Sidang Itsbat: A Not Unpredictable Ending Drama

by | Apr 4, 2022 | Birokrasi Melayani, Refleksi Birokrasi | 3 comments

Sebagai orang awam, saya selalu menanti pelaksanaan Sidang Itsbat dengan antusias. Kadang, demi mengetahui hasilnya, saya harus menunda acara lain dan menongkrongi layar TV sampai saya mendapat informasi yang saya butuhkan.

Untunglah, sekarang gawai kita sudah begitu canggih, sehingga informasi seperti itu cepat tersebar dalam berbagai bentuk tanpa harus terikat berlama-lama di depan TV.

Saya yakin, banyak orang seawam saya yang melakukan itu. Terutama, ibu-ibu rumah tangga yang harus mempersiapkan diri untuk menyongsong hari besar, demi melaksanakan tugasnya sebagai pengelola rumah tangga yang baik.

Dalam pandangan saya, Sidang Itsbat ini begitu penting karena dari hasilnya kita bisa mengetahui kapan awal puasa, atau kapan hari lebaran tiba. Tetapi, benarkah Sidang Itsbat menempati posisi sepenting itu?

Sependek pengetahuan saya, Sidang Itsbat dilaksanakan jelang bulan-bulan ibadah umat islam, seperti Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Di bulan lain, karena tidak ada aktivitas ibadah massal di situ, maka tidak pernah ada sidang itsbat yang dilakukan. Berarti dalam setahun, setidaknya sidang itsbat dilaksanakan tiga kali.

Untuk acara sepenting itu, sejumlah tokoh diundang. Ada pimpinan-pimpinan lembaga pemerintahan di Kementerian Agama, lembaga yang membidangi astonomi, ketua-ketua ormas keagamaan (khususnya Islam), sampai perwakilan negara-negara sahabat yang tergabung dalam ASEAN.

Apa yang Dibahas dalam Rapat itu?

Mohon maaf, saya tidak pernah mengikuti dan menyaksikan secara langsung. Akan tetapi berdasarkan namanya, Sidang Itsbat itu adalah penetapan. Karena yang dibahas adalah penentuan hari-hari raya.

Apalagi setelah itu, hasilnya akan diumumkan oleh Menteri Agama. Keputusan itulah yang (seharusnya) diikuti oleh semua umat islam di Indonesia untuk beribadah, karena hasilnya menjadi penentu apakah sudah saatnya melakukan ibadah tertentu seiring dengan pergantian bulan.

Sebelumnya, ratusan kelompok pemantau ditebar ke muka bumi Indonesia untuk meneropong hilal. Dalam benak saya, teropong canggih yang digunakan itu bisa menjadi alat bantu yang efektif untuk menemukan hilal.

Laporan dari semua pemantau inilah yang kemungkinan dilaporkan secara berjenjang kepada otoritas yang menguasai itu, dan untuk selanjutnya di teruskan ke forum Sidang Itsbat.

Situasi pemantauan hilal juga kadang digambarkan secara dramatis oleh reporter TV: bahwa hilal bisa terlihat dan bisa juga tidak. Saya sebagai pemirsa biasa menjadi ikut deg-degan. Apakah hilal akan terlihat atau tidak. Jawaban atas pertanyaan ini akan berarti apakah besok kita mulai puasa, sudah waktunya lebaran, atau belum.

Drama akan menjadi semakin seru jika ada ormas yang sudah terlebih dahulu mengambil sikap sebelum keputusan Sidang Itsbat  diumumkan oleh Menteri Agama.

Sebagai orang awam, saya hanya bisa penasaran, apa gerangan yang membuat sebuah ormas bisa begitu mudah mengambil keputusan, sementara pemerintah dan ormas lain rela menahan nafas untuk menunggu hasil sidang.

Dari proses, dari begitu banyaknya orang yang terlibat, dari hasilnya, terlihat bahwa Sidang Itsbat ini amat penting, dan harus dilakukan.

Benarkah Sepenting itu?

Karena rasa penasaran, saya mulai mencari tahu. Sampailah saya pada pengetahuan bahwa perbedaan hasil keputusan itu terjadi karena perbedaan metode, yaitu antara hisab dan rukyat. Hisab mengandalkan hitungan untuk menentukan posisi bulan, rukyat mengandalkan penglihatan langsung terhadap bulan.

Keduanya mempunyai alasan dan dalil yang mendasari argumentasinya. Hal itu lalu membawa pertentangan soal hisab dan rukyat, seolah-olah hisab hanya milik ormas tertentu, dan rukyat milik ormas tertentu lainnya, yang kemudian diperhadapkan secara head-to-head. Akan tetapi semakin saya dalami, ternyata bukan di situ letak masalahnya.

Seorang ahli kemudian menyebut ormas yang menggunakan metode hisab sudah ketinggalan zaman. Nah, lo. Bukannya yang mengandalkan rukyat yang ketinggalan zaman?

Alhasil, saya memperluas pencarian. Berbagai referensi saya buka, dan sejumlah informasi saya himpun. Lalu tibalah saya pada pengetahuan baru bahwa ternyata bukan perbedaan metode yang menimbulkan perbedaan, melainkan perbedaan kriteria.

Karena faktanya, kedua pihak sama-sama menggunakan hisab. Hanya kriteria penentuan yang membedakan. Ada yang menggunakan kriteria wujudul hilal, ada yang menggunakan kriteria imkaanurrukyat.  

Apa Maksudnya?

Lewat diskusi dengan berbagai pihak, dan mengelaborasi berbagai informasi, saya mengetahui bahwa kriteria wujudul hilal, secara sederhana, tidak mempersyaratkan hilal mesti berada pada ketinggian tertentu untuk dianggap sebagai penanda masuknya bulan baru.

Asalkan hilal sudah wujud, maka terpenuhilah kriteria bulan baru. Sementara kriteria imkaanurrukyat mempersyaratkan ketinggian tertentu yang memungkinkan untuk dirukyat (dilihat) baik dengan menggunakan alat bantu, maupun dengan mata telanjang.

Fakta pada tanggal 1 April yang lalu, berdasarkan hisab hakiki wujudul hilal yang digunakan oleh salah satu ormas, hilal sudah wujud dengan ketinggian lebih dari 3 derajat. Hampir  sama dengan hasil sidang itsbat yang diumumkan oleh Menteri Agama, yang juga menunjukkan angka 3 derajat. Jadi sekarang kita pahami bahwa masalahnya benar-benar hanya pada perbedaan kriteria.

Karena berdasarkan sediaan data astronomis yang ada, baik ormas maupun pemerintah, sudah bisa mengetahui persis ketinggian bulan pada saat matahari terbenam pada hari Jumat tanggal 1 April 2022 yang lalu.

Bukan lagi persoalan apakah sudah berada di atas ufuk atau di bawah ufuk. Kita bahkan bisa mengetahui dengan tepat apakah hilal bisa terlihat, baik dengan alat maupun dengan mata telanjang, atau tidak.

Semua secara persis bisa diketahui melalui seperangkat tools yang canggih. Hal itu lalu ditegaskan melalui Penjelasan Prof Thomas Jamaluddin bahwa meskipun ada yang mengaku melihat hilal, kesaksiannya harus ditolak karena visibilitas hilal tidak memungkinkan untuk tampak di mata pengamat.

Drama yang Mudah Ditebak Ending-nya

Tiba-tiba saya merasa geli dengan pengalaman saya menunggu hasil Sidang Itsbat selama ini. Kalau ending-nya sudah bisa diketahui jauh-jauh hari sebelumnya, mengapa saya masih repot-repot menontonnya?

Bukankah jika hilal belum bisa terihat, tidak usah kita teropong lalu bersidang. Kita cukupkan saja bilangan bulan menjadi 30 hari.  Atau jika ketinggian hilal sudah memenuhi kriteria imkaanurrukyat, tidak usah juga diteropong karena pasti akan ada yang melihatnya?

Sebagai seorang yang awam, saya penasaran, siapa gerangan sutradara di balik drama yang ending-nya mudah ketebak ini? Dalam hati saya bertanya, kalau pengetahuan kita sudah semaju itu, masih perlukah semua dramatisasi Sidang Itsbat itu dipentaskan ke publik?

Iseng-iseng saya menghitung, berapa biaya yang habis untuk mengerahkan pemantau pada lebih dari 100 titik pantau di Indonesia, dan biaya untuk Sidang Itsbat sendiri? Hasilnya, ah, bikin gelisah kalau dibuka di sini.

Wallahu a’lam.

6
0
Andi P. Rukka ◆ Professional Writer and Active Poetry Writer

Andi P. Rukka ◆ Professional Writer and Active Poetry Writer

Author

ASN di Badan Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Wajo. Tulisan Andi P. Rukka sangat khas, berusaha mengkritisi ketidakberdayaan sebagian besar birokrat di negeri ini.

3 Comments

  1. Avatar

    Tercerahkan….cocok ladde’👍

    Reply
  2. Avatar

    Sangat menginspirasi. Betul ada banyak yang dapat dihemat jika sidang isbat ditiadakan secara formal. Cukup dilakukan para pakar astronomi, ilmu falak atau ilmu hisab.. Sambil menghisap rokok jika mau.. Hehe

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post