Sebuah Surat di Jumat Keramat

by | Aug 15, 2019 | Refleksi Birokrasi | 2 comments

Halo.
Perkenalkan namaku Ahmad, seorang pegawai negeri sipil di sebuah instansi pemerintah pusat.
Ini adalah ceritaku tentang suatu hari yang akan selalu kuingat. Hari ini, satu di antara sekian hari yang bersejarah dalam hidupku. Satu hari Jumat yang terpilih di antara 52 hari Jumat yang Tuhan ciptakan pada tahun 2019.

Mengapa keramat? Karena pada hari-hari Jumat yang tak bisa diprediksi tanggal persisnya dua atau tiga kali dalam setahun semacam ini, tiba-tiba terbit surat sakti di kantor kami. Mengapa sakti? Sebab dengan surat ini kehidupanku sekeluarga bisa jadi berubah menjadi sangat bahagia atau sebaliknya, berada di ambang kekacauan, berserakan tak tentu jalan.

Sebenarnya, hanya ada dua buah kalimat singkat yang tertuliskan dalam surat itu.
Lugas, jelas, tetapi sangat tegas.

Sekian detik tanpa kata-kata.
Speechless.

Surat sakti itu telah membuatku panik. Surat keramat itu juga telah berhasil memporakporandakan keceriaan yang kubangun sejak pagi tadi ketika melihat anakku tersenyum sumringah di balik pintu gerbang memasuki sekolahnya. Rifat, anakku, berkata,
“Makasih ya Abi telah mengantarkan kakak ke sekolah pagi ini. Semangat ya Bi, cari rizki halal dan berkah untuk kami”.

Seketika terbayang beberapa kemungkinan buruk yang akan terjadi padaku dan keluargaku sebagai kelanjutan dari sepucuk surat dengan dua kalimat sakti itu. Rupanya, satu dekade berdinas di ibukota telah membuatku berada dalam zona yang terlalu nyaman.

Jakarta yang macet, individualis, dan penuh dengan polusi udara dan suara telah menancapkan rasa sayang yang mendalam pada kami sekeluarga. Rifat, anakku, bahkan telah terdaftar jadi murid di salah satu sekolah menengah atas (SMA) swasta terbaik di kota metropolitan ini.

Betapa bangga tak terkira ketika dia lulus seleksi masuk sekolah itu beberapa bulan yang lalu. Tagihan uang pangkal dan uang bangunan yang puluhan juta rupiah besarnya tak lagi kupedulikan. Sebab, selain konsekuensi dari kebijakan zonasi yang mempersulitnya masuk sekolah negeri, soal uang pendidikan bagiku bukan persoalan.

Bolehlah kami ayah ibunya makan nasi dengan garam asalkan anak-anak kami, Rifat dan kedua adiknya, mendapatkan sekolah yang terbaik untuk mereka. Untunglah, koperasi kantor masih menyediakan pilihan untuk mendapatkan pinjaman yang bisa kami angsur dengan potongan tunjangan bulanan.

Umi, maaf ya karena Abi harus pergi, tidak bisa kalian jumpai setiap hari.
Tenang mi, walopun nanti semakin bengkak pengeluaran kita untuk beli tiket pesawat Abi
menengok kalian ke Jakarta, tetapi setidaknya Abi bisa mencari pekerjaan sambilan di luar jam kerja.
Tenang mi, keluarga kita akan tetap baik-baik saja,
hanya harus sedikit lebih bersabar untuk berkumpul komplit kita berlima.
Sebulan atau dua bulan sekali ya
”,

Begitu kira-kira narasi penjelasan yang akan kuberikan pada istriku nanti di rumah, seusai sembahyang maghrib berjamaah. Sepertinya bijaksana dan legawa. Akan tetapi, baru membayangkan untuk mengatakannya saja, mataku sudah berkaca-kaca.

Menambah 10 juta rupiah untuk membeli tiket pesawat PP sebulan sekali mungkin masih bisa diakali dengan kerja lembur dan honor lain yang resmi, selain berjibaku menambah penghasilan sebagai penulis lepas di surat kabar. (Iya, aku terbiasa menulis untuk menghilangkan kegalauan sekaligus memanfaatkan masa-masa ketika jauh dari keluarga. Ketika tugas ke luar kota beberapa hari misalnya.)

Tetapi, sejujurnya bukan lagi soal bengkaknya pengeluaran bulanan ini yang kutakutkan. Lebih dari itu, aku adalah seorang penganut paham bahwa keluarga itu seharusnya selalu bersama-sama. Seperti yang selalu dikatakan oleh orang tuaku di masa kecil dulu. Sayangnya, kali ini aku harus melanggarnya. Sejak resmi diangkat menjadi abdi negara di negeri ini, tanda tangan telah kutorehkan pada sebuah surat pernyataan: bersedia ditempatkan di mana saja di seluruh Indonesia.

Yang jadi masalah adalah ketakutanku akan sulitnya mendidik anak dari kejauhan sementara Rifat dan adik-adiknya masih sangat membutuhkan kehadiran seorang bapak. Selain itu, keutuhan rumah tangga dalam sebuah pernikahan jarak jauh, yang akan kujalani, dipertaruhkan dengan kehadiran sebuah surat mutasi.

Betapa banyak mahligai pernikahan yang dirajut puluhan tahun hancur seketika hanya karena suami dan istri berbeda domisili, atas nama pengabdian pada negara. Teman-temanku telah banyak mengalami itu.

Sedih rasanya saat aku, yang kebetulan menjadi pengawas kedisiplinan pegawai, harus terbang jauh dari Jakarta ke kantor di daerah, menginterogasi temanku sendiri yang melanggar aturan disiplin kepegawaian. Salah satu fakta yang paling sering kutemui ialah ketidakharmonisan rumah tangga karena adanya orang ketiga. Penyebabnya? Karena terlalu sering jauh dari keluarga. Miris.

Tak bisa diingkari, setiap lelaki membutuhkan kehadiran istri dan buah hati untuk menyegarkan kembali segala lelah sepulang kerja, mengantarkannya pada sebuah tempat peraduan yang nyaman bernama rumah. Rumah adalah keluarga, seperti apapun bentuknya. Baik rumah kontrakan maupun rumah milik sendiri yang dicil dengan kredit bulanan.

Belum lagi soal makanan dan segala sesuatu berkaitan dengan kebutuhan harian. Bagi seorang lelaki sepertiku, menjadi single fighter jauh dari istri bukannya memberikan kebebasan layaknya bujangan. Akan tetapi, “kembali menjadi single” justru akan merusak keseimbangan pola hidupku. Pada akhirnya, kombinasi antara problematika jasmani dan psikis itu kemudian menjadi sebuah kontradiksi bagi semangat kerja dan produktivitasku.

Hmmmmmmm…..

“Pak Ahmad, maaf pak. Silahkan bangun, pesawat kita sudah mendarat di Soekarno-Hatta sejak 10 menit yang lalu”, sebuah tepukan perlahan di bahuku disertai dengan suara seorang pramugari muda membuatku terjaga. Ternyata, aku terlalu lelap tidur selama penerbangan sejak dari Manokwari, hingga tak menyadari bahwa seluruh penumpang lainnya telah turun dari pesawat yang kami tumpangi.

Oh, rupanya surat sakti di Jumat Keramat itu tadi cuma mimpi.

Alhamdulillah….
Ini cuma perjalanan berkunjung 4 hari dari Jakarta ke Manokwari, menggunakan surat tugas (ST) bukan surat keputusan (SK) mutasi. Dengan begini, aku bisa bernafas lebih lega sekali lagi. Besok Jumat, bisa jadi Jumat Keramat.

Ah, aku tak peduli.

Yang penting saat ini aku masih di Jakarta bersama anak-anak dan istri. Soal mutasi yang kapan saja bisa terjadi, kita pikirkan lagi nanti. Lepas dini hari malam nanti, kan kupanjatkan doa kepada Yang Mahakuasa supaya namaku tak muncul esok hari.

Sejujurnya, di sanubari ini masih kokoh terpatri semangat untuk mengabdi kepada negeri. Tapi saat ini, kalau boleh aku menyampaikan isi hati, kan kukatakan pada pimpinan mohon jangan pisahkan dengan anak istri. Lalu pada akhirnya jikalau memang harus mutasi, itu pasti takdir pilihan ilahi. Ya nanti ceritanya lain lagi.

Namaku Ahmad.
Duhai Jumat Keramat, segeralah lewat.
Jangan besok, suatu hari akan menyambutmu dengan hangat.

 

 

 

12
0
Sofia Mahardianingtyas ◆ Professional Writer

Sofia Mahardianingtyas ◆ Professional Writer

Author

Seorang PNS perempuan yang meminati bidang sosial ekonomi, kebijakan publik, teknologi informasi, birokrasi, dan isu perubahan iklim. Alumnus program beasiswa master LPDP PK-84, yang juga sedang mempelajari tentang analitika data untuk pemerintahan. Sehari-hari mengabdi sebagai auditor internal pemerintah.

2 Comments

  1. Avatar

    Alhamdulillah cuma mimpi, tapi banyak orang diluar sana termasuk suami saya yang merasakan mimpi buruk itu dan menjadi nyata saat menerima sk mutasi, jauh dari keluarga lagi , dan memang surat itu akhirnya merubah dunia kami , dunia saya

    Reply
  2. Avatar

    Kereeeen bangeet ngeett..ternyata cuma mimpi..:D

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post