Tiga Pertanyaan Atas Kebijakan Akuisisi Pegadaian dan PNM

by | Nov 16, 2020 | Birokrasi Berdaya | 0 comments

Penyaluran kredit adalah tantangan utama bagi industri perbankan di Indonesia, khususnya untuk bank yang berstatus Badan Umum Milik Negara (BUMN). Sebagai bank Pemerintah, Bank BUMN memiliki tugas ‘politik’ yakni meningkatkan penyaluran kredit kepada UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah).

Misalnya, penugasan pemerintah dalam program Kredit Usaha Rakyat (KUR) kepada bank BUMN. Untuk bank BUMN, target penyaluran KUR bukan hanya tantangan tapi juga tekanan. Dalam hal ini saya bersimpati pada para karyawan dan pimpinan dari cabang bank-bank BUMN. Mereka adalah pihak yang mendapat tekanan terbesar.

Tahun ini, pemerintah merancang kebijakan ‘sinergi’ antara tiga BUMN, yakni Bank Rakyat Indonesia (BRI), Permodalam Nasional Mandiri (PNM), dan Pegadaian. Mereka adalah tiga BUMN besar, yang mendominasi tiga jenis layanan jasa keuangan yang berbeda.  

Pemerintah melalui kementerian BUMN menyatakan bahwa rencana akuisisi PNM dan Pegadaian ke dalam BRI dilakukan dengan alasan membantu penugasan pemerintah dalam penyaluran KUR.

Pada tahun 2014 Pemerintah sempat membahas rencana ‘sinergi’ antara BRI dengan pegadaian. BRI konon juga sudah lama tertarik untuk mengakuisisi Pegadaian untuk melengkapi segmen bisnisnya.

Dari segi usaha, Pegadaian memang luar biasa. Ia tidak hanya mengurusi soal gadai, tapi sudah merambah ke bisnis perhotelan, emas batangan dan perhiasan. Jaringan Pegadaian yang tersebar di pelosok juga memberikan peluang bagi BRI untuk melakukan cross-selling.

Namun, entah karena menjelang pemilu dan Kabinet Presiden SBY saat itu tidak mau mengambil langkah yang salah untuk periode berikutnya, atau karena serikat kerja Pegadaian yang menolak sinergi, rencana ini terhenti.

Rencana sinergi ini kembali muncul di tahun 2020. Bukan hanya dengan Pegadaian, tapi juga PNM. Tidak bisa dipungkiri, sinergi ini akan memberikan dampak positif bagi nilai perusahaan, yakni laba, asset dan sahamnya akan naik. BRI,  bisa dipastikan akan menjadi pihak yang paling diuntungkan dari sinergi ini.  

Hal itu terbukti, karena meskipun baru rencana, minggu ini saham BRI naik. Menteri BUMN bahkan sudah berkoar sejak Februari, “Cepet-cepet beli sahamnya deh”. Meski belum sepenuhnya terealisasi, sinergi ini sepertinya sudah memberikan dampak positif bagi para pemegang saham BRI, terutama komisaris-komisarisnya.

Namun sayangnya, justru tanda-tanda tercapainya tujuan utama pemerintah dalam melakukan sinergi ini, yakni meningkatkan penyaluran kredit kepada UMKM dan akses layanan yang lebih baik bagi masyarakat bawah, belum jelas.

Untuk itu, ada baiknya masyarakat dan pemerintah mengingat kembali kritik yang sering dilontarkan kepada sektor keuangan Indonesia. Secara umum sektor ini dikritik lamban dan tidak efisien.

Kritik tersebut secara khusus ditujukan kepada perbankan, yang dianggap gagal memberikan akses yang memadai kepada penabung dan peminjam. Kritik ini memperlihatkan bahwa tujuan bank BUMN untuk memberikan layanan kepada masyarakat masih belum dilaksanakan dengan baik. Masyarakat dan pemerintah juga perlu ingat bahwa kritik ini menjadi alasan utama yang diutarakan Pemerintah saat mendorong keuangan inklusif sebagai paradigma sektor keuangan Indonesia kedepan.

Ada tiga indikator utama yang sering disorot sebagai bukti ketidakefisienan perbankan di Indonesia. Pertama, tingkat keuntungan perbankan yang sangat tinggi. Kedua margin bunga bersih yang tinggi. Ketiga adalah konsentrasi perbankan.

Di Indonesia, Bank dengan modal modal diatas 500 Trilian (kategori Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) 4), memiliki margin keuntungan paling besar.  Laba atas aset mereka juga lebih tinggi dibandingkan bank-bank lain. Dari tiga tujuh bank BUKU 4, tiga peringkat tertinggi berturut-turut adalah bank milik Negara, yakni BRI, Mandiri dan BNI.

Meskipun pandemi Covid-19 sempat menurunkan kinerja ketiga bank ini, namun indikator-indikator kesehatannya masih berada pada posisi tertinggi jika dibandingkan dengan bank-bank di kawasan Asia. Sebaliknya, pandemic menyebabkan bank-bank kecil di Indonesia semakin terhimpit, bahkan terancam merger.

Sebuah riset pada tahun 2017 menunjukkan bahwa kesuksesan bank BUMN BUKU 4 ditopang oleh akses ke dana negara. Bank-bank ini “terhubung secara politik” sehingga diuntungkan dengan memperoleh biaya pendanaan yang lebih rendah.

Masyarakat bisa menduga hal tersebut dengan mudah. Akses kepada dana negara ini diantaranya terlihat dari pembayaran gaji ASN, beasiswa negara, bantuan sosial, atau pajak, yang hanya bisa dilakukan melalu bank-bank tertentu saja.

Maka, kembali kepada rencana ‘sinergi’ antara BRI, PNM dan Pegadaian, tiga pertanyaan yang penting ditanyakan kepada diri Anda sendiri sebagai masyarakat Indonesia, dan kepada Pemerintah sebagai pengawas BUMN, atas kebijakan ini adalah:

Pertama, apakah menurut Anda sinergi ini akan benar-benar bisa meningkatkan kualitas layanan keuangan BRI kepada UMKM dan masyarakat bawah? Kedua, apa ukuran kongkritnya? Ketiga, bagaimana BRI akan mencapainya? Saya memiliki harapan, bahwa jawaban atas pertanyaan mengenai ukuran kualitas bukan sekedar saham dan laba. Karena keduanya lebih tepat menjadi ukuran sukses untuk para komisaris saja.

3
0
Resya Kania ♥ Associate Writer

Resya Kania ♥ Associate Writer

Author

Resya bekerja di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dan saat ini sedang menempuh tugas belajar di University of Birmingham.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post