Tentang Kesejahteraan – Bagian II: Sebuah Ikhtiar Reflektif tentang Pancasila

by | May 4, 2021 | Refleksi Birokrasi | 1 comment

Tulisan ini merupakan kelanjutan dari artikel pertama yang telah diterbitkan pada 29 Maret 2021.

Tentang Kesejahteraan – Bagian I: Sebuah Ikhtiar Reflektif tentang Pancasila

Dalam artikel tersebut telah diuraikan tentang realitas kapitalisme, dialektika Pancasila, serta hubungan antara alam, manusia, dan energi. Bagian kedua ini merupakan lanjutan dan simpulan refleksi penulis tentang topik Pancasila dan kesejahteraan.

Output Produksi

Ilmu ekonomi modern sangat menjunjung tinggi produktivas yang diwujudkan dengan output barang dan jasa. Proses produksi berlomba-lomba agar efektif, efisien, dan ekonomis; sehingga dapat memaksimalkan laba yang pada gilirannya menjadi cerminan pemupukan modal.

Mekanisme ini, tidak bisa dipungkiri, telah menghasilkan kemajuan teknologi yang luar biasa dalam penemuan alat (faktor) produksinya: seperti mesin-mesin dan berbagai barang konsumsi. Kompetisi terbukti mampu memotivasi pelaku ekonomi untuk melakukan berbagai inovasi, yang pada gilirannya tidak hanya memudahkan proses produksi tetapi juga berbagai kemudahan dalam hidup.

Hal ini sangat terasa ketika kita dapat menikmati barang-barang konsumsi yang berkualitas. Di balik itu, kelemahannya adalah pemodal besar cenderung menang dalam persaingan karena mereka mampu menciptakan output lebih efektif, efisien dan ekonomis, dengan membeli alat-alat produksi paling canggih.

Jika pendapatan penduduk diidentikkan pada besaran output ini, maka komunitas organisasional seperti negara kemudian mendasarkan kinerja ekonominya pada kelompok pencipta output ini. Mereka diharapkan dapat berproduksi dengan maksimal, sehingga kegiatan ekonomi berlangsung sesuai harapan.

Jika kelemahan ini tidak diantisipasi, bukan tidak mungkin akan melahirkan oligarki ekonomi, bahkan politik. Selain itu, ketimpangan bisa jadi akan semakin besar karena pihak yang dapat memanfaatkan peluang adalah mereka yang telah mapan secara modal.

Sejarah mencatat, ketimpangan seringkali menjadi penyebab perpecahan, dan ini tentu saja tidak sejalan dengan semangat persatuan yang tersurat jelas dalam ideologi kita. Sebagai ikhtiar solusi, pemerintah telah mendirikan entitas-entitas bisnis yang dimiliki oleh negara, yang idealnya memiliki kemampuan melakukan produksi secara efisien sehingga potensi labanya bisa direalisasikan dan didistribusikan.

Jika dilepaskan begitu saja pada mekanisme pasar, bukan tidak mungkin tidak ada kesempatan bagi pelaku usaha kecil untuk berkembang. Yang dibutuhkan tidak hanya kompetisi, tetapi juga kolaborasi.

Dalam konteks tertentu, kompetisi memang dibutuhkan seperti pada entitas-entitas yang seukuran. Namun, untuk entitas yang berbeda ukuran, dibutuhkan kolaborasi, sekaligus sebagai perwujudan gotong royong.

Negara juga bisa melakukan intervensi melalui kebijakannya agar terdapat insentif untuk gotong royong dan tidak tercipta konglomerasi yang lama-kelamaan seolah semakin besar bak bola salju. Dalam spektrum yang lebih liberal, pemupukan kapital dapat diijinkan sepanjang hal tersebut tidak menciptakan risiko perpecahan.

Pasar Inklusif

Untuk menciptakan pola kompetisi yang sehat dan bernuansa kolaboratif, diperlukan tatanan pasar yang bersifat inklusif. Pasar hendaknya dibuat sedemikian rupa sehingga pelaku ekonomi dapat secara mudah masuk ke pasar.

Jika negara telah berkomitmen untuk berperan dalam perekonomian, maka negara dapat memulai dari dirinya sendiri untuk menyelenggarakan pasar secara terbuka, misalnya dalam melakukan kegiatan belanjanya. Negara yang berperan besar dalam perekonomian biasanya memiliki kegiatan belanja yang signifikan.

Di sinilah peluang negara pertama-tama untuk menyelenggarakan pasar secara inklusif. Perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme akan menghalangi penciptaan pasar inklusif ini karena cenderung mengarahkan penerima belanja pemerintah hanya pada sekelompok golongan.

Dari sini kemudian mulai terjalin persekutuan penguasa dan pengusaha, yang apabila tidak diantisipasi dapat mengarah pada konsentrasi kekuasaan yang ekslusif. Cara kerjanya kemudian tidak hanya pada kegiatan belanja negara, tetapi mengarah pada penggunaan wewenang yang menguntungkan pihak-pihak tertentu yang memiliki akses kekuasaan.

Dari sisi pemburu rente, kondisi tersebut menjadi status quo, sehingga berupaya menghalangi banyak pihak untuk masuk dalam akses tersebut. Akibatnya, pasar menjadi tidak efisien dan minim kompetisi.

Dari sisi normatif, ideologi kita menghendaki adanya kesetaraan. Oleh karenanya, upaya-upaya yang mengarah pada kekuasaan yang ekslusif seharusnya tidak terjadi, yang dalam konteks ini dapat merusak tatanan ekonomi yang kita cita-citakan.

Pasar inklusif memerlukan keterbukaan dan oleh karenanya secara sosial-politik memerlukan demokrasi. Demokrasi juga menjamin hak-hak individual dalam melakukan kegiatan ekonomi dan penghargaannya terhadap kepemilikan. Hak-hak inilah yang perlu dijaga terutama mengenai kebebasan individunya.

Perlu ditekankan bahwa tujuan dari pendirian negara adalah untuk kemakmuran rakyatnya, bukan negara memupuk kekayaan untuk dirinya sendiri. Jika kebebasan individu dapat dihalangi oleh kekuatan negara, dan kita telah sepakat bahwa negara diijinkan masuk terlibat dalam perekonomian bahkan sebagai pelaku, maka kebebasan yang kita miliki tentu saja terbatas.

Namun, negara juga perlu mawas diri, sehingga tidak terlalu mencampuri ranah privat, terlebih menghalangi inovasi dan menghambat entitas swasta masuk ke pasar. Harus ada satu titik keseimbangan mengenai peran negara dan swasta ini, yaitu mencegah ketimpangan dan mewujudkan persatuan.

Jika peran negara hanya akan membuat ketimpangan lebih besar, seharusnya ditolak. Dan jika peran negara berpotensi membuat persatuan nasional terancam, seharusnya juga ditolak. Terlebih jika peran negara hanya akan menciptakan perilaku tidak baik, tidak produktif dan korup, juga harus ditolak.

Jika sudah mengarah pada hal-hal tersebut, negara sebaiknya cukup menjadi penengah yang adil. Peran utama negara adalah menjamin keadilan, termasuk di bidang ekonomi. Jika negara ikut menjadi pelaku dengan membuat entitas usaha, ikhtiar tersebut adalah peran tambahan.

Sebenarnya, ada tugas berat di sini. Sebab, bertindak sekaligus sebagai pengadil dan pelaku, sehingga terdapat potensi konflik kepentingan. Jika tidak diantisipasi, hasilnya justru tidak optimal bagi keduanya. Mengenai peran negara, jika dikelola dengan baik terbukti dapat berdampak positif.

Banyak negara yang mengalami percepatan pembangunan karena fungsi negara sebagai pengarah dapat berjalan konsisten. Namun, banyak juga negara yang terpuruk jatuh karena negara gagal mengelola perannya tersebut. Oleh karenanya, memang diperlukan rumusan yang jelas mengenai batas-batas sampai sejauh mana tindakan negara efektif, terutama terkait dengan potensi konflik kepentingan tersebut.

Sebab apa yang terjadi pada negara tentu saja akan berdampak pada rakyatnya. Urutan idealnya adalah, negara terlibat dalam kegiatan ekonomi untuk memakmurkan warganya, dan berangkat dari kemakmuran ini kemudian terjalin solidaritas. Solidaritas ini tentu saja bukan solidaritas satu kelompok untuk melawan kelompok lain.

Solidaritas ini adalah solidaritas seluruh bangsa Indonesia. Agar solidaritas ini lebih mudah terbangun, negara berkepentingan untuk mengurangi ketimpangan. Sedangkan mekanisme ini dapat berjalan berkesinambungan apabila manusianya dapat hidup secara harmonis dengan ruang tempatnya hidup.

Beragama secara progresif

Sebagai pengendalian diri agar mekanisme tersebut dapat bekerja, kita memerlukan semacam pondasi, yang bisa kita temukan dalam agama. Namun demikian tidak cukup jika cara beragama kita hanya bernuansa ritual dan berjarak dengan realitas ruang dan waktu.

Spiritualitas nusantara pada dasarnya adalah spiritualitas yang progresif, yang meskipun tidak begitu mementingkan pemupukan kapital, namun memiliki pijakan realitas yang cukup kuat. Hubungan rakyat dan penguasa yang berkesan politis, bahkan memiliki nuansa spiritual.

Model ini adalah modal dasar kita. Kita hanya tinggal memasukkan kesadaran, bahwa usaha-usaha untuk kesetaraan ekonomi, bahkan perjuangan kelas, juga memiliki dimensi spritual. Keberagamaan ini sekaligus juga menjadi sumber moralitas manusianya.

Kita sebenarnya tidak perlu berlelah-lelah menyusun satu moralitas baru, karena agama sudah cukup memberikannya. Akhirnya, manusia Pancasila pada dasarnya adalah manusia yang pandai berefleksi, yang menjadikan realitas sebagai sumber kemakmuran sekaligus pengayaan spiritualnya.


3
0
Aldiles V. Septian ◆ Active Writer

Aldiles V. Septian ◆ Active Writer

Author

“Penulis adalah ASN yang bermukim di Depok dan berkantor di Jakarta. Terbuka untuk diskusi dan dapat dihubungi di [email protected]

1 Comment

  1. Subroto

    Tulisan yang sangat menarik karena menawarkan semacam titik tengah equlibrisasi antar kedua paham yang berseberangan yakni kapitalis dan sosialis. Namun demikian belum terlihat konsep pragmatis untuk mendeliberasi dalam kenyataan untuk diterapkan dalam penyelengaraan kepemerintahan dan negara.
    Teruskan menulis dan diharapkan lanjutan artikelnya agar tidak seperti saat ini Pancasila hanya baru bisa dipampang dalam dinding-dinding ruang kantor penyelenggara sekedar penghormatan namun belum bisa memaknai untuk diterapkan dalam keseharian dlam berbangsa dan bernegara.

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post