Merenungkan Kembali Inklusifitas Sistem Pendidikan Kita: Pembelajaran Penting dari Film Gifted

by | Mar 26, 2018 | Birokrasi Efektif-Efisien | 1 comment

Personality begins where  comparison leaves off.  Be Unique. Be Memorable. Be Confident. Be Proud

(Shannon L. Adler)

 

Sesi menonton film bareng di Forum Diksusi Kamisan (FDK) yang digagas oleh para peneliti di lingkungan Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Penelitian dan Pengembangan (Puslitjakdikbud, Balitbang) Kemendikbud pada Kamis, 8 Maret 2018 lalu, bagi saya menarik.

Kegiatan ini berhasil membuat saya yang biasanya malas menonton film, menjadi betah berlama-lama mengikuti alur cerita film produksi Fox Searchlight Picture ini, bahkan sampai berlinang air mata.

Gifted yang Mencerahkan

Gifted, itulah judul film yang kami tonton, menyeret saya dan teman-teman yang berkecimpung dalam dunia pendidikan kembali tersadar, bahwa setiap anak adalah unik dan berbeda. Pendidikan sebagai hak dasar semua orang, terutama anak-anak, selayaknya dapat disiapkan dengan baik dan tidak hanya sebagai media pertukaran pengetahuan dan informasi, tetapi juga berpotensi sebagai media pembenih sifat empati.

Gifted seperti menyodorkan beragam pertanyaan di depan muka dan permasalahan di dalam kepala saya: “Dapatkah seorang jenius, yang memiliki keunikan diri,  diterima di lingkungan kehidupan yang memiliki derajat ‘kenormalan’ berbeda?”

Dalam imaji seorang Mary, tokoh utama dalam film ini, dirinya adalah berbeda dibandingkan anak lain seusianya. Di hari pertamanya bersekolah, Mary yang masih berusia tujuh tahun mengejutkan seisi kelas dengan kemampuan matematika yang menakjubkan. Sejak saat itu, secara tanpa sadar, Mary melabelkan dirinya sebagai anak jenius dan menjaga jarak dengan teman-temannya yang dia anggap ‘idiot’.

Mary demikian mencintai dunianya sendiri, sampai suatu saat dia akhirnya membenci sekolah  umum dengan standar kurikulum yang menurutnya biasa-biasa saja. Beberapa kali Mary terlihat bermasalah dengan guru dan kepala sekolah lantaran tingkahnya yang tidak dapat diterima dengan baik di sekolahnya.

Alur cerita Gifted sebenarnya sederhana dan mudah diikuti, tetapi beragam pesan sosial di dalam film ini dapat tersampaikan dengan baik dan dimengerti oleh saya serta beberapa teman yang ikut menonton film buatan Marc Webb tersebut.

Beberapa pesan sosial yang menurut saya penting untuk direnungkan adalah mengenai kesadaran bahwa sistem pendidikan tidak perlu mendikotomikan bakat anak. Selain itu, peran guru sebagai pendidik menjadi sangat krusial dalam memberikan stimulasi kepada anak agar memiliki jiwa keberterimaan dengan lingkungan sekitarnya.

Gifted dalam kaca mata saya, sungguh mencerahkan bagi siapa saja yang menonton, apalagi bagi penonton yang berperan sebagai orang tua dan pribadi yang  peduli dengan pendidikan.  Pencerahan dalam film itu nyaris sama cerahnya dengan wajah menawan Chris Evan dalam menyelami peran sebagai Frank Adler, pria ideal yang amat menyayangi Mary, keponakannya. Frank sungguh berharap dapat memberikan segala yang terbaik bagi Mary.

Dikotomi Bakat Anak

Banyak dari kita yang sepakat bahwa setiap anak itu berbeda. Sayangnya, budaya dalam masyarakat kita justru berperan melanggengkan persepsi pendikotomian kemampuan dan bakat anak pada berbagai kuadran tertentu.

Anak berintelegensi tinggi yang memiliki kemampuan di atas rata-rata dari sesamanya dinilai sebagai kondisi anomali yang selayaknya mendapatkan perlakuan berbeda, baik dalam hal pendidikan maupun berbagai bidang lainnya.

Seringnya pembedaan perlakuan pendidikan layaknya pemisahan kelas antara anak jenius dan ‘anak normal’, nyata terjadi dalam praktik pendidikan di negara kita. Keberadaan anak-anak yang memiliki tingkat intelegensi ekstrim atas ataupun di bawah rata-rata anak pada umumnya, dinilai sebagai variabel pengganggu ekosistem pendidikan yang memengaruhi keberhasilan pendidikan dalam tataran praktis.

Keberadaan anak-anak yang memiliki kemampuan di luar kebiasaan anak pada umumnya, kemudian diarahkan untuk dikelompokkan dan dilokalisasi pada ranah perlakuan layanan pendidikan yang juga unik dan berbeda. Anak jenius akan terarah berkembang dengan sesama kejeniusan lainnya, begitupun dengan anak yang kecerdasannya di bawah rata-rata.

Saya sesungguhnya berada pada pihak kontra dalam menyikapi beragam bentuk lokalisasi dan pengelompokan anak-anak yang berada pada level ekstrim tadi. Meleburkan semua anak dengan jenis dan level kompetensi di sebuah lingkungan pendidikan, bagi saya merupakan salah satu metode efektif untuk dapat membangkitkan rasa empati anak dalam menerima sifat unik masing-masing sesamanya.

Hal demikian juga dapat memberikan dampak positif dalam menumbuhkan pemahaman pada dirinya, bahwa ada anak-anak lain di sekelilingnya yang memiliki kelebihan masing-masing.

Guru Adalah Kunci

Guru, kemudian menjadi kunci dalam menumbuhkan rasa empati  dan keberterimaan anak sejak dini kepada sesamanya. Kemampuan guru memahami keunikan setiap anak dan mentransformasikan pada bentuk perlakuan yang khas pada jenis karakter dan kompetensi anak dalam sebuah proses pendidikan, menjadi hal yang menentukan keberhasilan pendidikan.

Pendidikan inklusi kita sesungguhnya dapat memfasilitasi kebutuhan tersebut. Sayangnya, lagi-lagi kebijakan pendidikan inklusi kita saat ini terjebak pada mekanisme yang implementasinya sekadar pendekatan layanan pendidikan ekstrim. Mekanismenya terbatas pada ranah special needs education  atau pendidikan anak berkebutuhan khusus, demikian disampaikan oleh Irsyad Zamjani – calon peneliti yang juga anggota FDK.

Menurut saya penting juga kita melakukan redefinisi peran guru, yaitu guru yang bukan lagi sekadar pengajar, namun juga pendidik. Guru seyogyanya bukan lagi hanya dinilai sebagai profesi strategis dan menarik karena tingkat kesejahteraan guru yang melesat saat ini, tetapi benar-benar dapat menjadikan perannya sebagai pahlawan tanpa tanda jasa dalam mendidik anak asuhnya.

Diskusi siang itu mengungkap bahwa, tanpa disadari peran guru saat ini tengah mengalami apa yang istilahkan oleh Lukman Solihin , Peneliti Muda yang juga anggota FDK, sebagai banalisasi pendidikan. Istilah tersebut menunjuk pada terjadinya banyak pendangkalan pemikiran, kemerosotan kualitas akademik, dan berkurangnya komitmen akademisi terhadap bidang ilmu yang digelutinya.

Guru adalah kunci, berkali-kali frase ini menggaung di kepala saya sepanjang Gifted ditayangkan. Sebuah pekerjaan rumah yang cukup berat bagi pemerintah dalam mengakomodir berbagai kebijakan terkait kualitas dan kompetensi guru dalam sebuah sistem pendidikan.

Saya setuju dengan Indah Pratiwi, seorang calon peneliti yang juga anggota FDK, bahwa profesi seorang guru seharusnya melalui sebuah mekanisme yang selektif, terpola, serta terencana. Dengan demikian, menjadi seorang guru sebaiknya telah mulai disiapkan sejak jenjang pendidikan dasar, menengah, sampai pada perguruan tinggi.

Profilling seorang kandidat calon guru di kemudian hari, selayaknya sudah terbentuk sejak seorang anak melewati berbagai jenjang pendidikannya. Kompetensi yang dimiliki oleh seorang calon guru juga tidak hanya terbatas pada penekanan kompetensi pedagogiknya, tetapi juga kompetensi kepribadiannya.

Itulah mengapa, guru menjadi tokoh sentral dalam menentukan karakter serta perkembangan anak didiknya di kemudian hari, bahkan pada saat kondisi atau fasilitas belajar yang serba terbatas dan minim akses.

Diskusi yang berlanjut setelah nonton bareng siang itu menggeliat dan meluas hingga pada pembahasan hasil kajian tentang berbagai program penghargaan bagi guru.  Program sertifikasi guru ternyata belum memberikan dampak perbaikan yang signifikan pada kinerja guru.

Epilog

Diskusi siang itu ditutup oleh Irawan Santoso Suryo Basuki, seorang Peneliti Pertama yang juga bertindak sebagai moderator dalam acara nonton bareng. Dia mengingatkan akan pentingnya pendidikan kolaboratif dalam iklim pendidikan yang semakin mengarah pada mental kompetitif.

Bagaimanapun juga, kemampuan dan keunikan yang dimiliki seorang anak, akan terintegrasi dengan baik dan harmonis, serta memberikan efek positif bagi anak-anak lainnya, asalkan guru berperan optimal dalam menjembatani berbagai perbedaan yang ada pada setiap siswanya.

Guru adalah kunci, saya senang mengulang-ulang frase ini. Saya sungguh berharap segera terjadi perbaikan sistem pendidikan kita dengan cara mengelaborasi berbagai karakter anak. Sebuah sistem pendidikan yang mengakui adanya berbagai macam kondisi fisik, keterampilan, tingkat intelektual, kondisi sosial, dan emosional anak secara tanpa sekat dan tanpa perlakuan berbeda. Semoga.

 

 

0
0
Diyan Nur Rakhmah ◆ Professional Writer

Diyan Nur Rakhmah ◆ Professional Writer

Author

Analis Kebijakan pada Pusat Penelitian Kebijakan, Balitbang dan Perbukuan, Kemendikbud-Ristek.

1 Comment

  1. Avatar

    sudah ada beberapa sekolah yang mereka menggabung anak-anak unik dengan anak-anak normal. memang sedikit kerepotan pada awalnya, akan tetapi dengan kesabaran guru dan juga kerjasama orang tua dan sekolah, pematangan anak-anak unik ini dapat tercapai, dan peningkatan empati anak-anak norma menjadi luar biasa.

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post