Catatan Editor: Mengkritik Dengan Cinta

by | Mar 19, 2017 | Refleksi Birokrasi | 0 comments

Setelah memasuki dua bulan, Pergerakan Birokrat Menulis telah menghasilkan 60 tulisan. Sebanyak 25 penulis telah bergabung di Birokrat Menulis. Selain membagikan tulisan di Birokrat Menulis, kami juga aktif melakukan diskusi online melalui WhatsApp, terutama terkait tema-tema apa yang mesti segera ditulis.

Biasanya, ide-ide muncul dari kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Tentu Anda bertanya, kenapa kesannya tulisan di Birokrat Menulis sangat kritis? Padahal banyak dari mereka berada pada posisi penting di birokrasi Indonesia. Tentu ada alasannya. Berikut catatan dari salah satu editor Birokrat Menulis untuk menjawab keingintahuan Anda itu.

————–

Seperti halnya sebuah keluarga yang anggotanya saling mencintai, demikian juga sebaiknya dalam pemerintahan. Akan sangat indah, manakala interaksi antara pemimpin dan rakyatnya dilandasi oleh rasa saling mencintai.

Bak hubungan sepasang kekasih yang saling mencintai, rasa cinta di antara keduanya dapat melahirkan pengorbanan diri, empati, perhatian, kasih sayang, mau membantu, mau menuruti perkataan, patuh, mengikuti, dan mau melakukan apa saja yang diinginkan oleh kekasihnya.

Pengaruh cinta yang luar biasa baiknya itu berlaku untuk semua pihak yang terlibat dalam percintaan. Tidak hanya lahir pada salah satu pihak: hanya dituntut oleh satu pihak  dan hanya dilakoni oleh pihak lainnya.

Salah satu bentuk rasa cinta dari rakyat kepada pemimpinnya adalah pemberian kritik. Kritik kepada pemimpin sesungguhnya adalah bentuk perhatian rakyat yang mencintainya. Asal dilandasi rasa cinta, kritik yang disampaikan oleh rakyat kepada pemimpinnya bagaikan nasihat seorang kekasih yang menyejukkan hati.

Hal itu juga berlaku dalam sebuah hubungan persahabatan. Ciri sahabat sejati adalah seseorang yang tidak hanya selalu memuji, tetapi juga berani memberikan nasihat (kritik) manakala kita lupa.  Kritik dari seorang sahabat sejati, yaitu teman yang mencintai kita, umumnya lebih bisa kita terima karena disampaikan dengan landasan cinta, sehingga mendengar nasihatnya tidak terasa menyakitkan.

Meski ada ungkapan terkenal “Lihatlah apa yang dikatakan jangan melihat siapa yang mengatakan”, namun pengalaman mengajarkan kritik sebagai sebuah kebenaran akan berpengaruh secara efektif pada orang yang dikritik apabila disampaikan dengan  cara yang baik.

Teringat perkataan Imam Syafi’i: “Nasihati aku saat sendiri. Jangan di saat ramai dan banyak saksi. Sebab nasihat di tengah khalayak, terasa hinaan yang membuat hatiku pedih dan koyak. Maka maafkan jika hatiku berontak….”. Seorang Adolf Hitler pun punya pendapat begini, “Bila kamu punya kebenaran, maka kebenaran itu harus ditambah dengan cinta, atau pesan dan pembawanya akan ditolak”.

Sebuah kritik, meskipun isinya benar, tetapi jika kurang tepat dalam menyampaikan akan berdampak tidak baik, bahkan akan mendatangkan kesusahan, seperti ungkapan Jawa “Pangucap iku biso dadi jalaran kabecikan, pangucap iku ugo biso dadi dalaning pati lan kasengsaran (Ucapan bisa menjadi sarana kebaikan, tetapi sebaliknya juga bisa menjadi sebab kematian dan kesengsaraan).

Mengkritik dengan cinta berbeda dengan mencela, menghujat, memaki-maki, menggunjing, menghasut, apalagi memfitnah, yang sama sekali tidak dilandasi rasa cinta, tetapi lebih banyak dilandasi rasa benci dan dendam. Mengkritik dengan rasa cinta akan melahirkan kemauan semua pihak yang saling mencintai untuk rela berkorban dan sama-sama mau melakukan apa saja demi kekasih yang dicintainya.

Seorang pemimpin yang dikritik dengan rasa cinta oleh rakyatnya akan melaksanakan masukan rakyatnya tersebut. Demikian pula sebaliknya, anjuran seorang pemimpin yang didasari rasa cinta kepada rakyatnya akan dipatuhi dan dilaksanakan dengan rasa suka cita oleh rakyat yang dipimpinnya.

Robert K. Greenleaf dalam  bukunya Servant Leadership: A Journey into the Nature of Legitimate Power and Greatness, mengatakan bahwa salah satu ciri  kepemimpinan yang melayani adalah leader is leaded. Pemimpin bisa dipimpin. Salah satu indikatornya adalah pemimpin tersebut dengan segala kerendahan hatinya mau menerima kritik.

Ali bin Abi Thalib pun memiliki nasehat berharga buat para pemimpin:

“Perhatikanlah orang-orang yang memberikan nasihat kepadamu. Seandainya ia memulai dari sisi yang merugikan orang banyak, maka janganlah diterima nasihatnya dan berhati-hatilah darinya. Sedang jika ia memulai dari sisi keadilan dan kebaikan orang banyak, maka terimalah nasihatnya”.

Pemimpin narsistik adalah antitesis dari kepemimpinan yang melayani. Pemimpin yang narsistik itu anti kritik, karena menganggap seolah-seolah dirinya paling benar dan semua orang harus mendengar, mematuhi, dan melaksanakannya. Seorang pemimpin narsistik tidak akan menghiraukan kritik rakyatnya meski kritik itu adalah sebuah kebenaran dan lahir dari semangat mencintai.

Kepemimpinan narsistik seperti ini tidak dilandasi hubungan rasa saling mencintai, namun hubungan cinta yang hanya dituntut pada satu pihak saja, yaitu pada rakyat saja. Seperti lagu yang diciptakan oleh Dewa 19, Cintaku bertepuk sebelah tangan.

Tidak mengherankan, jika kemudian seorang pemimpin narsistik akan senantiasa menuai kritikan yang tidak lagi dilandasi oleh rasa cinta, melainkan oleh rasa benci dan dendam kesumat. Pemerintahan yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang narsistik akan selalu menerima celaan, hujatan, caci-maki, gunjingan, hasutan, dan berbagai fitnah.

Kouzes dan Posner (The Learning Leadership), menulis “Kasihanilah seorang pemimpin yang terjebak pada dua keadaan: senantiasa dikritik tanpa rasa cinta, dan tanpa kritik orang yang dicinta”.

Kondisi tersebut sangat paradoks dengan kisah kepemimpinan pada zaman Khalifah Umar bin Khattab semasa menjabat. Beliau sangat gelisah memikirkan kondisi dirinya sebagaimana ucapannya:

“Aku sedang dihinggapi ketakutan. Jika sekiranya aku melakukan kemungkaran, lalu tidak ada orang yang mengingatkan dan melarangku melakukannya, karena segan dan rasa hormatnya padaku”.  

Namun salah satu rakyatnya, yang juga seorang sahabat bernama Khudzaifah, segera menjawab, “Demi Alloh, jika aku melihatmu keluar dari kebenaran, aku pasti akan mencegahmu”. Seketika itu pun, wajah Khalifah Umar bin Khattab langsung berubah ceria. Di sini tampak adanya sebuah hubungan antara pemimpin dan rakyat (sahabat) yang saling mencintai.

Pemimpin juga seorang manusia, adakalanya bisa saja salah. Seorang kekasih (rakyat) yang sangat mencintai kekasihnya (pemimpinnya) tidak akan jemu untuk selalu mengingatkan dan menasihati kekasihnya (pemimpinnya) yang sedang keliru.

Nasihat (kritik) itu diberikan agar sang pemimpin tidak terjerumus semakin dalam ke dasar jurang kesalahan.  Dalam mewujudkan kekuasaan yang baik, ungkapan berikut patut kita renungkan: “Kritik terhadap kekuasaan yang tidak jemu-jemunya dan dari saat ke saat, menjaga agar pohon kekuasaan tidak bakal bertumbuh mencakar langit.”

Jadi? Mengkritik dengan cinta mensyaratkan keberanian rakyat untuk menyampaikan kebenaran dengan cara yang tepat, dan kerendahan hati seorang pemimpin untuk menerima dan melaksanakannya. Semoga negeri ini, pemimpin dan rakyatnya senantiasa dalam suasana hubungan yang saling mencintai.

 

 

0
0
Tiar Muslim ▲ Active Writer

Tiar Muslim ▲ Active Writer

Author

Tak ada yang bisa kutulis tentang diriku. Nikmati saja aku.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post