Pengantar Redaksi

by | Jan 3, 2021 | Berita, Pengantar Redaksi | 6 comments

Penghujung tahun 2020 ditandai dengan banyak hal-hal menyedihkan, menarik, dan juga harapan perubahan besar. Setelah awalnya terkesan meremehkan, akhirnya Pemerintah mengakui adanya krisis akibat ‘tsunami’ Pandemi COVID-19.

Secara individual, di tahun 2020 kita kehilangan banyak orang-orang terkasih kita. Di kantor-kantor, hampir setiap hari kita mendengar berita kedukaan meninggalnya rekan sekantor. Di rumah-rumah, kita mendengar tetangga atau saudara terdekat yang meninggal.

Ya, Pandemi COVID-19 memang membawa banyak perubahan, termasuk cara kerja di birokrasi. Dalam lingkup birokrasi pemerintahan, kini berbagai koordinasi maupun rapat kerja banyak dilakukan melalui daring. Bahkan, beberapa pelayanan publik pun semakin banyak mengurangi mekanisme tatap muka secara fisik.

Hal itu tentu saja berimplikasi pada banyak hal, di antaranya adalah efisiensi waktu, tenaga, dan biaya. Para pemangku kebijakan di birokrasi tampaknya mulai menyadari bahwa perubahan ‘radikal’ tentang cara kerja birokrasi ternyata mulai terbukti dapat berjalan.

Bayangkan, kini kita bisa menghasilkan banyak hal dengan konferensi melalui video. ‘Zoom’ kini begitu populer tidak saja di masyarakat umum. Para birokrat pemerintahan mau tidak mau juga kini sangat familiar dengan teknologi ini. Padahal, dulu ia dirancang hanya untuk bercengkerama dua insan yang tinggal berjarak jauh.

‘Membunuh’ Ego Sektoral

Begitu juga dalam hal penanganan Pandemi COVID-19 maupun dampaknya, baik di sisi kesehatan, sosial, dan ekonomi. Pandemi COVID-19 ini telah mengajarkan bahwa pengetahuan manusia tentang kehidupan di dunia ini ternyata terbatas. Sampai dengan saat ini, kita masih perlu belajar tentang virus yang ‘hanya’ berukuran sekitar 60 – 140 nanometer tersebut.

Itulah sebabnya koordinasi antar lembaga/instansi pemerintahan, baik pusat maupun daerah, harus dilakukan dengan lebih terukur, sinergis, dan menyeluruh. Cara kerja yang terkotak-kotak dan lamban tidak lagi dapat diterima jika kita menginginkan penanganan Pandemi COVID-19 yang cepat dan tepat.

Ini saatnya birokrasi Indonesia menjadi lebih terbuka mengatasi isu-isu ego sektoral. Di negara lain, ‘breaking the silos’ ini telah dilakukan melalui ‘gelombang baru reformasi’ yang disebut dengan ‘joined-up government’ atau ‘whole of government’. Dengan gelombang baru reformasi ini, semua pihak harus mau melakukan kolaborasi sehingga koordinasi berbagai tingkatan governansi bisa pada satu arah, yaitu peningkatan kinerja sektor publik.

Berita baiknya adalah pemerintah daerah kita sudah mulai sadar bahwa mereka tidak bisa bekerja sendiri, terlepas dari pemerintah pusat. Ego mereka selama ini yang merasa pentingnya otonomi atau desentralisasi penuh sudah mulai tergerus. Hampir semua pemerintah daerah kini sepakat bahwa mereka harus mengikuti ‘komando’ dari pemerintah pusat agar terbentuk ‘negara kesejahteraan berbasis kesatuan republik Indonesia’ yang menjadi rumah bersama.

Di pemerintah pusat sendiri, sudah saatnya tidak ada lagi kementerian atau lembaga yang merasa paling super atau paling berkontribusi terhadap negeri ini. Sudah saatnya Kementerian Keuangan, terutama Direktorat Jenderal Pajak, membuka mata bahwa mereka tidak bisa bekerja tanpa bantuan dari kementerian atau lembaga lain. Karenanya, berbagai indikator kinerja kunci (shared key perfomance indicators) tidak dapat ditunda lagi.

Lihatlah, tanpa adanya bantuan dari kementerian atau lembaga lain, Direktorat Jenderal Pajak tidak bisa mencapai target penerimaan pajak yang ditargetkan. Penyerapan anggaran nasional yang dikelola oleh Kementerian Keuangan juga begitu rendah.

Saatnyalah Presiden mengambil kebijakan agar tidak menganaktirikan reward untuk kementerian atau lembaga. Saatnya Presiden mengoreksi kebijakan tunjangan kinerja atau insentif yang tidak adil, yaitu hanya Kementerian Keuangan dan kementerian atau lembaga tertentu yang diberikan keistimewaan. Reward berupa tunjangan kinerja atau insentif ini harus benar-benar berbasis kinerja individu dan organisasi masing-masing.

Fungsionalisasi Jabatan Birokrasi

Untuk itu jugalah, rencana fungsionalisasi jabatan di birokrasi tampaknya mulai menjadi hal yang mendesak untuk dilakukan. Setelah ditekan oleh Presiden beberapa kali, walaupun masih tumbuh resistensi atau ‘perlawanan keras’ dari Kementerian Keuangan, akhirnya di penghujung tahun 2020 ini banyak kementerian/lembaga/pemerintah daerah yang telah memfungsionalkan pejabat eselon 4 dan 3 mereka.

Hanya saja, ‘fungsionalisasi’ jabatan di birokrasi ini masih meninggalkan pekerjaan besar. Pejabat yang telah difungsionalkan mestinya benar-benar menjadi fungsional, yang di negara maju biasa dikenal sebagai “kaum teknisi profesional”.

Idealnya, dalam pandangan Romzek dan Dubnick (1987), akuntabilitas mereka ini adalah pada keterampilan atau keahlian mereka atau ‘akuntabilitas profesional’ dan bukannya dominan pada ‘akuntabilitas politik’ seperti saat ini.

Kaum teknisi profesional ini diharapkan mandiri karena secara penuh diharapkan akuntabel atas tindakannya. Pemimpin instansi pemerintah juga harus memberikan kepercayaan kepada mereka, yaitu mereka dapat bekerja sebaik mungkin sesuai dengan profesi mereka.

Sebab, karakteristik utama keberadaan pejabat fungsional adalah pengendalian kegiatan organisasi mengandalkan ‘tangan’ mereka yang mempunyai keahlian atau keterampilan tertentu untuk menuntaskan pekerjaan di instansi pemerintah atau organisasi sektor publik.

Salah satu contoh yang sedang hangat saat ini adalah perdebatan tentang rencana profesi guru dan juga tenaga kesehatan, yang mulai tahun 2021 ini, lowongan penerimaan pegawai hanya akan dibuka sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), bukan lagi CPNS. Melalui rencana tersebut, pemerintah tampaknya mulai menginginkan guru dan tenaga kesehatan menjadi seorang ‘teknisi profesional’ yang mandiri.

Status PPPK tersebut juga sepertinya dimaksudkan agar para guru dapat menjadi seorang, yang di beberapa negara maju, disebut sebagai full time equivalent, yakni pegawai yang kompensasinya diukur berdasarkan alokasi kerja dan akuntabilitas kinerjanya. Adapun menurut penuturan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), status PPPK yang tidak lagi otomatis menerima dana pensiun, akan diupayakan menerima gantinya dengan gagasan kerja sama pemerintah dengan PT Taspen.

Dengan demikian, ke depan, jumlah PNS akan semakin menyusut dan status pegawai lebih banyak sebagai PPPK, seperti yang terjadi di beberapa negara maju. Tentu saja hal ini dapat menjadi suatu terobosan birokrasi yang mengarah kepada sebuah gagasan birokrasi Indonesia yang lincah dan profesional.

Namun demikian, hal tersebut perlu didahului dengan adanya persiapan matang dan menyeluruh. Persiapan matang tersebut seyogyanya akan mampu memberikan rasa aman dan kepastian bagi calon PPPK nantinya. Jika tidak, alih-alih birokrasi menjadi semakin cepat berjalan, yang terjadi justru berpotensi melambat karena peliknya permasalahan akibat munculnya diskriminasi dan eksploitasi.

Transformasi Digital

Selain adanya berbagai perubahan tersebut, adalah sangat penting bagi birokrasi Indonesia untuk melakukan terobosan lain dengan apa yang disebut sebagai transformasi digital. Transformasi ini semoga tidak hanya menjadi jargon-jargon yang dibawa dari negara lain, tetapi benar-benar meresapi birokrasi Indonesia.

Beberapa hal mesti dilakukan. Terkait dengan fungsionalisasi birokrasi, instansi pembina mesti berlari dengan cepat membuat aplikasi-aplikasi yang dapat membantu pejabat fungsional binaannya semakin profesional. Aplikasi-aplikasi yang perlu dibangun tidak terbatas pada aplikasi administrasi penilaian angka kredit pejabat fungsional binaannya, tetapi juga dari segi substansi, seperti sistem manajemen pengetahuan, sistem pembelajaran, dan sistem-sistem lainnya.

Para pejabat fungsional itu adalah sumber daya penting dalam membangun Indonesia ke depan. Instansi pembina harus memastikan bahwa para pejabat fungsional binaannya mempunyai keterampilan atau keahlian digital. Tidaklah pada tempatnya jika kita melihat mereka masih ‘gagap teknologi’. Teknologi informasi mestilah bagian dari kultur mereka.

Kemudian, birokrasi Indonesia juga harus membangun aplikasi-aplikasi online yang memudahkan masyarakat untuk mendapatkan layanan publik. Pandemi Covid-19 telah memberikan pelajaran penting tentang perlunya interaksi fisik minimal, bahkan nihil, dalam pelayanan publik ini. Interaksi fisik minimal kini tidak hanya untuk mencegah terjadinya korupsi, tetapi juga untuk melindungi keselamatan (health safety) semua pihak.

Beberapa aplikasi yang sudah segera online, salah satunya adalah aplikasi pelayanan perpanjangan STNK. Bukan zamannya lagi pemilik kendaraan harus antri di kantor kepolisian hanya untuk memperpanjang STNK. Sebagaimana di negara maju, sudah saatnya STNK ini dibuat sederhana. Plat nomor tidaklah perlu berganti. STNK berupa kertas cukup ditempelkan di kaca. Karenanya, STNK bisa diajukan secara online dan dikirim ke alamat pemilik kendaraan masing-masing. Hal ini juga akan memastikan benar pemilik kendaraan masih tinggal pada alamat tersebut.

Pemberantasan Korupsi

Selain tentang Pandemi COVID-19, penghujung tahun 2020 juga ditandai dengan beberapa peristiwa yang mengguncang masyarakat terkait dengan masih rentannya kecakapan integritas dan profesionalitas elite di birokrasi. Beberapa menteri dan kepala daerah terciduk oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena melakukan tindakan penyimpangan,

Terlepas dari polemik ‘kesaktian’ KPK, hal tersebut menandakan bahwa tindakan penyimpangan di tingkat elite birokrasi, yang notabene adalah para politisi, masih menjadi penanda akan buruknya gagasan dan penanganan anti korupsi di Indonesia.

Berbagai program anti korupsi yang ada sepertinya baru menyentuh akar rumput, alias birokrat di level jalanan (street level). Dengan kata lain, perlu adanya perubahan radikal dalam cara pandang dan penanganan anti korupsi yang juga mengarah pada perbaikan kultur politik.

Tidak semestinya birokrasi dan politik dipisahkan dalam garis yang jelas, yang akibatnya birokrasi justru menjadi alat untuk capaian kepentingan politik semata. Namun, birokrasi sejatinya adalah alat perjuangan politik yang secara embedded terjalin sangat erat untuk dapat saling mengawasi dan mengoreksi dari dalam, demi capaian kepentingan publik.

Pada akhirnya, reshuffle kabinet yang dilakukan Presiden di penghujung tahun 2020, semoga dapat mulai menjawab berbagai tantangan dan permasalahan di atas, untuk kemajuan birokrasi di tahun 2021 dan seterusnya.

Logo dan Moto Baru

Karena itulah, birokratmenulis.org, sebagai sebuah pergerakan sekaligus platform menulis di kalangan birokrat, berharap semakin memiliki peran untuk dapat berkontribusi dalam pembenahan birokrasi. Pembenahan tersebut dilakukan dengan cara menulis.

Sekali lagi, kami meyakini bahwa dengan menulis, berbagai kegelisahan berikut gagasan akan tertuang dengan lebih cair dan mengalir. Kami, birokratmenulis.org, bersedia untuk menjadi letupan sekaligus tumpahan segala kegelisahan dan gagasan yang membuncah di hati dan benak para birokrat.

Untuk itu jugalah, di tahun 2021 ini, kami mengubah logo dan moto agar maksud dan tujuan pergerakan ini semakin dapat dirasakan oleh para birokrat.

Gambar: logo baru birokratmenulis.org

Logo kali ini menggunakan tema warna putih dan oranye, sebagai lambang birokrat bersih dan kekinian. Warna putih mengisyaratkan bahwa dalam menulis, birokrat memiliki kesungguhan dan kemurnian hati hanya untuk kemajuan birokrasi, bukan untuk kepentingan lainnya, seperti kepentingan politik. Adapun warna oranye, mengisyaratkan bahwa birokrat memiliki cara pandang, wawasan, dan pengetahuan yang mutakhir.

Logo dengan menampilkan sebuah bentuk bulu tinta runcing, tentu saja menggambarkan bahwa pergerakan ini adalah pergerakan menulis, yang mampu memberikan insight tajam dalam berupaya pembenahan birokrasi.

Sedangkan huruf ‘birokrat menulis’ kali ini menggunakan huruf kecil (bukan kapital). Hal itu menandakan bahwa birokrat hari ini adalah birokrat yang luwes, lincah, dan rendah hati. Meskipun pemikiran dalam tulisannya seringkali terkesan tajam, akan tetapi ia adalah pribadi yang lembut, tidak kaku, dan tidak arogan, terutama dalam memahami berbagai macam pemikiran dan perspektif yang ada.

Adapun moto kritis, cerdas, emansipatif, menggambarkan sebuah kesatuan olah pikir dan sikap dalam menanggapi berbagai permasalahan birokrasi. Ketiganya adalah suatu kesatuan yang tak terpisahkan dan saling memengaruhi.

Kritis’ dalam moto ini diartikan sebagai sebuah perjuangan pemikiran yang selalu mempertanyakan atau ‘menggugat’ sebuah kemapanan, baik kemapanan berpikir, bertindak, maupun kemapanan sebuah situasi. Kemapanan perlu dipertanyakan kembali agar memperoleh arti yang lebih hakiki, bukan hanya sebuah kebiasaan yang tanpa makna.

Cerdas’ dalam moto ini berarti sebuah kemampuan olah pikir dan olah sikap yang senantiasa penuh perhitungan dan menghindari kesia-siaan. Dalam hal ini, sikap etis seorang birokrat sangat memengaruhi kecerdasannya, termasuk dalam aktivitas menulis.

Emansipatif’ dalam moto ini dapat dikatakan sebagai sebuah sikap memerdekakan diri agar dapat lebih berdaya guna. Birokrat, terutama dalam menulis, perlu untuk keluar dari kerangkeng besi yang selama ini membelenggu, agar ia dapat mengalirkan gagasan orisinalnya untuk tujuan kemajuan birokrasi.

Birokrat tidak mampu bersikap kritis jika ia tidak cerdas dan emansipatif. Ia juga tak mampu mengembangkan kecerdasannya jika hanya menerima segala sesuatu dengan cara tidak kritis (taken for granted). Birokrat yang demikian juga otomatis adalah birokrat yang tidak emansipatif, karena tidak mampu menjadi dirinya sendiri. Di sisi lainnya, seorang birokrat tak akan mampu ‘merdeka’ (emansipatif), terutama dalam menulis, jika tidak ditunjang dengan olah pikir yang kritis dan cerdas.

Mari kita songsong tahun 2021 dan seterusnya dengan lebih kritis, cerdas, dan emansipatif ***

Redaksi

Redaksi

Author

6 Comments

  1. Avatar

    birokrat menulis dapat menjadi jembatan aspirasi dan inspirasi bagi aparatur sipil negara di indonesia

    Reply
    • Avatar

      Aamiin.. semoga demikian adanya

      Reply
  2. Avatar

    rumah birokrat menulis lebih fresh, optimis.

    Reply
    • Avatar

      Seharusnya *Birokrat menulis* tidak hanya diisi birokrat yang masih aktif tetapi juga birokrat yang sudah purna bakti.
      Terimakasih.A

      Reply
      • Avatar

        Birokrat menulis terbuka untuk siapapun yang punya perhatian thd permasalahan birokrasi. Komunitas saat ini bahkan juga berisi akademisi, bumn, swasta, dan beberapa birokrat yang telah purna.

        Reply
    • Avatar

      Siap.. terima kasih

      Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post