Pelajaran Setelah Bencana: Beradaptasi atau Apriori

by | Dec 24, 2022 | Birokrasi Berdaya, Birokrasi Melayani | 0 comments

Beberapa waktu yang lalu sebuah bencana terjadi di wilayah Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat. Sebuah pergerakan lempeng bumi yang berskala sedang, menggoyang wilayah tersebut dan menyebabkan kerusakan yang cukup besar. 

Awalnya cukup mengherankan bagi sebagian masyarakat awam, karena kekuatan gempa yang relatif sedang itu ternyata dapat menghadirkan kerusakan yang begitu parah. 

Dilansir dari berbagai sumber, setidaknya 600 jiwa melayang, 35.000 rumah rusak, dan 108.000 orang mengungsi.

Penjelasan Kepala BMKG, Daryono, kemudian membuatnya menjadi terang. Rupanya jarak antara permukaan tanah dengan pusat gempa yang hanya berjarak 11 km, topografi wilayah yang tidak stabil, ditambah struktur bangunan di sepanjang lintasan lempeng yang tidak tahan gempa menyebabkan kerusakan gempa berskala sedang di Cianjur itu bisa begitu parah. 

Pelajaran Berharga dari Gempa Cianjur

Terlepas dari musibah yang menghadirkan kedukaan, gempa Cianjur kemudian memberikan banyak pengetahuan bagi kita semua. 

Pemerintah, masyarakat, dan seluruh pihak berkepentingan mendapatkan pelajaran berharga yang akan bermanfaat bagi upaya pencegahan dan penanganan bencana gempa bumi di masa yang akan datang.

Setidaknya dengan pengetahuan yang  dikemukakan oleh Daryono di atas, kini kita mengetahui bahwa untuk mewaspadai dampak gempa bumi, skala pergerakan bukanlah satu-satunya faktor yang bisa menyebabkan kerusakan parah.

Jarak atau kedalaman pergerakan lempeng juga bisa menjadi faktor penentu yang lain. Selain itu informasi terkini dari BMKG menyebutkan bahwa gempa di Cianjur rupanya terjadi akibat lempeng yang baru teridentifikasi dan sekarang disebut sebagai lempeng Cugenang. 

Ini tentu bisa menjadi hikmah jika benar-benar kita manfaatkan secara maksimal di masa yang akan datang. Pengetahuan-pengetahuan itu tentu sangat berharga. Begitu berharga karena telah dibayar dengan ratusan jiwa, ribuan rumah, dan ratusan ribu pengungsi. 

Namun semua pengetahuan yang mahal tersebut hanya akan menjadi hikmah jika itu mampu dijadikan sebagai pemicu perubahan perilaku dan kebijakan. 

Pelajaran yang Sering Terabaikan

Permasalahannya, kita seringkali mengabaikannya. Kita dimaksud adalah kita semua, pemerintah dengan kebijakannya dan masyarakat dengan perilaku dan lain sebagainya. 

Mari kita lihat pengalaman-pengalaman bencana yang kita alami sebelumnya dan bagaimana kita merespons bencana tersebut. 

Bencana yang paling besar yang pernah kita alami dalam waktu yang relatif tidak jauh adalah bencana tsunami Aceh di Tahun 2004. 

Setelah kejadian tersebut telah banyak yang kita lakukan salah satunya adalah menanam Bouy -alat pendeteksi tsunami- di seluruh wilayah Indonesia. Setidaknya 22 Bouy telah disebar semenjak 2004. Namun kondisinya saat ini, menurut laporan Tempo, seluruhnya tidak berfungsi!  

Bagaimana dengan bangunan tahan gempa? Hingga saat artikel ini dibuat, penulis kesulitan mencari data tentang jumlah bangunan berstandar tahan gempa. 

Namun, penulis menemukan bahwa baru pada Tahun 2021 Indonesia memiliki SNI bangunan tahan gempa (Antaranews.com). 

Itu artinya setelah gempa aceh yang diikuti tsunami di Tahun 2004, perlu waktu 17 tahun bagi kita hanya untuk mempersiapkan standar yang sesuai dengannya. Itu baru ketentuan dasar membangun bangunan tahan gempa, bagaimana dengan implementasinya, mungkin butuh waktu lebih banyak lagi.  

Selain tsunami dan gempa, bencana lain yang berhubungan dengan air adalah banjir, entah berapa ribu kali banjir pernah kita alami. Bagaimana kita meresponsnya? 

Kita meresponnya dengan terus masih berada pada peringkat 4 besar negara yang melakukan pengurangan hutan (deforestasi hutan) di dunia (katadata.co.id). 

Memang telah terjadi tren penurunan, akan tetapi itu tidak cukup karena buktinya longsor dan banjir semakin sering terjadi. 

Talegong, Garut: Kecamatan Rawan Bencana

Penulis kemudian melihat lebih dekat ke lingkungan tempat penulis bekerja, Kecamatan Talegong Kabupaten Garut. Sebuah kecamatan yang berada di ujung barat daya Kabupaten Garut. 

Sudah sangat lama kecamatan ini dikenal sebagai daerah rawan bencana terutama longsor dan banjir bandang. 

Topografi wilayah ini yang merupakan pegunungan dengan kemiringan yang ekstrem ditambah kondisi tanah yang labil adalah beberapa faktor penyebabnya. 

Sebagai wilayah yang sudah terkenal dengan kerawanan bencananya (republika.co.id), seyogyanya Manajemen Bencana di wilayah ini sudah lebih baik dari kecamatan kecamatan lain.

Tapi ternyata hal itu jauh panggang dari api. Sama halnya dengan kecamatan lain yang tingkat risiko bencananya rendah, Talegong belum memiliki Dokumen Kajian Risiko Bencana, belum juga memiliki peta rawan bencana yang aktual. 

Pun dengan fasilitas mitigasi bencana, keadaannya tidak berbeda dengan daerah lain yang minim bencana. 

Kesigapan yang Cukup Tinggi

Adapun yang signifikan berbeda antara Kecamatan Talegong dengan kecamatan-kecamatan lain berkenaan dengan responsnya terhadap bencana, adalah kemampuan pemerintah (desa dan kecamatan) dan masyarakat di wilayah ini dalam penanganan pasca bencana terutama saat tanggap darurat. 

Penulis mengakui bahwa para aparatur di desa dan kecamatan bersama dengan masyarakat memiliki kesigapan yang cukup tinggi di saat tanggap darurat. 

Sesaat setelah bencana terjadi pemerintah desa responsif menggerakkan masyarakat untuk menanganinya secara gotong royong. Begitu juga dengan aparatur kecamatan, TNI dan polri, mereka sigap mengamankan lokasi dan meminimalisasi kerusakan. 

Maka tidak mengherankan jika bencana longsor dan banjir bandang yang terjadi di Kecamatan Talegong sepanjang 2021 yang jumlahnya kurang lebih 20 kali tidak menimbulkan korban jiwa satu orangpun. 

Meskipun begitu, belum ada upaya yang signifikan untuk benar-benar menangani bencana secara komprehensif. Upaya yang dimaksud adalah penanganan bencana dari hulu hingga hilir. 

Hulu-hilir Penanganan Bencana

Merujuk pada SPM Sub-Urusan Kebencanaan, maka hulu-hilir penanganan bencana meliputi 3 aspek yaitu:

  1. Penyediaan Informasi Rawan Bencana. Hal ini meliputi  penyusunan kajian risiko bencana dan pengelolaan komunikasi, informasi, dan edukasi rawan bencana. 
  2. Pelaksanaan Pencegahan Bencana. Hal ini meliputi: 
  • Penyusunan Rencana Penanggulangan bencana, 
  • pembuatan rencana kontijensi, 
  • pelatihan pencegahan dan mitigasi, 
  • gladi kesiapsiagaan terhadap bencana, dan 
  • penyediaan peralatan perlindungan dan kesiapsiagaan terhadap bencana. 
  1. Penyelamatan dan Evakuasi. Hal ini meliputi meliputi penyusunan standar prosedur yang jelas dalam penyelamatan dan evakuasi yang disosialisasikan secara masif, sehingga setiap pelaksana operasi penyelamatan dan evakuasi mampu menjalankannya secara optimal. 

Aspek-aspek tersebut dirasa belum optimal dilaksanakan. Belum ada kajian risiko bencana, belum dilakukan juga edukasi secara reguler yang mampu meningkatkan peran serta masyarakat dalam mencegah bencana. 

Atau yang paling sederhana fasilitas kebencanaan seperti rambu jalur evakuasi, kondisinya minim sekali tidak jauh berbeda dengan kecamatan lain yang tidak rawan bencana. 

Kesigapan para petugas dan masyarakat Talegong selama ini juga sebatas datang berdasarkan insting yang tumbuh berdasarkan pengalaman semata. Tidak disusun dalam bentuk standar operasional prosedur yang baku. 

Sebagai ASN di tempat ini, hal-hal tersebut merupakan pekerjaan rumah terbesar dan berat karena meskipun terkesan sederhana, penanganan bencana berhubungan secara luas dengan luas dengan perubahan perilaku masyarakat, infrastruktur penunjang, hingga kondisi ekonomi masyarakat. 

Kembali pada hal yang lebih umum, beberapa kenyataan yang dikemukakan penulis di atas menunjukkan bahwa meskipun Indonesia merupakan negara dengan kerawanan bencana yang sangat tinggi, kemampuan adaptasi kita terhadap kondisi tersebut dapat dikatakan sangat rendah. 

Faktor-faktor Lemahnya Manajemen Bencana

Banyak faktor yang menjadi penyebab dari keadaan ini, namun penulis berasumsi bahwa kondisi ini secara dominan disebabkan oleh: Pertama rendahnya kapabilitas pemerintah dalam mengelola isu di daerahnya atau wilayahnya. 

Kemampuan pemerintah menetapkan prioritas dan memfokuskan pembangunan sesuai dengan karakter wilayahnya dipertanyakan jika suatu wilayah yang isu strategisnya adalah bencana tapi tidak menunjukkan pembangunan yang ekuivalen dengan isu tersebut. 

Kedua, kesadaran masyarakat yang rendah terhadap penanganan bencana terutama pada tahapan pencegahan. 

Kesadaran masyarakat untuk tidak bermukim di lokasi rawan, tidak bercocok tanam komoditas tertentu di lokasi tertentu, serta hal-hal lain yang seyogyanya harus merubah perilaku masyarakat guna mencegah bencana dibutuhkan dan itu minim dilakukan.  

Ketiga, kemampuan anggaran pemerintah yang masih rendah, sedangkan kesiapsiagaan bencana membutuhkan infrastruktur yang tidak sedikit. 

Rambu-rambu evakuasi, alat pendeteksi dini, sarana komunikasi, penyediaan tempat relokasi masyarakat, pembangunan infrastruktur yang tahan bencana, hingga alat berat untuk rehabilitasi dan rekonstruksi membutuhkan anggaran yang bukan main besarnya. Rendahnya kemampuan anggaran menyebabkan penyediaannya begitu sulit. 

Keempat, kondisi perekonomian masyarakat menyebabkan beberapa kondisi yang seharusnya dilakukan untuk mencegah dan meminimalisasi bencana sulit dilakukan. 

Tidak adanya lokasi lain untuk dimukim, memaksa masyarakat untuk bermukim di daerah rawan.  Atas dasar kebutuhan, masyarakat mengalihkan fungsi hutan atau merusak alat pendeteksi tsunami dan mencuri sebagian suku cadangnya. 

Saatnya Mengubah Keadaan

Asumsi penulis tersebut bisa saja salah karena berbasis pengalaman dan pengamatan semata, namun satu  hal yang penulis yakin bahwa kita (pemerintah dan masyarakat) harus mengubah keadaan. 

Bencana adalah keseharian bagi negara ini. Pilihannya adalah beradaptasi atau apriori dan menyerahkan segalanya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Tentu sebagai makhluk yang diwajibkan ikhtiar yang pertama adalah pilihannya. 

Beradaptasi bermakna memanfaatkan setiap pengetahuan yang didapat dari pengalaman dan menjadikannya hikmah untuk merubah diri menjadi lebih baik. 

Sementara, apriori adalah membiarkannya berlalu tanpa memperbaiki diri sehingga kejadian buruk yang sama akan terulang kembali. 

Wallohu A’lam Bishawab

1
0
Muhamad Badar Hamid ◆ Professional Writer

Muhamad Badar Hamid ◆ Professional Writer

Author

Praktisi pemerintahan yang bernama pena inspekturrojali. Penulis adalah seorang PNS Camat Talegong Kabupaten Garut, Jawa Barat.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post