Wisata Halal Bagian-1: Fenomena di Negara (Berpenduduk) Non-Muslim

by | Mar 13, 2021 | Perjalanan/Pengalaman | 8 comments

Berwisata merupakan salah satu aktivitas yang dianjurkan dalam ajaran agama Islam. Dalam kitab suci Al-Quran Surat Al-Mulk ayat 15 Allah SWT berfirman: “Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. (QS.67:15, terjemah Al-Quran Kemenag). 

Kemudian di dalam surat Nuh ayat 19-20 Allah berfirman: “Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan, agar kamu dapat pergi kian kemari di jalan-jalan yang luas” (QS: 71: 19-20 terjemah Al-Quran Kemenag). Dengan demikian, bepergian atau menjelajahi dunia dengan maksud yang baik termasuk dengan tujuan berwisata merupakan salah satu ajaran yang disyariatkan dalam Islam.

Definisi Wisata Halal

Pengertian berwisata (tourism) menurut United Nation World Tourism Organization (UNWTO) adalah “aktivitas seseorang atau sekelompok orang yang bepergian untuk tinggal di luar lingkungan biasanya selama tidak lebih dari satu tahun berturut-turut untuk liburan, bisnis, dan tujuan lainnya. 

Kembali menengok ajaran Islam, tujuan atau niat dalam melaksanakan sesuatu, termasuk bepergian atau berwisata, merupakan hal yang penting. Tujuan (niat/intention) dan cara (syariat/conduct) dapat menentukan jenis hukum atas suatu perbuatan seorang muslim. 

Dalam ajaran Islam dikenal 5 (lima) hukum atas suatu zat atau perbuatan (Al Ahkam Al Khomsah) yaitu: 1) Wajib (keharusan), 2) Sunat (dianjurkan) 3) Mubah (halal / boleh / diizinkan), 4) Makruh (tidak disukai), dan 5) Haram (dilarang). Hukum ini berlaku pula dalam urusan bepergian dan wisata.

Bagi seorang muslim bepergian hukumnya wajib dengan tujuan melaksanakan ibadah haji ke Kota Mekkah. Sedangkan hukumnya sunat atau dianjurkan dengan tujuan beribadah umroh ke Kota Mekkah, atau berziarah mengunjungi Masjid Nabawi di Kota Madinah dan Masjid Al-Aqsho di Kota Yarussalem. 

Adapun bepergian menjelajahi dunia dengan tujuan yang baik termasuk untuk berwisata merupakan aktivitas yang diizinkan (halal). Wisata halal didefinisikan sebagai “objek atau tindakan pariwisata apa pun yang menurut ajaran Islam diizinkan untuk dilakukan oleh umat Islam dalam industri pariwisata”.

Di masa awal berkembangnya peradaban Islam, anjuran untuk menjelajah atau bepergian menjadi salah satu faktor tersebarnya ajaran Islam (aktivitas dakwah) ke berbagai penjuru dunia. Sedangkan di masa modern, aktivitas umat Islam berwisata ke berbagai tempat memiliki hikmah diakomodasinya syariat Islam mengenai konsep halal dalam layanan industri pariwisata.

Industri pariwisata dunia memahami bahwa wisatawan muslim membutuhkan layanan yang sesuai ajaran keimanan/kepercayaannya (Muslim Traveler Faith-Based Service Needs). Di antaranya adalah makanan dan minuman halal, fasilitas beribadah seperti mushola, sajadah, dan arah penunjuk kiblat di kamar penginapan.

Tak kalah penting yaitu fasilitas berwudhu (water-friendly washroom) dan suasana toleransi (No Islamophobia). Selain itu adanya objek wisata religi, yang berupa situs budaya dan sejarah Islam, merupakan beberapa di antara destinasi segmen wisatawan muslim.

Meningkatnya awareness atas wisata halal

Berdasarkan survey konsumen, sensitivitas konsumen muslim terhadap kehalalan barang dan jasa semakin meningkat. Lebih jauh studi menyimpulkan ada peningkatan kesadaran (awareness) umat Islam terhadap terhadap kewajiban memilih produk halal dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Sedangkan, kunci utama dari wisata halal adalah kehalalan (diiizinkan syariat Islam) atas semua produk barang dan jasa yang ditawarkan pada setiap aktivitas wisata dari awal sampai akhir.

Key Islamic Consumption Values
Sumber: diadaptasi dari Rodrigo dan Trunbul (2019) dalam Liberato (2020)

Jaminan halal atas produk dan jasa tidak hanya diterapkan sebagai standar kualitas (quality standard) dalam industri pariwisata di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim atau negara-negara anggota the Organization of Islamic Corporation (OIC, sebelumnya OKI) saja.

Akan tetapi, negara-negara non-IOC seperti Jepang, Singapura, dan Thailand juga mempromosikan wisata halal. Menurut GMTI, Negara-negara tersebut dinilai ramah terhadap wisatawan muslim dan dengan serius mengadopsi konsep wisata halal.  Mengapa bisa demikian?

Teori pembangunan ekonomi  masyarakat (Community and Economic Developmet Theory/ CED) dapat digunakan sebagai pendekatan untuk menjelaskan fenomena ekonomi pariwisata halal. Pariwisata halal dapat dipandang sebagai aktivitas ekonomi spesifik yang dihasilkan dari adanya demand (permintaan pasar wisatawan muslim) yang memiliki preferensi dan kebiasaan (costumer preference and behavior) unik berbasis kepercayaan agama.

Adanya permintaan pasar ini secara alami direspons oleh supplier (industri pariwisata) dengan menyediakan barang dan jasa yang sesuai dengan preferensi demi kepuasan konsumen (costumer satisfaction). 

Wisata halal diasumsikan berawal dari aktivitas pariwisata dalam komunitas terbatas/homogeny, yaitu di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. Seiring dengan berkembangnya demand, pasar wisata halal berkembang secara global menembus batas geografis, budaya, dan agama. 

Dengan berlandaskan teori tersebut diasumsikan bahwa adopsi wisata halal oleh industri pariwisata global, terutama di negara-negara nonmuslim, merupakan proses alami mata rantai ekonomi komunitas tanpa adanya intervensi regulasi dari otoritas ekonomi (pemerintah).

Sebuah fenomena global

Wisatawan muslim (muslim traveler) secara global berkembang pesat dari 25 juta wisatawan pada tahun 2014 menjadi 140 juta wisatawan pada tahun 2018. Mereka berwisata ke berbagai negara anggota OIC seperti Arab Saudi, UEA, Maldives, Turki, Malaysia, Brunei, maupun Indonesia. 

Selain itu, wisatawan muslim juga tercatat melancong ke berbagai negara non-OIC yang dinilai ramah terhadap wisatawan muslim, seperti Spanyol, Inggris, Singapura, Korea Selatan, dan Jepang. Chambers of Commerce di Jepang dan Philippines Travel Agencies Association bahkan menyelenggarakan seminar dan training bagi pelaku usaha wisata di negaranya untuk meningkatkan kenyamanan wisatawan muslim. 

Lebih jauh mereka menyiapkan mushola di bandara-bandara utama, dan restoran halal di berbagai tempat. Selain itu disediakan pula booklet panduan wisata yang memuat informasi tentang lokasi masjid dan restoran halal yang ada di kota-kota tujuan wisata.

Secara historis, segmen pasar wisata halal berkembang mulai tahun 2009 sampai tahun 2014. Periode ini disebut sebagai fase emergence of the halal travel market. Selanjutnya, periode 2015-2018 disebut sebagai fase Halal Travel 1.0 dengan konsep kunci (key concept) adaptasi terhadap nilai spiritual (functional and spiritual).  Periode selanjutnya lagi dicanangkan sebagai fase Halal Travel 2.0 dengan setting agenda Halal Travel Development Goals

Dalam upaya mencapai tujuan (goals) tersebut, lembaga multinasional melakukan pengukuran indikator pencapaiannya sebagai model settings. Crescent Rating yang bermitra dengan sektor publik, yaitu kementerian pariwisata di berbagai negara, dan sektor bisnis yaitu MasterCard, merilis Global Muslim Travel Index (GMTI) yang rutin dipublikasikan setiap tahun mulai 2015. 

Untuk memperkaya prespektif data, dirilis pula Muslim Travel Shopping Index 2015; Muslim Business Travel Insight 2016, Ramadhan Travel Report 2016; Muslim Millennial Travel Report 2017; dan Digital Muslim Travel Report 2018. Terakhir, lembaga ini juga mempublikasikan Halal Travel Frontier (2018 dan 2019). 

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa wisata halal ini telah diperhitungkan secara global sebagai potensi yang menjanjikan.

Wisata halal di negara nonmuslim 

Berdasarkan data GMTI, 10 besar negara nonmuslim (Non-IOC) yang menjadi destinasi favorit wisatawan halal dipimpin oleh Negara Asia Tenggara yaitu Singapura dan Thailand. Sebagai negara yang menerapkan ASEAN Economic Community, Thailand dan Singapura telah merespons dengan baik potensi kunjungan wisatawan muslim dari negara tetangganya antara lain Indonesia, Malaysia, dan Brunei. 

Selanjutnya, Inggris (UK) sebagai negara yang memiliki hubungan historis dengan negara-negara muslim di masa kolonialisme merupakan destinasi favorit bagi negara-negara persemakmuran. Industri wisata halal di Jepang juga merupakan fenomena menarik, sehingga Crescent Rating menerbitkan publikasi khusus bertajuk Japan Muslim Traveler Index 2017.

Mengamati fenomena wisata halal yang terus berkembang secara global, tentu saja sedikit “mengusik” kita sebagai warga dari sebuah negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Apalagi, negara kita sangat kaya dengan keindahan alam dan budaya.

Untuk menjawab rasa penasaran tentang bagaimana fenomena wisata halal di Indonesia dan tantangannya di masa pandemi, akan diuraikan pada tulisan berikutnya.

1
0
Satya Laksana ◆ Active Writer

Satya Laksana ◆ Active Writer

Author

Fungsional Perencana Muda di Pemerintah Daerah. Berlatar pendidikan Ekonomi Pertanian dan Kebijakan Publik.

8 Comments

  1. Avatar

    Halo pak, perkenalkan nama saya zharfan kebetulan sekali saya sedang menyusun skripsi mengenai pariwisata halal di negara mayoritas non muslim juga. nah untuk itu izin bertanya, apakah ada referensi lain selain dari GMTI yang menurut bapak bagus tentang hal ini? terimakasih banyak sebelumnya.

    Reply
    • Avatar

      Halo Zhafran. Kalau literature tentang wisata halal secara global sudah banyak tersedia. Baik berbentuk buku, artikel di jurnal maupun laporan lembaga seperti crescent rating. Tips dari saya mencari di mesin pencari artikel jurnal, atau melalui perpustakaan nasional. Bisa mencarinya dengan kata kunci “halal tourism” atau “Islamic tourism”. semangat ya nyusun skripsinya…

      Reply
  2. Avatar

    ini dibatasi karakter per post atau emang sengaja bikin penasaran, thor? jadi nanggung bacanya hehhee.

    sedikit penasaran tentang tantangan di negara non-muslim dalam penerapan halal travel ini, apakah ada penolakan2 yg terjadi dan seberapa besar impact nya dalam mendorong keuntungan bagi mereka?

    Reply
    • Avatar

      Sependek pemahaman dari literature yang saya baca kalau di negara non-muslim ada dua macam ya:
      1. Yang memandang wisata halal murni sebagai peluang bisnis. Kelas menengah penduduk negara muslim seperti negara2 timur tengah, asia tengah, dan Asia tenggara dengan daya beli tinggi dan konsumtif adalah pasar yang menggiurkan. Mereka membaca kesadaran muslimin akan pentingnya kehalalan produk dan jasa juga meningkat. Jadi mereka sangat serius memberikan layanan produk dan jasa yang halal dan mempromosikannya bagi calon konsumennya. Contoh negara2 ini: Jepang, Korea Selatan, Singapura. Di negara2 ini sepertinya murni bisnis dan mereka jarang islamophobia dan tidak risau
      2. Negara yang memiliki hubungan historis dengan eks negara koloni negara berpenduduk muslim. Wisatawan muslim biasanya berorientasi selain wisata juga ada fenomena imigrasi dan mencari pekerjaan. Contoh negaranya seperti: Inggris (UK) dan Spanyol. Di negara2 ini sepertinya ada sedikit kekhawatiran, islamophobia, dan perasaan terancam dari sebagian penduduknya.

      Reply
  3. Avatar

    Mantap banget kak, bermanfaat sekali. Terus memberikan ilmu ya kak👍👍

    Reply
    • Avatar

      sama-sama.. terima kasih komentarnya..

      Reply
  4. Cakbro

    Sangat menarik artikel ini untuk dibaca. Mungkin ini menjadi bagi renungan bagi pengusaha atau pengelola wisata bahwa di negeri kita begitu banyak area wisata yang belum terbangun dengan konsep wisata halal, padahal kita termasuk konsumen muslim terbesar. Contoh kecil saja, dari beberapa Mall (bahkan gedung-gedung perkantoran) yang pernah saya lihat justru penempatan mushola disejajarkan dengan ruang yang paling belakang atau tersembunyi, entah di basement yang menyatu dengan area parkir dengan udara cukup tidak nyaman.

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post