OPTIMISME ASN MUDA DALAM GEMPURAN POLITICAL IDOLATRY DAN K-POP

by | Jan 11, 2021 | Birokrasi Berdaya | 4 comments

Apa kabar ASN muda? Di awal tahun 2021 meski masih bergelut dengan pandemi Covid, optimisme tetap harus dikedepankan. Bicara tentang kaum muda khususnya para ASN penuh penantian dan pengharapan.

Hal itu bukan berarti buat ASN ‘tua’, eits, maaf ‘yang sudah berumur’ ehh, ‘yang sudah senior’ maksudnya, bukan tanpa harapan. Tetapi, yang sudah senior harus banyak menitip harapan pada yang lebih muda. Ibarat tongkat estafet, tidak menunggu lapuk dalam genggaman, wariskan kepada kami yang muda, karena nafas panjang dan langkah kami akan melesat disetiap lintasan.

Mengapa ASN Muda Perlu Optimis?

Apa yang membuat ASN muda hari ini optimis menatap masa depan, lingkungan kerja, dan ganasnya gelombang kedua pandemi Covid-19? Pertanyaan ini cukup memaksa kita untuk mempelajari kembali sejarah dan para tokoh bangsa atau peradaban masa lalu. Tidak perlu terlalu jauh, optimisme kaum muda di Indonesia cukup mengingat ketokohan anak-anak muda dalam memperjuangkan kemerdekaan dan ideologi bangsa ini.

Masih segar dalam ingatan, pada peristiwa Rengasdengklok 1945, sekelompok pemuda memberanikan diri menculik Soekarno dan Hatta dan mendesaknya untuk memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia tanpa tekanan dari Jepang.

Keberanian di saat genting seperti masa itu, bukanlah keberanian yang datang tiba-tiba atau karena keterdesakan. Tetapi lebih dari itu, kebenaran yang benar tumbuh dari semangat juang, pengabdian, dan cinta terhadap tanah airnya.

Meski tidak lahir di masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, meski di usia kita yang masih belia dibanding dengan usia kemerdekaan bangsa ini, dan meski kita hanya menjadi pembaca sejarah bukan pelaku sejarah, tetapi optimisme kaum muda masih tertancap.

Apa yang membuat kita optimis? Pertanyaan berulang ini akan dijawab dengan kata-kata Soekarno,”Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”.

Soekarno punya pengalaman hidup dan bergelut dengan banyak generasi, kaum tua dan kaum muda. Tetapi ia memilih bersandar pada kaum muda untuk menatap perubahan besar.

Sekali lagi, apa yang membuat ASN muda optimis? Jawabnya, karena hari ini kita masih memiliki kepekaan atau kesadaran untuk menuliskan dan membaca ulang sejarah. Dengan ketokohan, keberanian, kekuatan kata-kata (pesan, nasehat), dan kesadaran sendiri untuk menuliskan atau belajar dari sejarah.

Baru saja tahun berganti, usia berlanjut, semua mengingatkan kaum muda hari ini harus tampil optimis sebagai kekuatan dan modal utama untuk mengawali tindakan, bukan larut, hanyut, bahkan kehilangan kesempatan mengambil peran menuju kenormalan baru.

Eksistensi K-Pop dan Idolatry

Hari ini, kini kaum muda sedang menghadapi gemburan budaya Western dan Hallyu (Korean Wave).Kedua budaya tersebut berasal dari dua benua berbeda, Westernisasi diwakili oleh Political Idolatry yang menghasilkan ketakutan dan efek dominasi yang akut. Sedangkan Hallyu dengan K-Pop nya menjadikan generasi yang malu dengan budaya negeri sendiri.  

 Sekedar memberi apresiasi terhadap optimisme, kita harus belajar dari Pemerintah Korea Selatan yang sangat peduli dengan talenta anak mudanya. Mereka telah merancang masa depan bangsanya meski harus berkorban dan menunggu selama puluhan tahun.

Penantian panjang dan tidak menentu membuahkan hasil luar biasa. Generasi pelajar Korea mendapatkan bantuan yang sangat besar dari pemerintahnya untuk menuntut ilmu dan belajar menguasai pasar film-food-fashion serta selera musik global.

Upaya itu membuahkan hasil yang melegakan. Generasi baru anak-anak muda Korea mampu menghipnotis generasi muda di banyak belahan dunia untuk mengikuti corak dan gaya hidup yang dibuat sendiri sehingga memberikan kontribusi kekayaan dan penyelamat ekonomi negaranya dari krisis.

Tidak kurang dari 25 nama fandom group K-Pop yang melesat secepat gempuran balistik dengan ledakan yang siap meluluh lantakkan budaya dalam negeri. Dan nyata saja terbukti pengaruhnya menembus Kota Nevada yang telah menetapkan tanggal 25 November sebagai hari K-Pop. Di Indonesia juga telah resmi mengadakan peringatan 100 tahun kedatangan warga Korea di Indonesia.

Dampak yang dimunculkan dari gempuran budaya K-Pop mempengaruhi pembentukan mental generasi muda kita. Kekaguman terhadap budaya K-Pop menghasilkan kebiasaan generasi muda untuk berkembang dengan konstruksi citra, seksualitas, feminitas, maskulinitas dan moralitas yang baru pada masyarakat.

Bagaimana dengan Idolatry/idolatri yang dulunya merupakan pemujaan terhadap benda yang diberhalakan, kebanyakan menghambakan atau memperbudak diri kepada yang dicintainya, dipuja, atau disembah karena mereka yakin akan dapat keberkahan. Namun peradaban manusia yang semakin demokratis malah membalik logika idolatri itu dengan label liberal, bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat.

Presiden AS Abraham Lincoln mendemosntrasikan konsep kedaulatan rakyat (popular sovereignty) yakni pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Adagium vox populi, vox dei, tentu lebih akrab dalam narasi objektif, ‘suara rakyat adalah suara tuhan’ mengisyaratkan suara rakyat harus dihargai karena mewakili hehendak Sang Ilahi.

Meskipun dianggap sakral, suara rakyat dipuja hanya pada momen tertentu, pemilihan langsung misalnya. Sekali dalam kurun lima tahun pesta demokrasi berlangsung, saat itulah suara rakyat diposisikan pada kasta tertinggi karena kesaktiannya mampu merubah keadaan.  

Memuja (idolatri) suara rakyat adalah fenomena yang biasa disaat memasuki momentum pemilihan langsung (pilkada, pilgub atau pilpres). Sekedar memberi warna lain dalam membaca fenomena politik ala demokrasi, goresan dalam tulisan ini tidak menyuguhkan label profokatif seperti money politic, black campaign, politik transaksional-kekuasaan, pelacur politik, politik rente, atau istilah kampanye palsu.

Namun, menghadirkan pandangan lain tentang sisi subjektif elit politik (calon bupati/walikota, gubernur, presiden) yang memuja suara rakyat atau dengan bahasa yang khas ‘menghambakan diri’.

Memikat suara rakyat, silih berganti para elit politik melakukan ‘ritual’ penghambaan dengan membacakan ‘mantra-mantra’, menari-nari di atas altar, menampilkan sisi religius, humanis dan populis untuk berharap suara rakyat dapat mengantarkannya mencapai singgasana. Praktik dalam konteks pemilihan langsung ini merupakan idolatri gaya baru, rakyatlah yang memuja pemimpinnya.

Disayangkan, tampaknya generasi muda kita menerima gempuran kedua budaya ini secara totalitas. Buktinya, kiblat budaya generasi muda kita sedang bergeser dari seni tari ke K-Pop, dari Gatotkaca ke Avenger.

Padahal nilai budaya kita sungguh ekspresif, tari misalnya mengandung ungkapan rasa, sebagai khazanah kultural, estetika, ritme dan potensi simbolik yang sangat mengakar. Sosok pewayangan Gatotkaca sebagai ikon kepahlawanan budaya Indonesia seharusnya hadir menjadi spirit optimisme yang tangguh dan siap berhadapan dengan ancaman potensi budaya asing.

Epilog

Menghadirkan optimisme buat generasi muda bukan hal yang berlebihan, kita harus berbangga dengan tugas yang diamanahkan sebagai abdi negara karena pengabdian luhur. Meminjam kalimat sakti Buya Syafii Maarif, “Kerja intelektual adalah pekerjaan seumur hidup, melelahkan dan tak pernah merasa puas’. Demikian juga dengan ASN, spririt pengabdiannya telah terpatri dan sebagian hidupnya melayani masyarakat.

Sebagai ASN muda yang turut mengawal terwujudnya good governance dan clean governance terus menyisakan problematika yang kian kompleks. Kebaikan tersendiri bahwa peran itu mejadikan kita lebih dewasa dan profesional.

ASN muda, diusia yang terbilang belia, dipundaknya sudah ada tanggung jawab besar,  gempuran trend K-Pop dan Idolatrysebagai ansicht (pemandangan, visi, ide) budaya dan politik hadir dalam beragam perniknya.

Apakah ASN muda mampu mempertahankan optimismenya? Jika ya, sekali lagi bukan hal yang berlebihan jika dalam diri seorang ASN muda ditanamkan harapan untuk mewarisi spirit heroisme para pemimpin bangsa ini.

Spirit yang tentu saja diharapkan mampu melampaui pengaruh gempuran politik idolatri dan budaya K-Pop, sehingga ASN muda sebagai penyambung estafet kepemimpinan bangsa mampu berkontribusi menciptakan pengelolaan pemerintahan bersih dan terbebas dari laku koruptif.  

Ingat kawan ASN muda, pelaku korupsi di era kekinian bangsa kita didominasi kalangan pejabat muda, jangan sampai ASN senior hilang harapan dan kepercayaan kepada ASN muda.  Jangan sampai mereka berkata ‘ASN muda gayaji’. Selamat mengawali tahun ini dengan optimisme.


1
0
Muhammad Naim ◆ Active Writer

Muhammad Naim ◆ Active Writer

Author

Auditor Muda, Inspektorat Daerah Kota Parepare, Sulawesi Selatan. ‘penikmat kopi dengan segala rasa’

4 Comments

  1. Avatar

    Majuki

    Reply
  2. Avatar

    Terima Kasih penceraganya dinpaginini..terima kasih juga sudah menshare WAG MAMI.ASN mudah keren.ASN muda yang tangguh dalam menghadapi berbagai gejolak dunia

    Reply
  3. Avatar

    Di tengah kesibukan sebagai ASN masih sempat memikirkan masa depan generasi muda bangsa di tengah gempuran dua kutub peradaban yg sudah meracuni generasi muda kita pada umunya,,luar biasa

    Reply
    • Cakbro

      Yah anda lah salah satu pemuda yang disebut dari 10 pemuda.
      Minimal dan berharap akan ada lagi pemuda yang ber-mindset seperti.
      Mantap bang Naim tulisan yg bernas dg alur cerita yang enak dibaca.

      Menyentuh dan tak mengurup..

      Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post