error dalam perencanaan dan pembentukan organisasi, pelaksanaan, pengendalian, serta fenomena kekinian yang menyeruak dalam human error di tataran pengawasan.
Wujud mismanagement muncul di lingkungan di mana human error tak terelakan. Penurunan penerimaan publik pada wadah organisasi di mana human errors terjadi adalah risiko mikro dalam berbagai dimensi organisasi. Namun, tidak sampai di sini, karena dampak negatif segera dialami secara luas.
Berbeda dengan Hanafi yang mengalami inadvertent error, maka jajaran pelaku birokrasi di Indonesia sebagai pengambil kebijakan pembangunan justru menghadirkan perilaku yang memenuhi kriteria human error dalam bentuk kesalahan yang direncanakan (thinking error), yaitu sebagai tindakan yang direncanakan, dan memasuki ranah rule-based mistake, atau suatu kesalahan berbasis aturan; meskipun mereka sebenarnya memiliki knowledge-based competence.
Relatif besar pelaku kesengajaan human error dalam KKN adalah individu yang terpelajar. KKN di NKRI adalah kumpulan human error yang terbentuk dari keperilakuan pelaku yang terjadi dalam bentuk ketidakpatuhan pada regulasi, serta pengabaian tentang asumsi hukum terkait sanksi KKN.
Ia terselenggara sebagai hal yang terencana, dipenuhi dalam pola pelanggaran yang disengaja (deliberate non-compliance atau violations). Hal ini kemudian menghadirkan tiga hal dalam KKN. Pertama, KKN yang terdefinisi terjadi “rutin”, KKN yang terjadi karena “situasional”, serta KKN dalam konteks kejadian pengecualian (exceptional) dari peristiwa berkategori illegal act, dan irregularity di Indonesia.
Hal yang sangat mengganggu jalannya kehidupan harmoni berbangsa dan bernegara terjadi dalam tataran politik, dalam bentuk ketidakpatuhan, dan pelanggaran terselubung tetapi disengaja. Suatu peristiwa terkait hilangnya nilai normatif yang digantikan dengan pragmatisme dominasi dari kekuasaan (power). Karenanya, inefisiensi dalam pembiayaan untuk memenuhi disain sistem politik atau peristiwa demokrasi yang menguras APBN/APBD tidak sebanding dengan hasil yang dicapai.
Atas tahapan yang telah ditempuh, NKRI ideal dengan pola manajemen pemerintahan yang good governance tidak terpenuhi. Kondisi ini sulit dicapai karena kelangkaan pemimpin dan ketiadaan nilai kepemimpinan dari pemenang kontes politik.
Dominasi kekuasaan (power) dan pendefinisian kepentingan pada kelompok telah melindas nilai-nilai demokrasi. Gaung kesatuan dalam NKRI menjadi bagian terdepan dan formal saja. Padahal, yang dibutuhkan adalah representasi dari kepemimpinan yang pada saatnya hadir melakukan transformasi dan bukan transaksional atas janji demi kemenangan kontes politik.
Fenomena human error tampaknya menjadi dominan dalam sistem birokrasi. Pengambil kebijakan dan keputusan pembangunan terkait tujuan dan sasaran dari program/kegiatan pembangunan banyak disusupi kepentingan individu dan kelompok. Mismanagement yang terjadi adalah bahaya laten yang terbentuk dari hulunya, yaitu dari nilai dan tujuan hidup individu. Keadaan terkendali terhadap realitas ini juga sulit dicapai karena aspek abstrak dari kualitatif nilai dan tujuan hidup.
Dapat dicatat, peristiwa KKN tidak ditentukan segalanya oleh pemenuhan ekonomi, tetapi upaya untuk mencapai abstraksi dari ungkapan merasa makmur yang sebenarnya tidak ada pembatasnya. Perikatan sosial dan ekonomi dalam legitimasi kekuasaan adalah sangat kentara. Hal yang juga sulit dikendalikan.
Secara normatif, keseluruhannya memerlukan pemahaman bahwa suatu sistem memiliki subsistem, dan juga terkait dengan super sistem. Suatu unit berasal dari hulu sebagai pembentuknya, dan selanjutnya memberi dampak ke hilir. Dimensi hulu dan hilir memiliki rentang panjang seperti titik membentuk garis.
Upaya mencapai good governance justru berhadapan dengan realitas kumpulan human error yang membentuk mismanagement dan perilaku birokrasi yang akuntabel hanya dapat dijelaskan oleh hulunya, yaitu nilai dan tujuan hidup individu. Hal ini tidak keseluruhannya dapat diatur dengan kekuatan hukum, tetapi mesti mendasarinya pada nilai, belief, atau keyakinan terkait agama. Perspektif ini dapat menghindarkan pandangan materi kebendaan sebagai hal yang berdiri sendiri.
Memperhatikan fenomena manajemen birokrasi NKRI, tampaknya diperlukan pemaknaan konteks human error dengan syarat indikatornya yang bukan semata teknis, tetapi pada nilai sikap, serta indikator kesadaran. Sebab, berbagai dampak kegagalan mencapai tujuan sistem dan program, yang ditandai dengan berbagai peristiwa besar KKN yang terungkap, maupun yang tidak, atau belum terungkap, dan potensi keberlanjutannya di Indonesia, menunjukkan tahap pengendalian dan pengawasan yang memakai konsep human error telah memanjakan dan menyelamatkan jajaran koruptor di Indonesia dari ilegal act dan irregularity.
Namun, layak dicermati, dalam konteks sebagai manusia, suatu human error masih dapat dilihat sebagai keniscayaan, serta kelayakannya untuk masih bisa diterima secara sistem (nonformal), yaitu untuk kejadian yang memenuhi kriteria inadvertent errors.
Kenyataannya, dilema etika terjadi saat kriteria kegagalan karena tidak sengaja (inadvertent errors) versus pola pelanggaran yang disengaja (deliberate non-compliance atau violations) memasuki ranah hukum. Human error yang deliberate yang berwujud KKN exceptional bisa saja dipandang sebagai inadvertent error dan sebaliknya. Politik dan lingkungan menjadi penjelas untuk hal ini.
Hal tersebut terjadi karena human error dalam tataran tujuan ekonomi, sosial, dan politik, telah hadir dalam dua sisi, yaitu sebagai sebab dan atau sebagai tujuan. Akumulasi inilah sesungguhnya yang menjadi ancaman NKRI. Karenanya, pemimpin dan jajaran birokrasi harusnya terus dan perlu menyadari tentang human errors dan mismanagement sebagai bahaya laten di NKRI.
0 Comments