Nilai-nilai Pancasila, Budaya Organisasi, dan Reformasi Birokrasi

by | Feb 12, 2020 | Birokrasi Berdaya | 0 comments

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 merupakan periode terakhir dari break down lima tahunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, sehingga performanya dalam mencapai target atau keberhasilan menjadi sangat penting.

Tema dari RPJMN 2020-2024 ini adalah Indonesia Berpenghasilan Menengah-Tinggi yang Sejahtera, Adil dan Berkesinambungan, yang tertuang dalam 4 (empat) pilar dan diterjemahkan dalam 7 (tujuh) agenda. Salah satu agenda tersebut yaitu memperkuat stabilitas politik, hukum, dan keamanan (polhukam) dan transformasi pelayanan publik.

Reformasi Birokrasi: Mental dan Budaya Organisasi

Agenda reformasi birokrasi menekankan agar birokrasi menjadi bersih dan akuntabel, efektif dan efisien, serta memiliki pelayanan publik yang berkualitas. Delapan area perubahan dalam Reformasi Birokrasi meliputi mental aparatur, kelembangaan, tata laksana, sumber daya manusia aparatur, akuntabilitas, pengawasan, peraturan perundang-undangan serta pelayanan publik.

Mental aparatur menjadi area pertama yang disebut dalam 8 (delapan) area perubahan Reformasi Birokrasi. Mental merupakan kata lain dari pikiran, dapat pula diartikan sebagai cara berpikir tentang suatu hal. Mental aparatur merupakan cara berpikir aparatur untuk merespon, bertindak dan bekerja.

Mental aparatur pemerintahan di Indonesia sering dicitrakan negatif yang ditandai dengan karakteristik lambat, berbelit-belit, tidak responsif dan diskriminatif. Mental dapat diubah dengan pengalaman, hasil belajar dan/atau lingkungan. Mental ini menjadi area perubahan pertama karena dianggap paling penting dan fundamental untuk melakukan perbaikan dalam birokrasi di Indonesia.

Untuk membentuk suatu lingkungan kerja yang mendukung reformasi birokrasi perlu ada budaya organisasi yang solid sehingga tidak hanya mampu meningkatkan kinerja aparatur pemerintahan, tetapi juga mampu membentuk citra baik pemerintah. Di sinilah mental berperan karena pada hakikatnya budaya organisasi merupakan kumpulan dari perilaku dan sikap mental setiap individu.

Setiap organisasi mempunyai budaya organisasi yang berbeda-beda yang mempengaruhi semua aspek organisasi dan bagaimana perilaku anggota organisasi dalam bertindak. Budaya organisasi yang kuat mampu menjadi suatu ciri dan membedakan dengan organisasi lain. Hal ini disebut dengan distinctive competency.

Semakin kuatnya budaya organisasi akan menumbuhkan semangat kebanggaan dalam diri masing-masing pegawai. Tumbuhnya rasa kebanggaan selaras dengan tumbuhnya komitmen pegawai untuk mencapai tujuan organisasi, sehingga akan ada dorongan untuk bertindak sesuai dengan yang diinginkan organisasi. Hal ini akan menghasilkan kinerja yang maksimal berlandaskan kepuasan pemangku kepentingan.

Aktualisasi Pancasila di Lingkungan Pemerintahan

Budaya organisasi pemerintahan di Indonesia berasal nilai-nilai luhur bangsa sejak sebelum kemerdekaan. Dengan beragamnya suku bangsa, agama dan budaya yang berpotensi menimbulkan konflik, maka sejak dahulu masyarakat terbiasa melakukan musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan dan melakukan gotong royong dalam menyelesaikan suatu pekerjaan.

Hal ini tercermin dalam salah satu sila Pancasila yaitu sila keempat yang berbunyi, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Selain itu, sejalan dengan sila Ketuhanan yang Maha Esa, setiap penduduk memeluk kepercayaan kepada Tuhan sesuai dengan yang dipercayai masing-masing orang dan setiap agama mengajarkan mengenai kejujuran dan amanah dalam bertingkah laku dengan sesama

Apabila nilai budaya bahu membahu dalam menyelesaikan masalah, menghargai pendapat orang lain, jujur dan amanah dalam bekerja ini dilaksanakan oleh semua aparat dan menjadi budaya yang solid, maka reformasi birokrasi akan dengan cepat mencapai keberhasilan.

Dalam RPJM 2020-2024 salah satu isu strategis yang dibahas adalah mengenai aktualisasi ideologi Pancasila yang harus dijaga di lingkungan pemerintahan karena disadari bahwa Pancasila belum menjadi acuan utama, menguatnya ideologi transnasional, belum terintegrasinya wawasan kebangsaan dan lunturnya nilai-nilai Pancasila.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa korupsi, kolusi dan nepotisme masih terjadi di lingkungan pemerintahan. Korupsi jelas tidak sesuai dengan budaya jujur dan amanah sedangkan kolusi dan nepotisme menyimpangi budaya gotong royong yang seharusnya dilakukan untuk tujuan positif, bukan malah sebaliknya untuk tujuan kontraproduktif.

Lima Peran Budaya Organisasi

Budaya organisasi memiliki beberapa peran dalam organisasi pemerintahan. Pertama, budaya organisasi berperan dalam menentukan identitas organisasi. Identitas merupakan kemampuan pegawai pemerintahan dalam mengidentifikasikan dirinya sebagai satu kesatuan anggota organisasi dan tidak membedakan dirinya sebagai kelompok tertentu.

Jika budaya organisasi kuat, maka pegawai pemerintah di suatu instansi akan benar-benar merasa menjadi bagian dalam instansi tersebut dan mengikuti dinamika yang terjadi sehingga bener-benar memahami tugas dan perannya dalam mewujudkan kemajuan instansi tersebut.

Kedua, budaya organisasi menentukan pola komunikasi dalam organisasi pemerintahan. Organisasi pemerintahan semestinya mendorong para pemimpin untuk mengambil keputusan tidak hanya berdasarkan pendapat pribadi, tetapi juga mempertimbangkan saran dan diskusi dari bawahan. Hal ini sesuai dengan budaya organisasi di Indonesia yang semestinya mengutamakan musyawarah mufakat dan menghargai pendapat orang lain.

Ketiga, budaya organisasi berperan dalam upaya mewujudkan sinergi dengan memberikan dorongan organisasi untuk bekerja sama dengan terpimpin dan terkoordinasi. Saat pegawai merasa dilibatkan oleh pimpinan maka usulan-usulan pimpinan untuk meningkatkan kinerja instansi akan mendapatkan dukungan penuh dari bawahannya. Hal ini merupakan perwujudan budaya gotong royong yang telah dilakukan oleh masyarakat dahulu.

Keempat, budaya organisasi juga membantu menentukan kontrol organisasi terkait norma dan peraturan yang berlaku dalam organisasi. Budaya organisasi yang kuat akan membuat para pegawai mematuhi norma dan peraturan yang ada, entah saat ada atasan maupun tidak, karena melanggar peraturan merupakan hal yang tidak sesuai dengan norma.

Terakhir, budaya organisasi membantu dalam toleransi konflik. Konflik tentu sering terjadi dalam pelaksanaan pekerja. Dengan budaya organisasi yang bagus, konflik akan diarahkan untuk tujuan perbaikan, pengembangan dan pencapaian tujuan instansi pemerintahan. Pemimpin tentu akan memediasi pihak-pihak yang berkonflik untuk mendengarkan pendapat dari pihak yang lain sehingga tercapai keputusan mufakat.

Hambatan dalam Penguatan Budaya Organisasi

Penguatan budaya organisasi tentu tidak dapat dilakukan dengan mudah. Terdapat beberapa hambatan dalam penguatan budaya organisasi yang berasal dari instansi, atasan dan pegawai. Hambatan dari instansi berupa tujuan organisasi pemerintahan yang telah ditetapkan tidak dirumuskan secara terinci sehingga belum mampu dipahami secara menyeluruh oleh pegawai.

Kemudian pembagian tugas yang tidak adil dan tidak merata menimbulkan perbedaan beban kinerja yang mampu memberatkan salah satu pegawai dan semakin memperbesar kemungkinan fraud seorang pegawai, karena adanya pemberian tanggung jawab yang tidak sesuai dengan kapasitas dan wewenang.

Selanjutnya, tidak adanya sanksi tegas terhadap pelanggaran menimbulkan tidak adanya efek jera yang terjadi. Hal ini menyebabkan para pegawai yang patuh merasa tidak adil dan memperbesar niatan untuk melakukan pelanggaran.

Dari sisi atasan, adanya pendapat atasan yang plin-plan dan tidak konsisten sehingga menimbulkan kebingungan untuk bawahan dalam mengahadapi permasalahan. Lalu dengan banyaknya bawahan yang diawasi atasan mampu memperbesar kemungkinan tidak ketatnya pengawasan, sehingga memperbesar kemungkinan pelanggaran yang dilakukan bawahan.

Dari sisi pegawai, hambatan ini berupa ketidakmauan dan keacuhan pegawai untuk mengikuti perubahan budaya organisasi karena sudah terlalu nyaman dengan budaya yang lama. Adanya perasaan lebih dari yang lain yang dimiliki pegawai atau senioritas sehingga terlalu mengotak-kotakkan diri dan tidak mau suportif dengan perubahan budaya, juga menjadi permasalahan yang lain lagi.

Bagaimana Mengatasinya

Hambatan-hambatan tersebut dapat diatasi dengan beberapa cara. Pertama, penetapan belief system dalam organisasi pemerintahan yang berisi pernyataan misi organisasi yang digunakan untuk mengkomunikasikan core value.

Core value harus disampaikan dengan jelas kepada setiap pegawai dan jangan hanya dijadikan pajangan dinding. Harus ada aktivitas-aktivitas yang dilakukan untuk menumbuhkan semangat sesuai core value organisasi dalam diri masing-masing pegawai.

Kedua, peran pimpinan juga menjadi kunci dalam menguatkan budaya organisasi. Pemimpin harus mampu mencontohkan pelaksanaan budaya organisasi kepada pegawainya. Penggunaan simbol-simbol dan jargon yang sesuai dengan budaya organisasi dapat menjadi salah satu contoh agar budaya organisasi dipahami oleh bawahan. Contohnya, Presiden Jokowi kerap memakai baju putih dengan lengan tergulung serta mempopulerkan jargon “Kerja, Kerja, Kerja!” untuk menunjukkan budaya kerja keras.

Ketiga, peraturan-peraturan terkait reward and punishment harus dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku dan tidak pandang bulu. Pegawai pemerintahan kerap dianggap kebal hukuman karena sangat sulit untuk memberhentikan seseorang dari pegawai pemerintahan.

Punishment begitu cepat ditindaklanjuti dalam hal terkait ketentuan pidana seperti kasus korupsi, tetapi dalam hal kedisiplinan harus melalui waktu yang lama untuk dapat diproses. Hukuman disiplin harus segera dilaksanakan setelah mendapatkan bukti-bukti yang cukup tanpa ditunda-tunda untuk menunjukkan bahwa pemberhentian pegawai pemerintahan bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan.

Terakhir, terkait pembagian kinerja. Di Kementerian Keuangan misalnya, pada awal tahun telah dilakukan Analisa Beban Kinerja pada masing-masing bagian dan individu agar pembagian pekerjaan merata dan jumlah pegawai di suatu bagian telah sesuai dengan beban kinerja yang ada. Dengan demikian tidak terjadi kelebihan atau kekurangan beban kinerja.

Selain itu, ada juga pembuatan Kontrak Kinerja untuk masing-masing pegawai pada awal tahun yang bertujuan agar nantinya memudahkan pengukuran apakah kinerja pegawai telah memenuhi target yang tertulis.

Pegawai juga diberikan kesempatan untuk berdiskusi dengan atasannya terkait kinerja dalam bagian Dialog Kinerja Individu. Di sini pegawai dapat menyampaikan apabila terjadi kelebihan beban kinerja atau masalah-masalah lain yang mengganggu dalam proses pencapaian target kinerja.

Epilog

Berdasarkan RPJM 2020-2024, beragam kebijakan, program dan kegiatan dalam kerangka reformasi birokrasi nasional telah menunjukkan adanya capaian yang sejalan dengan sasaran bidang aparatur negara.

Perwujudan birokrasi yang bersih dan akuntabel terlihat dengan semakin meningkatnya jumlah Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah yang memperoleh Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dan persentase penerapan pengadaan barang/jasa pemerintahan secara elektronik meningkat seiring dengan diterapkannya Perpres No. 16/2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.

Perbaikan reformasi birokrasi di level instansi juga tercermin dengan semakin membaiknya indeks RB yang didukung dengan penetapan PP No 17/2017 tentang Manajemen PNS. Perbaikan kualitas pelayanan publik terlihat dengan penetapan digitalisasi pelayanan public (e-Service), peningkatan tingkat kepatuhan atas standar pelayanan publik, integrasi sistem pengaduan masyarakat serta pelaksanaan evaluasi kinerja pelayanan publik secara berkala.

Namun begitu, pekerjaan penting tentang perbaikan birokrasi ini masih jauh dari paripurna. Demi tercapainya transformasi birokrasi yang bertujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang akuntabel, bersih, responsif dan memberikan pelayanan yang berkualitas, perlu adanya perubahan mental aparat.

Perubahan mental aparat tentu tak bisa dipisahkan dengan usaha memperkuat budaya organisasi. Apabila budaya organisasi pemerintah telah kuat maka strategi-strategi yang dibuat oleh organisasi pemerintahan, yang tentunya sejalan dengan budaya organisasi, akan mampu dijalankan dengan efektif dan efisien.

Sebagai hasilnya, akan tercapai tujuan utama dari perbaikan tata kelola berwujud reformasi birokrasi itu sendiri. Yaitu, mewujudkan tujuan masing-masing organisasi pemerintahan dan mampu mengakomodir kepentingan masyarakat yang beragam. Semoga.

3
1
Siwi Rachmawati ♥ Associate Writer

Siwi Rachmawati ♥ Associate Writer

Author

Penulis adalah mahasiswa D IV Akuntansi Alih Program 2019 PKN STAN. Lulus dari D III Perpajakan PKN STAN pada tahun 2013. Terbuka untuk berdiskusi di [email protected] Tulisan-tulisan dalam laman ini merupakan pandangan pribadi dan tidak ada hubungannya dengan instansi tempat penulis bekerja.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post