Merancang Ulang Prinsip Sistem Politik, Ekonomi, dan Sosial Indonesia

by | Aug 12, 2022 | Birokrasi Berdaya, Politik | 0 comments

Ketangguhan Politik

Ketangguhan politik Indonesia secara eksternal dapat dilihat dari setidaknya tiga catatan lembaga berskala internasional yaitu, Freedom House, Economist Intelligence Units (EIU), dan Index Democracy East Asian (IDEA), yang diakses pada akhir Februari 2021. 

Menurut Freedom House (2020), kualitas demokrasi Indonesia dalam 10 tahun terakhir bergerak dari free country menuju partly free country. FH melihat bahwa pasca kejatuhan rezim otoriter tahun 1998 Indonesia mengalami big-bang demokrasi. 

Namun, konsolidasi demokrasi pasca reformasi mengalami penurunan lewat berbagai sistem yang didesain sehingga seakan mencipta jembatan baru bagi kembalinya sistem politik lama. 

Lembaga EIU hingga 2021 mencatat tensi demokrasi Indonesia pada aras belum sempurna (flawed democracy). Kategori ini hanya satu tingkat di bawah full democracy sebagaimana Norwegia di urutan pertama. 

Di bawah kategori full democracy Indonesia masih lebih baik dibanding China yang berada di urutan 148 dan Rusia di urutan 124. Dengan usaha keras, peringkat Indonesia naik dari posisi 64 menjadi 52 dengan skor 6,71. 

Lembaga ketiga yang dapat dijadikan barometer kesehatan demokrasi Indonesia adalah Index Democracy East Asian (2019). Tensi demokrasi Indonesia berada di level middle range. Indeksasi ini setidaknya menggembirakan pada aspek participatory engagement. 

Kenaikan partisipasi politik itu setidaknya dapat dikonfirmasi lewat angka partisipasi pemilu pada tahun 2019 yang mencapai 81% serta hasil pemilukada yang mencapai 76%. Pencapaian partisipasi pemilu jelas melampaui target yang di patok dalam RPJMN sebesar 77%. 

Terlepas masih banyak aspek yang perlu dibenahi, prestasi eksternal ini mendapat apresiasi dari Amerika Serikat melalui penghargaan sebagai negara yang berhasil mencapai angka partisipasi politik fantastik justru di masa pandemi.

Bila dibandingkan dengan indeks demokrasi internal, kualitas demokrasi Indonesia berada di atas rata-rata. Dari tiga variabel sebagai alat ukur, hak-hak politik (65,79) masih lebih rendah dibanding kebebasan sipil (78,46) dan lembaga demokrasi (75,25). 

Secara umum indeks demokrasi Indonesia memperlihatkan perubahan dinamis sebagai konsekuensi atas kebijakan pemerintah yang seringkali melahirkan respons progresif maupun represif. 

Respons terhadap mereka yang bersuara lantang, pendekatan terhadap kritik sosial dalam bentuk mural maupun kriminalisasi di media digital menjadi problem tersendiri dalam kerangka penataan demokrasi.

Ketangguhan Ekonomi

Menurut Boediono (2007), berdasarkan pengalaman empiris selama 1950-1990, dihitung berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP, USD, 2001), rezim demokrasi di negara-negara dengan penghasilan perkapita 1500 dolar hanya bertahan 8 tahun. 

Pendapatan perkapita 1500-3000 USD rata-rata bertahan 18 tahun. Sementara negara-negara di atas 6000 USD, relatif stabil dengan probabilitas kegagalan demokrasi lebih rendah. Contohnya Amerika, Inggris dan Perancis. 

Ini sedikit gambaran jauh sebelum pandemi melanda dunia. Bahwa hari ini China, Korea Utara dan negara-negara non demokrasi memperlihat gambaran sebaliknya tentu dapat ditelisik lebih jauh dimana sebabnya. 

China misalnya, dalam hal idiologi tetap kokoh dengan sosialis-komunisnya, namun dalam hal ekonomi lebih ekspansif menerapkan sistem ekonomi kapitalis. 

Bagaimana dengan Indonesia? 

Apabila dihitung berdasarkan PPP-dolar sejak 2006, penghasilan perkapita Indonesia diperkirakan sekitar 4000 USD. Dalam ukuran itu kata Boediono, Indonesia belum 2/3 jalan menuju batas aman demokrasi. 

Terlepas dari itu dengan tetap menempatkan sisi optimisme sebagai sebuah bangsa demokrasi terbesar ketiga di dunia, kita tak perlu ragu melihat angka penghasilan perkapita yang merangkak mencapai 4.349 USD (Feb 2022). 

Namun penting diingat bahwa sejarah kejatuhan rezim orde baru tahun 1998 justru ketika ketangguhan ekonomi kita mengalami relaksasi yang sulit dikendalikan hingga merambah ke krisis sosial politik.

Ketangguhan Sosial

Bila diamati secara seksama, sejarah konflik identitas di Indonesia dalam periode orde lama, orde baru dan reformasi, tak separah di Yugoslavia dan Afrika. 

Kendatipun terjadi konflik yang mesti kita akui seperti di Kalimantan, Maluku, dan Sulawesi Tengah (Poso), namun konflik tersebut bersifat lokalistik dan dapat diredakan lewat berbagai pendekatan baik struktural maupun fungsional. 

Konflik dewasa ini lebih tampak secara laten dibanding bersifat manifest. Di dunia maya, yang tampak adalah kelompok Cebong vs Kampret. Pada Agustus 2020 misalnya, terdapat lebih dari 2,58 juta Cebong berhadapan dengan 2,45 juta mention mewakili kelompok Kampret, (Ismail, 2020). Kelompok dengan identitas agama seringkali disindir dengan istilah Kadal Gurun (Kadrun). 

Realitas potensi konflik kini bersatu dan bersemayam di dunia maya yang setiap saat dapat dilacak lewat Instagram, facebook, whats up, twitter, line dll. Perjumpaan ini tak hanya melintasi perbedaan etnik dan agama, juga kelompok umur hingga generasi muda. Mereka tumbuh dengan semangat kebencian yang mengendap dalam pikiran. 

Sejauh pertempuran emosi di dunia maya tadi tak merambah ke realitas sesungguhnya, mungkin tak menjadi masalah. Namun, belajar dari Revolusi Melati di Timur Tengah dan kemenangan partai-partai minoritas dalam Pemilu Raya di Malaysia, media sosial dapat menjadi pemicu paling refleks ketika konflik mencair menjadi pertarungan yang sebenarnya. 

Tentu saja perlu diantisipasi sebagaimana prediksi Sosiolog Tomagola (MIPI, 2008), bila Indonesia bubar, kemungkinan bisa menjadi 17 negara, di antaranya Negara Jawa, Sunda, dan Banten. Selebihnya terbentuk di wilayah Indonesia Timur. 

Merancang Subkultur Politik 

Dengan tiga masalah di atas, pekerjaan kita adalah bagaimana menata kembali mekanisme politik, ekonomi, dan sosial sebagai upaya merawat Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Dalam perspektif pemerintahan (kybernologi, 2002), penataan mekanisme politik, ekonomi dan sosial berpijak pada kerangka pikir memperbaiki prinsip pokoknya agar mekanisme di level mikro dapat dirancang guna menjawab ketiga persoalan dimaksud. 

Pertama, memperoleh kekuasaan semudah mungkin. Prinsip ini pada tingkat mikro dapat diterjemahkan kedalam mekanisme Pilpres, Pileg, dan Pilkada secara lebih sederhana tanpa melanggar konstitusi dan prinsip-prinsip dasar demokrasi. 

Kondisi ini telah menyebabkan ekses yang kurang sehat dalam praktek demokrasi kita. Produk demokrasi di tingkat lokal hanya meninggalkan dua isu utama, balas budi dan balas dendam. 

Yang pertama berkaitan dengan tukar-guling agar hutang para kandidat dapat dilunasi. Sementara yang terakhir bersentuhan dengan tindakan lokalisasi kelompok agar tak mengganggu jalannya roda pemerintahan di daerah.

Dalam Pilpres misalnya, standarisasi sebagai kandidat dapat diturunkan di bawah 20%. Pada saat yang sama standarisasi keikutsertaan dalam parlemen dapat dinaikkan di atas 20% hingga tercapai kekokohan presidensial sistem. 

Dengan demikian dalam 2-3 pemilu ke depan dapat tercapai partai sederhana dengan prasyarat menjadi presiden nol persen. Demikian pula dalam hal pileg, penataan mekanisme terbuka tak menjamin mereka yang berkualitas sekaligus kader parpol sampai ke titik kekuasaan tertinggi. 

Fungsi kaderisasi parpol mandul.  Kelangkaan sumber daya semacam itu justru diisi oleh artis dan birokrat militer dan sipil. 

Dalam kontestasi Pilkada mesti rancang kembali agar dipilih oleh DPRD mengingat spirit konstitusi, Pancasila, efisiensi, efektivitas, konflik, money politics, hasil ijtima alim ulama di Cipasung (2012), rekomendasi Lemhanas (2013), beban demokrasi, akuntabilitas politik, netralitas aparatur sipil negara, serta beban APBD yang morat-marit. 

Kedua, menggunakan kekuasaan seefektif mungkin. Penggunaan kekuasaan dimaksud dapat ditata melalui pembagian kewenangan yang jelas di pusat, provinsi dan daerah. Penarikan sejumlah kewenangan di daerah ke level tertinggi memperlihatkan bagaimana kekuasaan tak efektif menyelesaikan persoalan (UU Cipta Kerja, 2020). 

Salah satu tujuan otonomi memberikan diskresi agar tercipta pemecahan masalah sesuai karakteristiknya. Dengan pertimbangan itu sejumlah urusan kemudian didesentralisasikan. 

Jika urusan yang nyata-nyata dapat dipertanggungjawabkan seperti tambang galian C kembali ke pusat, jelas penggunaan kewenangan tak efektif menyelesaikan masalah di daerah. Di sini perlu penataan kembali terkait satu sistem yang menjadi rujukan utama (omnibus law), apakah UU Pemda ataukah UU Cipta Kerja. 

Menurut hemat saya, ada baiknya revisi UU Pemda dilakukan kembali dengan menarik semua pengaturan pada UU Cipta Kerja menjadi satu UU Omnibus Law terkait penataan urusan desentralisasi, bukan desentralisasi sepihak.

Ketiga, mempertanggungjawabkan penggunaan kekuasaan seformal mungkin. Pemerintahan pada hakikatnya adalah institusi formal, sebab itu semua kekuasaan dalam sistem pemerintahan wajib dipertanggungjawabkan secara formal (authority). 

Dalam praktik kita boleh menjadi ‘Sinterklas’, namun dalam realitas pemerintahan semua patut dipertanggungjawabkan. Membagi Bansos mesti dipertanggungjawabkan, demikian pula mengelola anggaran pademi yang mencapai triliunan rupiah. 

Dalam kenyataan tampak ketidakpuasan di mana-mana, namun hanya satu dua kasus yang muncul ke permukaan dengan alasan bahwa penggunaan anggaran pandemi tak perlu dipertanggungjawabkan, bahkan dijamin oleh aturan sebagai sesuatu yang dianggap urgen (periculum in mora).

Merancang Subkultur Ekonomi

Prinsip penting dalam konteks ekonomi adalah pertama, membeli semurah mungkin. Cara terbaik adalah memanfaatkan kekayaan geografi sebagai halaman terbaik dalam menjawab semua kebutuhan bangsa.  

Strategi utama tentu saja mengurangi impor yang tak perlu dan menciptakan ketergantungan. Bagaimana mungkin bangsa dengan luas daratan 1,91 juta km2, luas perairan 6,32 jt km2, 62% laut dan perairan, bergaris pantai sepanjang 81.000 dengan 17.500 pulau masih melakukan impor beras, jagung, kedelai, tepung terigu, gula pasir, daging, garam, mentega, minyak goreng, kentang, ubi, tembakau, cabe, cengkeh, kopi, teh, lada, kelapa sawit, dan bawang. Ini persoalan ironik yang menjadi autokritik. 

Kedua, menjual seuntung mungkin. Prinsip ini penting mengingat daya jual sumber daya kita rendah dan tak visionable. Kasus indosat, batubara, dan nikel misalnya. Kita bisa bandingkan kekayaan semacam rotan, rempah, bahkan daun pisang mungkin teramat murah dalam kalkulasi kita, sementara di luar sana nilainya sangat mahal. 

Upaya mengambil untung lebih tercipta bagi sekelompok orang melalui projek impor. Sementara kerugian terbuka bagi orang banyak dengan hilangnya sumber daya yang bahkan bertahun-tahun tak dapat diperbaharui. 

Ketiga, mengelola sumber daya sehemat mungkin (sustainability). Kekayaan yang kita nikmati hari ini bukanlah sesuatu yang dapat dirasakan dalam jangka panjang.  Bahwa benar Indonesia adalah negara dengan cadangan kekayaan yang cukup, bahkan dicatat sebagai negeri surga oleh Oppenheimer (Eden in The East, 2010) dan Arysio Santos (Atlantis, The lost Continent Finally Found, 2009). 

Namun, eksploitasi berlebihan melahirkan ketidakseimbangan yang dapat merenggut masa depan generasi berikutnya. Sejarah mencatat bagaimana generasi Sriwijaya, Majapahit, Indonesia di masa lalu hingga sekarang mengalami penyusutan geografis yang menyisakan realitas hari-hari ini. 

Jika bangsa ini mampu berhemat dengan memaksimalkan produk dalam negeri, kita dapat menyimpan kurang lebih 246 T belanja dalam negeri (LBP, 2020). Demikian pula bila energi gas dapat disubstitusi kita mampu menghemat kurang lebih 20 T (Lahadalia, 2020). Itu sedikit contoh.

Merancang Subkultur Sosial

Bagian terakhir dari rancangan di kuadran subkultur sosial adalah pertama, membangun kepedulian. Tanpa kepedulian masyarakat, pemetik terbanyak dari produk demokrasi hanya akan dinikmati oleh kaum elite. 

Kaum alit biasanya hanya berkerumun saat pemilu, namun bubar ketika demokrasi baru dimulai. Demokrasi cenderung dinikmati pada aspek proseduralnya, tapi alpa pada bagian terbaiknya, yaitu proses menuju substansi demokrasi. 

Bisa dipahami sekalipun lebih 80% negara di dunia beralih ke sistem demokrasi, namun tak banyak yang memperlihatkan kemajuan signifikan. Demokrasi yang justru masyarakat adalah pengendalinya, lupa atas kekuasaan dan kedaulatannya sendiri.  

Keberlanjutan demokrasi di Amerika, Perancis, India, dan Jepang setidaknya disokong oleh kepedulian kelas menengah seperti kapitalis, politisi, akademisi, dan birokrasi. Tanpa itu demokrasi hanya akan kembali ke habitat aslinya, otoritarian bahkan totaliteranisme model baru.

Kedua, membangun kesadaran sosial. Pembangunan kesadaran masyarakat dapat dilakukan melalui fungsi pemberdayaan (empowerment). Kesadaran dibutuhkan agar masyarakat paham bahwa mereka adalah bagian dari governance, bukan semata-mata objek yang siap dieksploitasi. 

Kecenderungan para pemimpin lokal maupun di pusat kembali ke pola lama yang sentralistik dan dominan disebabkan ketiadaan kesadaran masyarakat sebagai pelaku utama sekaligus pemetik manfaat atas proses demokrasi itu sendiri. 

Demokrasi yang dibiarkan dapat berubah menjadi mobokrasi, yaitu satu kondisi yang tak disukai Socrates, di mana mereka yang kebetulan populer dan bodoh mengatur mereka yang relatif pandai. 

Ketiga, pada tingkat tertinggi yaitu membangun keberanian masyarakat untuk memperjuangkan aspirasi alternatif sebagai solusi. Kesetaraan dapat mendorong terbangunnya collective action guna memperoleh hak-hak yang semestinya menjadi miliknya. 

Perlu disadari bahwa sekalipun konstitusi telah menggariskan dengan jelas soal keadilan bagi masyarakat luas, namun dalam realitasnya membutuhkan artikulasi kolektif, di luar orang-perorang. Dengan demikian akan lebih efektif dalam mencapai keadilan yang dijanjikan dalam konstitusi.

Daftar Pustaka
Boediono, 2007. Dimensi Ekonomi-Politik Pembangunan Indonesia. Pidato Pengukuhan Gubes, UGM, Jogjakarta.
Statistik BPS, Feb 2022.
Seminar Nasional MIPI, 2008.
Pendekatan Kybernologi diadaptasi dari paradigma subkultur kekuasaan, ekonomi dan social, Ndraha, 2002, Kybernologi 1, hal. Xxxii. Rineka Jakarta.
Oppenheimer, 2010. Eden in The East, Oxford University & Santos, Arysio, 2009. Atlantis, The Lost Continent Finally Found, Ufuk Publishing, Jakarta.
Kompas Online, 2022.
Bahan modul sosialisasi persiapan Pemilu 2024, KPU RI, 2022.

4
0
Muhadam Labolo ◆ Professional Writer

Muhadam Labolo ◆ Professional Writer

Author

Alumnus STPDN Tahun 1995, dan program S2-S3 Universitas Padjajaran Bandung pada konsentrasi ilmu pemerintahan. Mengabdi sebagai dosen tetap di IPDN sejak 2004. Sejauh ini sebagai pengajar tetap pada hampir seluruh DPRD dan Pemda di Indonesia dengan spesifikasi bidang ajar demokrasi lokal dan pengembangan kapasitas DPRD. Menerbitkan buku baik sebagai penulis, editor maupun penyunting seperti IPDN Recovery, Dinamika Politik dan Pemerintahan Lokal (1) dan (2), Mencegah Negara Gagal, dll. Hampir seribu kali sejak 2000 terlibat sebagai narasumber dalam berbagai seminar, workshop, talkshow, diskusi mingguan lewat Scientifik Traffic dan Plato’s Institute, bimbingan teknis, staf ahli legislatif dan kediklatan di pusat maupun daerah.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post