Mengukir Wajah Birokrat Indonesia* (Bagian 1): Fixity Identitas Birokrat di Era Kolonial

by | Feb 15, 2021 | Birokrasi Melayani, Refleksi Birokrasi | 0 comments

Indonesia sebagai bekas negara jajahan, memiliki beragam pengalaman dalam menentukan keberadaan dirinya melalui pertarungan kultur dan identitas. Begitupun dalam lingkup masyarakat birokrasinya, identitas birokrat tidak terbangun sendirinya dalam ruang yang steril, akan tetapi dikonstruksi oleh kekuatan tertentu untuk kepentingan tertentu di setiap masanya.

Untuk itulah, identitas perlu dipahami dalam bingkai kajian pos-kolonial untuk mengakui sekaligus mengatasi adanya efek keberlanjutan dari kolonialisme. Efek tersebut tidak selalu dilakukan dengan propaganda peperangan dan kekerasan fisik, tetapi melalui gagasan dan kesadaran.

Tujuan tulisan ini bukan untuk menyerang institusi kekuasaan, melainkan untuk memahami apa yang sesungguhnya terjadi, sehingga mampu merangsang kemampuan reflektif agar terhindar dari bahaya diskriminasi, eksploitasi, dan sejenisnya.

Tulisan ini merupakan bagian pertama dari tiga tulisan.

Perlunya Memahami Identitas

Birokrasi sektor publik di Indonesia mempunyai sejarah cukup panjang mulai dari zaman kerajaan, masa penjajahan, orde lama, orde baru, hingga birokrasi di era reformasi sekarang ini. Birokrasi yang saat ini kita pahami sebagai institusi yang bertugas melayani kepentingan publik sudah selayaknya dia terbebas dari kepentingan politik. Namun tidak dapat dipungkiri, birokrasi sangat dipengaruhi oleh sistem politik yang berlangsung di setiap eranya.

Birokrasi yang seharusnya merupakan institusi pelaksana kebijakan politik, pernah bergeser perannya menjadi instrumen politik yang terlibat dalam kegiatan politik praktis. Elite birokrasi, dalam hal ini adalah para pejabat publik yang memiliki kewenangan terhadap nasib birokrat, pun telah terbiasa menjadi mitra strategis sebuah kepentingan politik. Elite birokrasi telah terlatih untuk menghamba pada kepentingan politik agar kekuasaan yang dimiliki tetap dapat mereka genggam. Sistem politik jugalah yang akhirnya menentukan bagaimana identitas birokrat terbentuk di setiap masanya.

Mempelajari identitas, bukan sekedar memahami apa dan siapa birokrat di setiap masanya. Namun, identitas yang berkaitan dengan kultur berikut simbol-simbol yang ada di dalamnya, mampu menceritakan bagaimana birokrat dibentuk dan diberi makna dalam sebuah relasi kuasa.

Identitas dipahami sebagai sesuatu yang dibentuk oleh proses identifikasi dalam sistem yang bersifat terbuka. Relasi berbagai identitas menyebabkan identitas rentan untuk terus menerus berubah bentuk karena medan diskursivitas yang terus menerus dikonstruksi.

Identifikasi mendorong orang untuk mengonstruksi siapa ‘kita’ dan siapa ‘mereka’. Relasi antara keduanya harus diletakkan pada dimensi konfliktual yang tidak dapat dihilangkan, tetapi tidak dalam tendensi distorsif melainkan ke arah yang lebih positif.

Dalam bingkai pos-kolonial, identitas dapat ditemukan dalam berbagai variannya. Seperti yang dinyatakan oleh Homi K. Bhaba, salah seorang tokoh kajian pos-kolonial, bahwa penjajah (colonizer) dan terjajah (colonized) tidak independen satu sama lain, keduanya justru bersifat relasional.

Relasi-relasi itu distrukturkan oleh bentuk-bentuk kepercayaan yang beraneka ragam dan kontradiktif. Diantara relasi penjajah dan terjajah terdapat ruang antara (in between) yang memungkinkan keduanya untuk berinteraksi.

Faruk H.T, salah satu budayawan dari UGM, mengatakan bahwa identitas-identitas kolonial, baik dari sisi penjajah dan terjajah bersifat tidak stabil, meragukan, dan selalu berubah. Di antara keduanya terdapat ruang longgar untuk munculnya suatu resistensi.  

Seorang budayawan UGM lainnya, yakni Budiawan, mengatakan bahwa perlunya memahami identitas dalam bingkai kajian pos-kolonial adalah untuk mengakui sekaligus mengatasi continuing effects kolonialisme.

Dalam konteks birokrasi, continuing effects kolonialisme, diantaranya dapat kita jumpai dalam berbagai tindak diskriminasi terhadap birokrat, yang biasa mewujud dalam kategorisasi pegawai baik-buruk, rajin-malas, loyal-pembangkang, sampai kepada tidak berkembangnya karir seseorang karena berbeda keyakinan, suku, maupun almamater. 

Menarik untuk mencermati relasi kuasa birokrasi publik di Indonesia dari masa ke masa terkait dengan pembentukan identitas birokratnya. Relasi yang dimaksud disini adalah relasi antara birokrat sebagai pihak terjajah, dengan elite birokrasi sebagai wakil negara yang berperan sebagai penjajah, di tengah lingkungan politik yang menyelimutinya.

Masa atau era yang dikaji adalah ukiran birokrasi sejak masa colonial hingga masa kini. Era kolonial, adalah era di mana birokrasi modern diperkenalkan, sekaligus sebagai awal perbandingan masa kolonial dengan masa pasca kolonial.

Masa orde lama sebagai masa transisi dari kolonial ke pasca kolonial perlu dibahas karena pada masa itulah terjadi dilematika dalam menentukan posisi birokrat di tengah pergulatan politik yang cukup tajam.

Sedangkan masa orde baru selalu menarik perhatian bagi pengkaji pos-kolonial karena masa itu selalu menampilkan nuansa dominasi kekuasaan yang terkadang lebih otokratik dibandingkan negara kolonial.

Adapun birokrasi pasca orde baru perlu dibagi dua, yaitu era sebelum munculnya gagasan Reformasi Birokrasi dan saat setelah Reformasi Birokrasi digaungkan. Perlu dipisahkan, karena gagasan Reformasi Birokrasi menyampaikan diskursus baru yang menarik dalam pertarungan identitas birokrat.

Penciptaan Fixity Birokrat di Era Kolonial

Sebelum era kolonial, yaitu masa kerajaan (feodal), birokrasi cenderung mempunyai kekuasaan tunggal (absolut), yaitu kekuasaan yang dipegang oleh sang Raja. Pada era ini, semua masyarakat harus tunduk pada keputsan Raja.

Menurut Suwarno, salah satu sejarawan Indonesia, birokrasi masa kerajaan memiliki ciri yakni penguasa mengganggap dan menggunakan administrasi publik sebagai kepentingan pribadi, alias administrasi adalah perluasan rumah tangga istananya.

Selain itu, tugas pelayanan ditujukan kepada pribadi sang raja. Gaji dari raja kepada pegawai merupakan anugerah yang dapat ditarik kembali sekehendak raja. Para pejabat kerajaan dapat bertindak sekehendak hatinya terhadap rakyat seperti halnya yang dilakukan oleh raja.

Adapun peran pegawai, sebagai contoh yang berada di Jawa, yang disebut sebagai abdi dalem, tidak sekedar memberikan pelayanan kepada keluarga kerajaan, tetapi juga karena kedudukannya diberi kekuasaan teritorial, perpajakan, pengadilan, keamanan dan keagamaan.

Dengan peran tersebut, abdi dalem kemudian mengasosiasikan dirinya dalam kedudukan sebagai kelas elite dalam stata sosial masyarakat yang ada. Dapat dikatakan, aparat birokrasi pemerintahan pada saat itu cederung memosisikan diri sebagai penguasa yang harus dilayani daripada melayani masyarakat.

Identitas birokrat pada masa kolonial tidak hanya ditentukan oleh negara kolonial, tetapi banyak terpengaruh masa feodal. Pada saat negara penjajah (kolonial) datang, birokrasi tidak berubah drastic, tetapi justru melebur dengan birokrasi feodal.

Beberapa hal dipertahankan, bahkan justru diperkuat dengan tujuan keuntungan optimal bagi negara penjajah. Belanda waktu itu masih membiarkan dan memanfaatkan sikap kawula yang selalu loyal kepada gustinya.

Sikap tersebut adalah bawaan dari mental yang tertanam pada masa feodal, sedangkan pihak kolonial mendapatkan manfaat darinya. Seorang birokrat tidak dapat membantah dan sangat mengikuti apa yang diperintahkan atasannya.

Dengan demikian, sikap feodal tersebut membawa konsekuensi terhadap iklim birokrasi yang cenderung patuh dan loyal kepada atasan, bahkan berlomba-lomba menghormati pimpinan demi kepentingan pribadi.

Pada masa ini, birokrasi modern mulai diperkenalkan oleh kolonial. Struktur organisasi hingga  administrasi disusun dengan berbagai mekanisme dan disiplin ilmu modern. Birokrat pribumi diberikan pelatihan yang cukup agar dapat mengoperasikan administrasi birokrasi modern.

Meskipun demikian, identitas birokrat pribumi tidak serta merta menjadi sejajar dengan pihak kolonial. Mereka justru terlihat berbeda dan semakin inferior. Meskipun cara-cara pribumi tidak dihapus sama sekali, namun kontrol birokrasi tetap dipegang oleh negara kolonial.

Penggajian yang tadinya dilakukan dengan memberikan tanah bengkok, diganti dengan uang, untuk menjamin loyalitas kepada Pemerintah Belanda. Penggajian dengan menggunakan uang menjadi alat transaksional pihak kolonial dengan aparat birokrasi. Alat transaksional mengubah loyalitas yang tadinya kepada Raja, beralih kepada negara kolonial.

Inferiroitas birokrat semakin terlihat justru pada saat birokrat dilatih dan dididik oleh negara kolonial untuk menjadi modern. Pada titik ini, birokrat merasa membenci negara kolonial yang telah menjajah negerinya, tetapi juga sekaligus mencinta karena telah memodernkan mereka.

Negara kolonial berhasil menciptakan fixity di kalangan birokrat masa itu. Fixity adalah istilah yang diberikan oleh Bhabha, seorang tokoh kajian pos-kolonial, sebagai tanda perbedaan rasial, historis, dan kultural dalam wacana kolonial. Keberhasilan fixity menyebabkan pihak terjajah memasuki situasi yang tidak menentu dan mempertanyakan identitas mereka. Mereka berusaha membentuk identitas mereka mengikuti citra superioritas.

Mengenai peran birokrat di masyarakat, sebutan birokrat di wilayah Jawa adalah pangreh praja, yang artinya pemberi perintah. Birokrat waktu itu hanya bertugas sebagai penyambung perintah dari pemerintah pusat. Tidak ada unsur pelayanan publik dalam perintahnya. Bahkan, pembangunan infrastruktur fisik hanyalah untuk memperlancar akses kolonial untuk mencari sumber daya alam lain di Indonesia, sebagai ciri khas kolonialime modern.

Birokrasi lalu berkembang dengan pemberian otonomi kepada level Bupati dan Wedana. Namun, maksud pemberian otonomi bukanlah untuk pelayan publik, tetapi untuk memperlancar urusan target penerimaan untuk pemerintah kolonial. Seperti yang dilansir oleh Sianipar, seorang penulis buku tentang pos-kolonial, salah satu ciri kolonialisme modern adalah bukan pemaksaan pembayaran upeti dan pajak kepada negara kolonial, melainkan dengan cara memperbaiki kemampuan manusia dan sumber alam dari daerah koloni, sehingga keuntungannya akan mengalir ke negeri kolonial.

Mentalitas birokrat saat itu dengan adanya otonomi adalah menjadi aristokrat (priyayi) di hadapan masyarakat. Mereka menjadikan dirinya sebagai kaum elite sosial, yang selalu ingin dilayani oleh masyarakat, bukan untuk melayani masyarakat.

Di sisi lain, birokrat merasa inferior di depan atasannya, dan bertugas untuk melayani atasannya.  Mentalitas feodal lainnya yang dipertahankan oleh kolonial yaitu tentang prestasi kerja. Prestasi  seorang birokrat hanya ditentukan dari seberapa besar dia loyal kepada atasannya. Laporan yang dibuat pun sebisa mungkin selalu untuk memuaskan atasannya.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa, birokrasi pada masa kolonial tidak dapat dilepaskan begitu saja dari masa feodal. Negara kolonial justru memanfaatkan mental birokrat feodal yang memiliki loyalitas tinggi kepada raja, dialihkan menjadi loyalitas tinggi kepada negara kolonial. Terjadi fixity identitas birokrat di masa kolonial, yakni sebagai seorang priyayi di mata masyarakat sosial, tetapi sebagai kacung bagi negara kolonial.

—                                                                                                                                                                       

Bersambung ke bagian berikutnya, tentang identitas birokrat di era orde lama dan orde baru.

— *Tulisan ini merupakan penayangan ulang disertai dengan beberapa perubahan, dari salah satu bab yang ditulis oleh penulis yang sama, dalam buku yang berjudul “Kebijakan Publik Dalam Pusaran Perubahan Ideologi”, yang diterbitkan oleh Gadjah Mada University Press di tahun 2019. Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis, tidak berafiliasi atau mewakili instansi manapun.


3
0
M. Rizal ♣️ Expert Writer

M. Rizal ♣️ Expert Writer

Author

Seorang ASN instansi pusat, alumnus Program S3 Ilmu Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada. Berbagai gagasannya terbilang unik, karena selalu mempertanyakan kondisi kemapanan di birokrasi. Tujuannya adalah agar birokrasi Indonesia lebih humanis, bermartabat, dan bernilai bagi publik. Anda dapat mengikuti buah pemikirannya di Instagram @mutiarizal.insight, atau di Twiter @rizal.mutia. Ia dapat dihubungi melalui email di [email protected].

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post