Menyoal Pemberitaan Covid-19

by | Aug 7, 2021 | Birokrasi Melayani | 0 comments

Wabah virus Covid-19 atau yang di sebagian masyarakat Indonesia lebih dikenal dengan korona, akan masih terus menyerang penduduk bumi dan tidak ada yang tahu kapan virus ini akan benar-benar lenyap. Bahkan, para ilmuwan yang berkecimpung di bidang riset virus dan wabah masih belum bisa memperkirakan kapan virus ini akan hilang.

Sebelum memasuki tahun 2021, Indonesia menargetkan awal tahun 2021 virus ini setidaknya bisa mulai menurun dan kemudian hilang, apapun tindakan yang harus diambil. Namun nyatanya, korona sempat mengadakan ulang tahunnya yang pertama di bulan Maret lalu dan hingga sekarang masih merajalela.

Bukannya semakin menurun malah semakin banyak orang yang terjangkit virus yang satu ini. Terakhir tercatat sebanyak 33.900 kasus positif, dikutip dari detikhealth (3/8/2021) dalam waktu sehari. Ini merupakan catatan fluktuatif yang memang tidak bisa dikendalikan. Parahnya, bahkan pernah menyentuh angka 50.000 kasus positif dalam sehari.

Masyarakat Begitu Abai?

Yang menjadi pertanyaan adalah, “Apakah sebegitu abainya warga Indonesia menjaga protokol kesehatan sehingga menyebabkan kasus postif selalu naik setiap harinya?” Boleh jadi jawabannya antara iya atau tidak, karena masyarakat kita cukup banyak mendapatkan himbuan dari pemerintah dan informasi melalui berbagai media.

Berbagai pemberitaan mulai dari TV hingga sosial media sudah sangat menggalakkan bahkan memberikan hukuman bagi yang tidak taat terhadap protokol kesehatan. Akan tetapi, dalam hemat saya justru ketaatan ini menjadi sulit karena selain perintah dan himbauan, ada pula pemberitaan yang kontraproduktif dengan upaya penanganan pandemi Covid-19.

Berbagai pemberitaan terlihat simpang siur dan hal ini membuat warga awam semakin bertanya-tanya mana berita yang harus dipercaya dan dipegang seutuhnya. Contoh kasus yang pertama adalah hadirnya seorang dokter Lois Owien yang mengklaim bahwa orang yang meninggal di rumah sakit bukan disebabkan oleh covid-19 melainkan oleh interaksi obat.

Suatu pernyataan yang sangat mencengangkan. Di satu sisi semua orang percaya adanya Covid-19 namun di sisi lain ada seorang dokter yang justru tidak percaya sama sekali bahkan mempropaganda orang lain untuk berpendapat sama.

Jangan-jangan Benar Kata dr. Lois?”

Salah satu dampak dari viralnya pernyataan dokter ini setelah pertanyaan itu dilontarkan, inews.id (17/7/2021) membuat berita tentang revisi obat Oseltamivir dan Azitromisin yang tidak lagi diberikan kepada orang yang dirawat di rumah sakit.

Hal ini menjadi pertanyaan banyak pihak, terlebih bagi orang awam yang tidak paham mengenai obat-obatan, jangan-jangan benar apa kata dokter Louis. Walaupun begitu, sempat disinggung pergantian obat ini karena digunakan untuk pengobatan influenza tipe A dan B. Jadi jika ada indikasi positif covid 19 namun terinfeksi virus influenza, maka obat ini akan diberikan.

Dari kedua pemberitaan antara interaksi obat dan pergantian obat menimbulkan kecemasan di masyarakat. Sebagian orang justru takut masuk rumah sakit ketika menunjukkan gejala terjangkit virus korona. Mereka akan memilih untuk isolasi mandiri di rumah dengan menerapkan protokol kesehatan dan menjaga asupan gizi yang baik.

Namun, tidak semua orang dapat melakukan itu, karena tidak semua orang mempunyai tingkat kemampaun ekonomi yang baik. Begitupun pemahaman tentang bagaimana menjalani isolasi mandiri dan pada kondisi apa seharusnya bergegas menuju fasilitas kesehatan. Salah satu hal sederhana yang sudah cukup dipahami ialah berjemur di bawah sinar matahari.

Kontroversi Lain: Vaksinasi Bikin Mati?

Pemberitaan lainnya adalah mengenai vaksin. Kita ketahui bahwa vaksin yang diberikan di Indonesia ada dua jenis yaitu Sinovac dan AstraZenecca. Sinovac ialah jenis yang pertama kali datang dan membawa angin segar bagi penanganan Covid-19.

Adanya vaksin tersebut tampaknya membawa angin segar bagi masyarakat Indonesia dan banyak juga yang beranggapan bahwa setelah vaksin akan kebal dari virus korona. Namun, nyatanya tidak demikian. Vaksin hanya mencegah penularan, bukan menyembuhkan ataupun tidak akan tertular lagi setelah vaksin.

Lalu pertanyaannya besar yang mencuat di tengah masyarakat adalah, “Untuk apa vaksin jika tidak bisa menyembuhkan?” Sebenarnya ini pemikiran yang salah, karena secara lugas telah dijelaskan bahwa vaksin hanya mencegah percepatan penularan, misal yang tadinya tingkat penularan 50% maka setelah vaksin akan dicegah hingga 85% ke atas. Bukan menghilangkan sama sekali.

Namun yang terjadi sekarang, ada beberapa pemberitaan setelah melakukan vaksin ada yang meninggal dunia di hari itu setelah vaksin. Hal ini yang membuat masyarakat awam menjadi gamang dan semakin takut divaksin.

Terakhir, pemberitaan meninggal sehabis vaksin juga terjadi di Jakarta Timur pada Mei 2021 yang lalu. Yang menjadi korban adalah Trio Fauqi Virdaus. Trio melakukan vaksinasi dan keesokan harinya meninggal dunia. Sebelum meninggal memang dirasakan efek samping setelah vaksin seperti meriang, pusing, dan tidak enak badan. Gejala ini makin parah hingga ia kehilangan nyawa.

Para dokter yang melakukan autopsi menemukan kelainan pada paru-paru Trio. Namun, temuan ini tidak menjadi bukti kuat penyebab meninggalnya Trio. Autopsi juga semakin sulit karena dilakukan dalam kondisi jenazah telah membusuk. Bagaimanapun memang sulit menemukan penyebab hakiki kematian pemuda tersebut.

Ketakutan untuk Divaksin

Dalam praktiknya, telah dilakukan mekanisme skrining sebelum vaksinasi diberikan. Skrining ini meliputi pengecekan standar mengenai kesehatan tubuh seseorang dan klarifikasi kondisi seseorang.

Calon penerima vaksin harus jujur kepada tim medis jika ada penyakit atapun kondisi lainnya yang bisa menyebabkan efek parah setelah vaksin. Di antaranya perlu konsultasi bagi penderita darah tinggi dengan kisaran tekanan yang sudah ditentukan oleh tim medis sebelum diperbolehkan vaksin.

Pada tahapan komunikasi inilah kadangkala penerima vaksin tidak terbuka, atau terdapat risiko tidak terdeteksinya kondisi yang riskan jika divaksin. Namun, tim medis yang bertugas telah dibekali dengan standar dan kompetensi untuk melakukan skrining dengan sebaik-baiknya.

Walaupun demikian, pemberitaan bahwa setelah vaksin lalu ada yang meninggal dunia membuat masyarakat menjadi was-was dan semakin takut untuk divaksin. Bahkan, beberapa instansi harus makin gencar menggalakkan vaksin agar target vaksinasi seluruh Indonesia segera terpenuhi.

Menyikapi instruksi vaksinasi, yang pada sebagian tempat terkesan memaksa, bisa juga menimbulkan ketakutan yang semakin menjadi-jadi. Di satu sisi jika tidak vaksin masyarakat tidak akan bisa bekerja, tapi jika divaksin ada kecemasan meninggal dunia.

Kabar gembiranya memang tidak begitu banyak orang yang setelah vaksin meninggal dunia, tapi memang nyatanya ada. Solusi terbaiknya adalah sebelum melakukan vaksin, setiap warga harus memantau kesehatan diri, pastikan sedang dalam kondisi bugar, dan secara jujur ketika berkomunikasi pada tahapan skrining.

Epilog: Perlu Pemberitaan Satu Arah

Sekelumit contoh di atas menjadi bukti bahwa pemberitaan mengenai Covid-19 masih terbilang simpang siur. Pembahasannya pun agak sulit dicerna oleh masyarakat. Kini, masyarakat terbelah menjadi dua kubu: ada yang percaya Covid-19 memang benar ada, dan ada juga yang tidak percaya sama sekali sehingga abai terhadap protokol kesehatan.

Hal ini yang harus segera dibenahi dengan pemberitaan yang satu arah, dalam artian tidak boleh adanya kesimpangsiuran pemberitaan. Pemberitaan tidak boleh lagi membuat masyarakat terbelah menjadi dua kubu yang salah satunya bahkan cenderung tidak percaya sama sekali akan adanya virus berbahaya ini.

Akibat dari berita yang tidak jelas, masyarakat lebih percaya berita dengan diikuti “Katanya begini begitu” dan lain sebagainya. Oleh karena itu, pemberitaan yang akurat harus segera disajikan agar masyarakat tidak punya perspectif yang berbeda satu dengan lainnya.

Inilah tugas pemerintah, menyatukan seluruh pikiran masyarakat agar tidak takut menghadapi pandemi covid-19, sekaligus tidak abai untuk bersatu padu mengatasinya. Kesadaran tentang protokol kesehatan perlu dibangun, begitupun literasi tentang urgensi vaksinasi.

Tulisan ini juga diterbitkan dalam Kataberita.id dengan judul yang sama

1
0
Ibrahim Guntur Nuary ▲ Active Writer

Ibrahim Guntur Nuary ▲ Active Writer

Author

Penulis adalah peraih penghargaan Golden Generation 2017 dan Wisudawan Berprestasi 2018 IAIN SNJ Cirebon. Selain itu, merupakan Pegiat Komunitas NUN (Niat Untuk Nulis)

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post