Seni Mentoring dalam Membangun Kapabilitas Pengawasan

by | Oct 7, 2019 | Birokrasi Berdaya | 3 comments

“Dapatkan dokumen dari sumber yang sah. Meskipun valid, kalau cara mendapatkannya tidak sah, bisa jadi masalah nantinya.”

Entah berapa kali pengendali teknis (dalnis) saya mengingatkan kami tentang cara perolehan dokumen. Meski masa kerja saya lebih dari dua puluh tahun dan berstatus sebagai auditor, penugasan saya lebih banyak ke pendampingan, bukan audit. Pernah memang, tapi dulu sekali, saat reformasi baru saja menggantikan orde baru dan saya pun masih begitu lugu dan culun.

Antara penugasan pendampingan dan audit membutuhkan kompetensi yang berbeda. Meskipun, keduanya sebenarnya saling melengkapi. Ketika seorang sudah malang melintang dalam penugasan audit, bukankah dia juga seharusnya memahami permasalahan dari temuan-temuan yang selama ini dia dapatkan.

Lalu, dengan berbekal temuan tersebut auditor membuat rekomendasi. Ketika kemudian si auditor memainkan perannya sebagai pendamping, bukankah dia sebenarnya juga sudah memiliki pemahaman tentang apa yang seharusnya diperbaiki berdasarkan rekomendasi-rekomendasi yang selama ini diberikan.

Bagaimana dengan sebaliknya?

Pengalaman saya sebagai pendamping laporan kinerja selama sekian tahun cukup lumayan untuk memahami proses bisnis instansi pemerintah. Interaksi yang intense ketika menggali alat ukur kinerja instansi pemerintah memberikan bekal yang cukup untuk memahami esensi mengapa suatu instansi pemerintah harus ada.

Hanya saja, seperti yang saya sampaikan, untuk menjadi auditor saya perlu me-refresh dasar-dasar auditing saya, ditambah membaca kasus-kasus korupsi tentunya. Tentu saja, saya juga butuh mempraktikkannya dalam penugasan.

Dalam hal ini, saya sangat beruntung karena dalam penugasan pertama setelah sekian tahun meninggalkan kantor dan meninggalkan dunia audit, saya mendapatkan pengendali teknis yang tangguh dan kritis. Ilmu yang saya peroleh dari buku tidak akan pernah dapat melengkapi kompetensi seorang auditor yang handal, karena ada banyak hal yang baru bisa didapatkan ketika kita terjun ke lapangan.

Dari dalnis inilah saya belajar banyak hal, dari perencanaan audit yang baik hingga pelaporan, termasuk pemilihan kata dan kalimat yang tepat agar mudah dipahami. Bagaimanapun, menulis laporan beda dengan menulis blog yang selama ini sering saya lakukan.

Apa yang saya ceritakan di atas pada prinsipnya adalah bagian dari proses mentorship. Menurut Wikipedia, mentorship didefinisikan sebagai suatu hubungan di mana seseorang yang memiliki pengalaman atau pengetahuan yang lebih membantu atau mengarahkan mereka yang pengalaman dan pengetahuannya kurang.

Mentor tak selamanya ditentukan oleh usia. Yang terpenting mentor punya kelebihan atau keahlian lebih dibanding mentee. Dalam tulisan ini saya akan mengeksplorasi bagaimana aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) dapat meningkatkan kapabilitasnya melalui proses mentorship yang efektif dalam setiap penugasan, dilihat dari akar sejarah dan praktek yang terjadi saat ini.

Akar sejarah

Dee W Hendersen menulis artikel berjudul Enlightened Mentoring: A Characteristic of Public Management Profesionalism, yang diterbitkan pada tahun 1985. Artikel tersebut langsung membuat saya terpana sejak paragraf pertama.

Henderson mengatakan bahwa mentoring tak bisa dilepaskan dari kata ‘mentor’ yang merupakan salah satu tokoh dalam epos the Odyssey karya Homer kedua. Dalam karya sebelumnya, Homer berhasil menginspirasi Alexander the Great untuk menaklukkan dunia.

The Odyssey merupakan kisah kelanjutan bagaimana perjalanan pulang Odysseus, Raja Ithaca yang juga merupakan pahlawan pada Perang Troya, yang memakan waktu hingga sepuluh tahun. Karya Homer ini mengisahkan Odysseus yang memiliki istri bernama Penelope dan seorang anak laki-laki, Telemachus.

Mentor adalah teman Odysseus. Dialah yang dipercaya oleh Odysseus untuk mendidik anak laki-lakinya, Telemachus. Dalam kisah tersebut, Mentor digambarkan sebagai laki-laki yang sudah tua dan biasa-biasa saja. Suatu ketika Dewi Athena, yang merupakan salah satu dewa dalam mitologi Yunani Kuno, menyamar sebagai mentor dan membimbing Telemachus muda.

Telemachus selanjutnya banyak belajar dari mentor yang kelak di kemudian hari sangat berpengaruh terhadap caranya menghadapi tantangan. Telemachus inilah yang juga menjadi tokoh sentral dalam karya kedua Homer ini.

Peran mentor dalam sejarah dapat juga ditelusur dari bagaimana Aristoteles mampu menginspirasi Alexander the Great menaklukkan dunia. Dalam tulisan Membentuk Karakter Birokrat Sehebat Alexander the Great kita bisa melihat bagaimana Aristoteles membangun karakter Alexander, termasuk memperkenalkannya dengan Achilles, tokoh dalam peperangan Troya dalam Epos Homer pertama, the Illiad. Aristoteles pulalah yang selalu membangkitkan kepercayaan diri Alexander.

Mentorship di Sektor Publik

Dalam literatur manajemen, kajian tentang mentorship ini cukup banyak. Sayangnya, implementasi konsep ini di organisasi sektor publik masih sangat kurang digali, kecuali di bidang pendidikan dan kesehatan. Menurut Henderson, mentor mewujud dalam bentuk pelatih, pembimbing, guru, atau menjelma menjadi interaksi one-on-one antara mentor dan mentee dalam rangka membangun kepemimpinan.

Menurut Henderson, mentorship dapat menjadi salah satu faktor pendorong bagi seseorang untuk meraih kesuksesan. Menurutnya lagi, pada umumnya orang-orang yang mencapai kesuksesan tak bisa dilepaskan dari peran mentor.

Hasil riset yang dilakukan oleh Wilder dan Guthmiller juga menunjukkan bahwa mentoring, yang merupakan salah satu komponen yang sangat vital dalam membangun leadership, juga memiliki peran yang krusial terhadap proses pengembangan pengetahuan dan metode kerja.

Meski demikian, Siemer (2000) dalam artikelnya yang berjudul Public Administration Mentorship: Conceptual and Pragmatic Consideration memberikan warning terhadap beberapa teknik mentoring klasik yang sering dijumpai di sektor publik. Program mentoring yang sering didesain secara formalistik menjadi satu kebijakan dipandang tidak cukup efektif.

Beberapa permasalahan yang sering terjadi dalam proses mentoring semacam ini adalah adanya unsur keterpaksaan para mentor yang ditunjuk, evaluasi program mentoring tidak berjalan, proteges atau mentee tidak memiliki hak untuk memilih mentor, dan tujuan program tidak tersampaikan dengan baik. Permasalahan lain yang juga sering muncul adalah interaksi antara mentor dan mentee yang terlalu singkat sehingga dalam banyak hal proses yang berjalan hanya sebatas penyampaian informasi.

Membangun APIP dengan Mentorship

Mentorship seperti apakah yang tepat untuk aparat pengawas internal pemerintah (APIP)? Pada dasarnya, job character atau jenis penugasan APIP sangat mendukung proses mentorship berjalan secara efektif. Sebagaimana yang saya ceritakan dalam intro tulisan ini, penugasan yang dilaksanakan dengan pola kerja tim, yang sering dilakukan oleh APIP, secara langsung membentuk pola hubungan antara anggota tim dengan ketua tim, atau pun antara tim dengan pengendali teknis (dalnis).

Pola hubungan semacam ini secara tidak langsung menempatkan pengendali teknis pada peran sebagai seorang mentor, ketua dan anggota tim sebagai mentee. Atau, ketua tim pun bisa berperan sebagai mentor bagi anggota tim.  Meskipun tak harus selalu demikian, dalam beberapa hal anggota tim bisa saja menjadi mentor, misalnya dalam penguasaan information technology (IT) untuk mendukung audit.

Interaksi yang intens selama penugasan bagi APIP, dari proses penyiapan surat tugas hingga penyusunan laporan memungkinkan tim untuk melakukan knowledge sharing. Bagi anggota tim, mereka secara langsung dapat menimba ilmu dari ketua tim yang memiliki pengalaman yang lebih. Ikatan kerja dalam sebuah surat penugasan setidaknya cukup menjadi faktor yang memaksa ketua tim untuk memerankan diri menjadi mentor yang mengarahkan kegiatan audit.

Dalam hal ini, baik ketua tim atau pengendali teknis dengan peran sebagai mentor memiliki kepentingan agar penugasan dapat berjalan efektif. Sehingga, proses mengarahkan, membimbing, dan meriviu harus dilakukan.

Jika tidak, tentu akan berpengaruh pada kualitas hasil pengawasan. Belum lagi, tanggung jawab akibat kegagalan melakukan fungsi mentor bisa berakibat pada kegagalan penyelesaian tugas sesuai dengan standar, yang pada akhirnya dapat berpengaruh terhadap reputasi organisasi.

Di sisi lain anggota tim pun bisa meningkatkan kapasitas diri dan kemampuannya dari interaksi yang terbangun secara intensif dari proses perencanaan hingga pelaporan hasil audit. Hal ini senada dengan pendapat Rhys Andrews yang menyatakan bahwa interaksi dan hubungan antar anggota organisasi merupakan hal yang fundamental dalam menumbuhkan dan berbagi pengetahuan, yang pada akhirnya turut berkontribusi terhadap kinerja organisasi.

Internalisasi Nilai dengan Efektif Mentorship

Interaksi yang intens selama penugasan tidak hanya memungkinkan terjadinya pertukaran pengetahuan, tapi juga nilai-nilai. Dalam hal ini proses pembentukan karakter bahkan dapat dilakukan di sini, meski tak selamanya harus dilakukan secara formal.

Kebersamaan dalam penugasan, termasuk dalam perjalanan yang bisa jadi menempuh waktu berjam-jam ataupun ketika menikmati sarapan saat bertugas di luar kota, dapat menjadi sebuah quality time untuk berbagi informasi, pengetahuan, atau bahkan menanamkan nilai-nilai organisasi.

Terjun secara langsung melakukan audit dengan ketua tim yang berperan sebagai mentor memungkinkan anggota tim untuk mengamati, belajar, dan mereplikasi apa yang telah pelajari selama penugasan. Hal yang sama juga terjadi dalam interaksi tim dengan dalnis. Sebaliknya, hal-hal yang negatif pun dapat ‘dipelajari’ dan ‘direplikasi’oleh mentee.

Sama halnya dengan apa yang saya lakukan beberapa minggu lalu di mana saya justru banyak belajar dari anggota tim. Proses pembelajaran yang saya dapatkan secara terus menerus saat kami berinteraksi memungkinkan saya untuk belajar menyelesaikan tugas secara cepat, tepat, dan dapat dipertanggungjawabkan. Tak hanya itu, interaksi yang intens juga memungkinkan saya untuk mengamati sikap hidupnya dan mengambil pelajaran darinya.

Epilog

Karakter penugasan auditor pada prinsipnya sangat kondusif untuk mendukung berjalannya proses mentorship secara efektif. Ulasan di atas menunjukkan bahwa mentorship dapat menjadi media yang dapat meningkatkan kompetensi, membangun kohesivitas, menanamkan nilai-nilai organisasi, serta membentuk karakter auditor. Hal ini tentu harus menjadi kesadaran agar dalam membangun kapabilitas APIP juga mempertimbangkan aspek mentorship.

 

 

3
0
Nur Ana Sejati ◆ Professional Writer

Nur Ana Sejati ◆ Professional Writer

Author

ASN Instansi Pemerintah Pusat alumni Program PhD of Accounting di Victoria University, Melbourne-Australia. Penulis yang satu ini memiliki gaya yang khas pada tulisannya yaitu “bersemangat” dan menginspirasi. Ana, panggilan khas sang penulis yang aktif ini, merupakan salah satu penggagas gerakan Birokrat Menulis.

3 Comments

  1. Avatar

    Jadi, auditor apa mentor hehe.. mantap buk, tulisannya saya baca sampai habis.😑, sambil dengerin diskusi beda mentoring dan coaching. Sepertinya pola itu mau diterapkan ke asn secara resmi, ada peraturan pannya. cmiw.

    Reply
  2. Cakbro

    Tulisan sungguh bergizi dan enak dibaca.. kepiawaian penulis me-literasi istilah-istilah teknis menjadi popular. Nampaknya saya perlu bimbel menulis nih..

    Reply
    • Avatar

      Terima Kasih Cakbro, baiklah nanti saya usulkan sm tim editor membangun RuangBM untuk bimbel literasi😁

      Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post